Rabu, 12 November 2025

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT POLDA

Oleh: Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N
Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, POLRI Bandung

*) Kritik Akademik Terhadap Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice di Tingkat Polda
(Academic Critique on the Settlement of Criminal Cases through Restorative Justice at the Regional Police Level)


1.      Pendahuluan (Introduction)

Penerapan Restorative Justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana di tingkat penyidikan kepolisian telah menjadi fenomena baru dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Meskipun secara ideal RJ dimaksudkan untuk mengedepankan keadilan yang berorientasi pada pemulihan, praktiknya sering menimbulkan persoalan baru yang menyentuh aspek kepastian hukum, penyalahgunaan kewenangan (abuse of discretion), serta penyimpangan fungsi penegakan hukum.

The implementation of Restorative Justice (RJ) in criminal case handling at the police investigation level has become a new phenomenon in Indonesia’s law enforcement practice. Although RJ is ideally designed to promote restorative and rehabilitative justice, in practice it often generates new problems related to legal certainty, abuse of discretion, and deviation from the true function of law enforcement.

Kritik ini diajukan sebagai refleksi akademik terhadap praktik RJ yang telah bergeser dari nilai filosofisnya menuju ranah pragmatis, bahkan transaksional. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi normatif agar penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan yudisial.

This critique is proposed as an academic reflection on the practice of RJ, which has shifted from its philosophical essence toward pragmatic and transactional tendencies. Thus, normative reconstruction is required to ensure that justice-oriented case resolution remains within the legal corridor and under judicial supervision.

 

2.      Kritik terhadap Pelaksanaan Restorative Justice di Tingkat Polda

            (Criticism of the Implementation of Restorative Justice at the Police Level)

a.       Restorative Justice menjadi alat bargaining yang subyektif

RJ sering dijadikan alat tawar-menawar yang bersifat subyektif dan dikendalikan oleh oknum Direktorat Kriminal Umum maupun Direktorat Kriminal Khusus. Hal ini menyebabkan penyelesaian perkara kehilangan objektivitas dan prinsip keadilan.

RJ is often used as a subjective bargaining mechanism controlled by individuals within the Directorate of General Crime or the Directorate of Special Crime, leading to a loss of objectivity and justice in case resolution.

b.      Kembalikan mekanisme penyelesaian kepada konsep Alternative Dispute Resolution (ADR)

Penyelesaian perkara secara konsensual seharusnya dikembalikan ke kerangka ADR yang menekankan kesetaraan dan netralitas mediator, bukan dikendalikan oleh diskresi penyidik.

Consensual case settlements should return to the ADR framework, emphasizing equality of parties and mediator neutrality, not controlled by investigative discretion.

c.       Perlu kodifikasi ADR dalam RUU KUHP

Agar ADR memiliki nilai kepastian hukum, mekanismenya perlu diatur secara tegas dalam RUU KUHP sebagai bagian dari reformasi hukum pidana nasional.

To ensure legal certainty, ADR mechanisms should be explicitly codified in the Draft Criminal Code as part of the national criminal law reform.

d.      Restorative Justice dalam tahap penuntutan menjadi alat kompromi transaksional

Dalam praktik, RJ di tingkat kejaksaan (UU No. 11 Tahun 2021) sering menjadi alat kompromi atau “dagang sapi” yang merugikan korban. Karena itu, sebaiknya diganti dengan konsep Mediasi Penal di hadapan hakim.

In practice, RJ at the prosecution level (Law No. 11 of 2021) often turns into a transactional compromise that harms victims. Therefore, it should be replaced by the Penal Mediation concept under judicial supervision.

e.       Mediasi Penal perlu diatur dalam KUHP dan KUHAP

Agar hasil penyelesaian memiliki kekuatan hukum tetap (res judicata), Mediasi Penal harus diatur secara eksplisit dalam KUHP dan KUHAP.

To ensure final and binding results (res judicata), Penal Mediation must be explicitly regulated in both the Criminal Code and the Criminal Procedure Code.

f.        Perlu klarifikasi istilah “Mafia” dalam praktik hukum

Istilah seperti mafia tanah, mafia hukum, atau mafia peradilan sering digunakan tanpa batasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi menyudutkan pihak tertentu. Harus ada klausula normatif agar istilah ini tidak disalahgunakan untuk menggiring opini publik.

Terms such as land mafia, legal mafia, or judicial mafia are often used without clear legal definition, potentially vilifying certain parties. A normative clause must be established to prevent misuse of such terminology.

 

3.      Landasan Yuridis (Legal Basis)

a.   Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: Indonesia sebagai negara hukum menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution: Indonesia as a state of law guarantees certainty, justice, and benefit.

b. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka; RJ di luar pengawasan yudisial dapat melanggar prinsip ini.

Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution: Judicial power is independent; RJ outside judicial oversight violates this principle.

c.   Pasal 3 dan 5 KUHAP: Proses peradilan pidana harus dilakukan oleh pengadilan, bukan lembaga eksekutif.

Articles 3 and 5 of the Criminal Procedure Code: Criminal justice must be conducted by courts, not by executive institutions.

d.   UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan: Memberi kewenangan RJ tanpa dasar yudisial yang jelas, menimbulkan potensi penyalahgunaan.

Law No. 11 of 2021 on the Prosecution Service: Grants RJ authority without clear judicial basis, creating potential for misuse.

e. Perkap No. 8 Tahun 2021: Mengatur RJ tanpa dasar normatif di KUHP/KUHAP, menyebabkan disharmoni vertikal.

Police Regulation No. 8 of 2021: Regulates RJ without normative basis in the Criminal Code, causing vertical disharmony.

f.  Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori: Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Principle of Lex Superior Derogat Legi Inferiori: Lower regulations cannot contradict higher-level laws.

 

4.      Kajian Teori Hukum (Theoretical Framework)

a. Teori Kepastian Hukum (Gustav Radbruch): Hukum harus menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan secara seimbang.

b.  Teori Diskresi (H.L.A. Hart & Fuller): Diskresi aparat harus dibatasi dan diawasi; RJ yang bebas kontrol berpotensi melanggar asas legalitas.

c.  Teori Keadilan Restoratif (Howard Zehr): RJ seharusnya memulihkan relasi sosial, bukan menjadi alat kompromi transaksional.

d.   Teori Mediasi Penal: Dalam hukum Eropa (Belanda & Jerman), mediasi penal dilakukan di hadapan hakim untuk menjamin legitimasi dan transparansi.

e. Teori Sistem Peradilan Pidana (Lawrence Friedman): Ketiadaan regulasi RJ dalam sistem hukum nasional menimbulkan fragmentasi dalam struktur dan budaya hukum.

f.   Teori Etika Profesi Hukum: Keterlibatan ahli hukum dalam RJ di luar peradilan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

 

5.      Analisis Integratif (Integrative Analysis)

Pelaksanaan RJ di tingkat penyidikan dan penuntutan tanpa dasar hukum yang jelas berpotensi melanggar asas rule of law. Diskresi penyidik dan jaksa tanpa kontrol yudisial menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Secara filosofis, nilai-nilai pemulihan sosial tetap perlu dijaga, namun melalui mekanisme Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim agar hasilnya sah dan adil.

Selain itu, penyalahgunaan istilah “mafia” dalam wacana hukum harus dihentikan. Negara hukum wajib mengatur batasan terminologis yang jelas agar istilah tersebut tidak menjadi alat propaganda hukum.

 

6.      Kesimpulan (Conclusion)

Kritik terhadap Restorative Justice bukanlah penolakan terhadap keadilan yang humanis, melainkan seruan agar keadilan ditegakkan secara hukum, etis, dan bermartabat.

Karena itu, RJ perlu direkonstruksi menjadi Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim, dengan pengaturan eksplisit dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, terminologi “mafia” harus diatur secara yuridis agar tidak disalahgunakan dalam praktik hukum.

KONSEP PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PROSES PERADILAN DALAM RUU KUHP DAN KUHAP

Oleh: Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N
Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana – Polri Bandung.

 *)Kritik Akademik Terhadap Konsep Penyidikan, Penuntutan, dan Proses Peradilan dalam RUU KUHP dan KUHAP

1.      Kritik terhadap Pengertian “Penyelidikan” dan “Penyidikan”

a.      Kritik Yuridis-Konseptual

RUU KUHAP maupun KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) masih menggunakan pengertian klasik:

1)      Penyelidikan = serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

2)      Penyidikan = serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna menemukan tersangkanya.

Kritiknya:
Pengertian tersebut terlalu umum dan kabur, serta tidak membedakan secara konseptual antara:

1)      Tahap pengumpulan informasi awal (intelijen hukum), dan

2)      Tahap pembuktian formal (investigasi yuridis).

b.      Kritik Filosofis dan Teoretis

Dalam teori hukum modern (Sudarto, Romli Atmasasmita), penyelidikan merupakan tahap pre-legal, sedangkan penyidikan adalah legal process yang menimbulkan akibat hukum terhadap tersangka.

RUU KUHAP belum mencerminkan pembedaan tersebut. Akibatnya, sering terjadi kriminalisasi dini (premature prosecution) sebelum alat bukti terbentuk.

c.       Usulan Reformulasi

Penyidikan seharusnya didefinisikan sebagai kegiatan hukum formal yang hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya minimal dua alat bukti yang sah, bukan sekadar berdasarkan dugaan awal.

 

2.      Kritik terhadap Pengertian “Penuntutan Umum”

a.      Kritik Yuridis

Pasal 1 angka 7 KUHAP mendefinisikan penuntutan hanya sebagai tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Definisi ini tidak mencakup fungsi substantif jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis).

b.      Kritik Filosofis

Dalam doktrin hukum pidana modern, penuntutan harus dipahami sebagai fungsi peralihan dari penyidikan ke peradilan, bukan sekadar fungsi administratif.
Namun, dalam praktik di Indonesia, fungsi kontrol jaksa terhadap penyidik tidak berjalan efektif karena batasan pengertiannya terlalu administratif.

c.       Usulan Reformulasi

Penuntutan seharusnya didefinisikan sebagai serangkaian tindakan hukum yang dilakukan oleh penuntut umum untuk menilai kecukupan bukti, menentukan kelayakan perkara dibawa ke pengadilan, serta mewakili negara dalam proses peradilan.

 

3.      Perlunya Penjelasan Transparan tentang Dua Alat Bukti

Kritik

RUU KUHAP maupun KUHP hanya menyebut adanya dua alat bukti yang sah tanpa mekanisme penilaian yang transparan. Ketiadaan definisi kuantitatif dan kualitatif atas alat bukti — terutama terkait keterangan ahli dan dokumen elektronik — menimbulkan ketidakpastian hukum.

Usulan Akademik

RUU KUHAP harus memuat mekanisme verifikasi alat bukti secara terbuka, misalnya melalui pra-peradilan khusus atau hearing evidence conference sebagaimana diterapkan dalam sistem hukum Jerman dan Amerika Serikat.

 

4.      Ahli Hukum Tidak Layak Masuk dalam Kategori Penyidikan dan Penuntutan

Kritik Teoretis

Ahli hukum memiliki fungsi epistemologis — memberi pandangan hukum, bukan memperkuat dugaan penyidik. Namun, dalam praktik, penyidik dan penuntut umum sering menempatkan ahli hukum sebagai alat bukti penguat dakwaan, bukan sebagai saksi objektif.

Implikasi

Kondisi ini menimbulkan bias yuridis (legal bias), karena keterangan ahli digunakan bukan untuk menjernihkan norma, melainkan untuk menjustifikasi tindakan penyidik.

Usulan Reformulasi

Ahli hukum harus dikecualikan dari kategori saksi ahli dalam tahap penyidikan dan penuntutan, serta hanya boleh hadir di pengadilan sebagai penjelas hukum bagi hakim.

 

5.      Ahli Hukum Hanya Boleh Diminta Keterangannya Setelah Perkara Masuk Pengadilan

Argumentasi Filosofis

Fungsi ahli hukum adalah penerang norma, bukan penemu fakta.
Tahap penyidikan dan penuntutan merupakan fact-finding process, sedangkan tahap peradilan adalah law-applying process.

Oleh karena itu, ahli hukum seharusnya hanya dimintai keterangannya oleh hakim setelah perkara dinyatakan lengkap (P-21) dan masuk tahap persidangan.

Konsekuensi Praktis

a.       Menghindari penyalahgunaan peran ahli untuk mendukung dakwaan.

b.      Menjaga netralitas keilmuan hukum agar tidak dijadikan alat legitimasi kekuasaan penegak hukum.

 

6.      Ahli Hukum Hanya Dapat Diminta oleh Hakim

Usulan Normatif

Dalam RUU KUHAP perlu ditegaskan: “Keterangan ahli hukum hanya dapat diminta oleh hakim dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, setelah perkara dinyatakan lengkap (P-21).”

Ketentuan ini menegaskan fungsi hakim sebagai pengendali interpretasi hukum (judicial control), bukan sebagai penyidik atau penuntut.

 

7.      Makna “Proses Peradilan” Harus Tegas dan Konsisten

Kritik Yuridis

Banyak undang-undang sektoral (seperti UU Tipikor, UU Narkotika, UU ITE) menggunakan istilah “proses peradilan” tanpa merujuk pada UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Akibatnya, muncul perluasan tafsir terhadap istilah tersebut yang berpotensi merusak asas sistem peradilan tunggal.

Usulan Reformulasi

Dalam RUU KUHAP perlu ditegaskan bahwa: “Proses peradilan adalah seluruh tahapan pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam UU Kekuasaan Kehakiman.”

 

8.      Harus Ada Definisi Tegas antara “Pra-Peradilan” dan “Proses Peradilan”

Kritik Konseptual

Saat ini, pra-peradilan sering disalahartikan sebagai bagian dari peradilan pokok, padahal secara teori merupakan bentuk quasi judicial review terhadap tindakan aparat penegak hukum. Belum ada batas yang jelas antara wewenang pra-peradilan dan wewenang peradilan materiil.

Usulan Akademik

Pra-peradilan harus ditegaskan sebagai mekanisme kontrol legalitas terhadap tindakan penegak hukum (penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan).

Proses peradilan adalah mekanisme pembuktian substansial perkara di pengadilan. Dengan demikian, pra-peradilan bukan bagian dari peradilan pidana substantif, melainkan instrumen pengawasan dalam sistem kekuasaan kehakiman.

 

Kesimpulan Umum Kritik

1.  Pengertian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam RUU KUHAP masih terlalu umum dan tidak memadai secara epistemologis.

2.  Posisi ahli hukum perlu diredefinisi agar tidak dijadikan alat legitimasi dalam proses penuntutan.

3.  Perlu pemisahan tegas antara pra-peradilan dan proses peradilan, serta penegasan bahwa makna “proses peradilan” hanya dapat ditafsirkan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman.

4.     Reformasi KUHAP harus menempatkan hakim sebagai satu-satunya penafsir proses peradilan dan hukum acara, bukan penyidik maupun penuntut umum.

Menteri Hukum Sampaikan Capaian Pemerintahan Presiden Prabowo Kepada anggota Justice Action Coalition di Madrid, Dalam Memperluas Akses Keadilan Melalui Posbankum

Grosse, Jakarta - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas,  berbagi pengalaman dengan Anggota Justice Action Coalition (JAC) dalam Pembentukan Pos Bantuan Hukum Desa (Posbankum), sebuah model yang terbukti efektif dalam menyediakan akses terhadap keadilan untuk semua. Hal ini disampaikan Menteri Hukum dalam Pertemuan Tingkat Tinggi JAC di Madrid 11 November 2025. PTT JAC dihadiri oleh pejabat setingkat menteri dari 18 negara yakni Indonesia, Kanada, Kosta Rika, Republik Dominican, Perancis, Jerman, Kosovo, Liberia, Belanda, São Tomé and Principe dan  Sierra Leone. 

Menteri Hukum menyampaikan selama bertahun-tahun, Indonesia telah berhasil menerapkan program keadilan yang berpusat pada masyarakat, meskipun menghadapi tantangan berat akibat keterbatasan sumber daya pemerintah.

“Hingga saat ini, di bawah portofolio saya, untuk mencapai salah satu misi Presiden kami Prabowo Subianto yang disebut Asta Cita yang berfokus pada Akses terhadap Keadilan, Kementerian Hukum, bekerja sama dengan Mahkamah Agung dan Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal, kami membentuk Pos Bantuan Hukum di tingkat desa yang melayani secara gratis informasi hukum, konsultasi, mediasi, dan rujukan kepada pengacara untuk litigasi. Kami juga mendorong Organisasi Advokat untuk menyediakan layanan pro bono bagi warga desa. Hingga hari ini,  lebih dari 70.000 Pos Bantuan Hukum Desa telah didirikan. Target kami adalah mencapai 83.957 pos di seluruh Indonesia pada akhir tahun ini,” tegas Menteri Hukum.


Untuk tujuan ini, Kementerian Hukum bekerja sama dengan Organisasi Pemberi Bantuan Hukum telah melatih lebih dari 120.000 paralegal dan kepala desa sebagai juru damai untuk membantu individu dalam menyelesaikan masalah hukum mereka di tingkat desa. 

Koalisi harus diperkuat melalui tindakan nyata dan kolaborasi. “Kami mengusulkan untuk mengintensifkan kerja sama melalui peningkatan kapasitas yang dirancang khusus (tailor-made capacity-building) dan bantuan teknis bagi anggota Koalisi Akses Keadilan untuk mendukung kapasitas mereka dalam meningkatkan akses terhadap keadilan bagi semua,” lanjut Menteri Hukum.

Dari data real time BPHN saat ini sudah lebih dari 2062  kasus ditangani Posbankum di seluruh Indonesia. Dominasi kasus terkait sengketa tanah, utang piutang, pidana ringan, perselisihan warga dan kekerasan  dalam rumah tangga. 

Justice Action Coalition merupakan merupakan aliansi multi-pemangku kepentingan yang terdiri dari berbagai negara dan organisasi yang berkomitmen untuk mewujudkan akses keadilan yang setara bagi semua orang. Dua puluh satu negara bergabung dalam koalisi ini yakni Kanada, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Prancis, Jerman, Indonesia, Kosovo, Liberia, Luksemburg, Belanda, Nigeria, Norwegia, Portugal, São Tomé dan Príncipe, Sierra Leone, Kepulauan Solomon, Swedia, Swiss dan Amerika Serikat. Selain itu beberapa organisasi internasional juga menjadi anggota koalisi ini, di antaranya UNDP, OECD, Pathfinders dan beberapa organisasi lainnya.

Selasa, 11 November 2025

Pengwil Banten INI Tanda Tangani PKS dengan BPJS Ketenaga-kerjaan, DIsaksikan oleh Kepala Kanwil Kumham Banten

Grosse, Tangerang -  Perlindungan terhadap karyawan atau staff, diatur dalam Undang-Undang (UU) No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dimana tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, baik formal maupun non-formal, dari resiko sosial ekonomi yang mungkin timbul di masa kerja atau pensiun, misalnya kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan pensiun. Atas dasar itulah, BPJS yang dijembatani oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Banten, menggelar Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Pengurus Wilayah (Pengwil) Banten Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kontrak hukum yang mengikat untuk kerja sama tersebut dibuat setelah adanya kesepakatan awal atau bisa disebut Memorandum of Understanding (MoU). Penandatanganan PKS tentang Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, digelar di Novotel, Tangerang, Banten, Selasa 11 November 2025. PKS tersebut ditandatangani langsung oleh Kakanwil BPJS Banten, Eko Yuyulianda dan Ketua Pengwil Banten INI, Rustianah Dwi Korawan, SH, MKn dan Sekretaris Pengwil Banten INI, Sumening, SH, MKn, yang disaksikan langsung oleh Kakanwil Kemenkum Banten, DR. Pagar Butar Butar, SH, MSi. Hadir pada kegiatan tersebut, Bendahara Pengwil Banten INI, Tuti Sudiarti Wijaya, SH, SpN, Dewan Kehormatan Wilayah (DKW) Banten INI dan para Ketua Pengurus Daerah (Pengda) INI yang ada di Banten, serta para Kepala Kantor Cabang BPJS se-Banten.

Penandatanganan PKS tentang Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, digelar di Novotel, Tangerang, Banten, Selasa 11 November 2025, antara BPJS Ketenagakerjaan dan Pengwil Banten INI, disaksikan oleh Kakanwil Kemenkum Banten.

Analisis Perbandingan Hukum tentang Malpraktik Profesional

Oleh : Prof Dr Widhi Handoko SH Sp.N
Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana Polri Bandung

 

1. Sistem Hukum Belanda (Civil Law Tradition – Asal KUHP Indonesia)

      a. Dasar Hukum

Tidak ada istilah “malpraktik” secara eksplisit dalam Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda), namun substansinya diatur melalui:

Artikel 307 dan 308 WvS: tentang kelalaian menyebabkan mati atau luka berat (dood door schuld dan zwaar lichamelijk letsel door schuld).

Wet op de beroepen in de individuele gezondheidszorg (BIG Act): mengatur sanksi disipliner terhadap tenaga kesehatan (penangguhan, pencabutan izin, atau teguran).

Untuk profesi hukum, Advocatenwet dan Notariswet juga mengatur sanksi etik dan administratif.

     

     b. Karakteristik

Malpraktik dianggap sebagai “schuld-delict” (delik kelalaian), yang baru menjadi pidana jika memenuhi unsur:

1. Kelalaian berat (grove schuld),

2. Adanya akibat yang nyata (kematian, luka berat, kerugian serius),

3. Adanya hubungan kausalitas langsung antara perbuatan dan akibat.

Proses pidana selalu mendahulukan penilaian etik profesi, melalui Tuchtcollege (Dewan Disiplin Profesional). Jika terbukti ada kesalahan etik berat, baru dilanjutkan ke pidana.

 
      c. Pelajaran bagi Indonesia

> Belanda menempatkan malpraktik sebagai bagian dari delik kelalaian khusus yang berbasis profesi, dan tidak serta-merta pidana sebelum terbukti pelanggaran etik berat. Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara perlindungan pasien/klien dan perlindungan profesi.

 

2. Sistem Hukum Jerman (Continental Law – Model Tanggung Jawab Profesional Modern)

      a. Dasar Hukum

Strafgesetzbuch (StGB) memuat ketentuan umum kelalaian:

§222 StGB → Fahrlässige Tötung (kematian karena kelalaian),

§229 StGB → Fahrlässige Körperverletzung (cedera karena kelalaian),

Ditambah dengan Gesetz über die Ausübung der Heilkunde (Undang-Undang Praktik Medis).

Untuk profesi hukum, aturan etik dan sanksi diatur dalam Bundesrechtsanwaltsordnung (BRAO).

 

      b. Karakteristik

Terdapat dua lapis tanggung jawab:

1. Disipliner/Etik: dievaluasi oleh Kammergericht (Dewan Etik Profesi);

2. Pidana: diterapkan hanya jika ada unsur gross negligence atau unvertretbares Risiko (risiko     

    yang tidak dapat ditolerir secara profesional).

Hakim Jerman sangat menekankan pembuktian “Stand der Wissenschaft und Technik” — apakah tindakan profesional sesuai dengan standar keilmuan dan teknologi terkini.

Ada juga prinsip “Garantenstellung” (posisi penjamin), yaitu tanggung jawab moral dan hukum seorang profesional terhadap klien/pasien.

 

      c. Pelajaran bagi Indonesia

> Jerman memberikan teladan bahwa pertanggungjawaban pidana profesi harus didasarkan pada pelanggaran terhadap standar keilmuan dan teknologi terkini, bukan sekadar akibat yang timbul. Ini memperkuat prinsip due care dan professional diligence.

 

3. Sistem Hukum Amerika Serikat (Common Law Tradition – Model Tort Law dan Criminal Negligence)

      a. Dasar Hukum

Tidak ada satu undang-undang nasional tentang malpractice, tetapi:

Medical Malpractice Law dan Legal Malpractice Law diatur oleh masing-masing negara bagian.

Dasarnya adalah Tort Law (hukum perdata) — Negligence dan Duty of Care.

Namun, jika kelalaian dianggap gross negligence atau reckless disregard for human life, dapat dikenakan criminal negligence (pidana). 

 

      b. Karakteristik

Dua jalur penegakan hukum:

1. Civil Liability (Tort): ganti rugi kepada korban, tanpa pidana;

2. Criminal Liability: hanya untuk kasus kelalaian ekstrem (misalnya dokter mabuk saat operasi, atau advokat sengaja memalsukan dokumen).

Setiap negara bagian memiliki Medical Board dan Bar Association yang berwenang menjatuhkan sanksi etik dan mencabut izin.

 

      c. Pelajaran bagi Indonesia

> Amerika menegakkan konsep dual accountability — etik dan hukum — tetapi pidana hanya diterapkan untuk kasus gross negligence yang ekstrem. Pendekatan ini menekankan prinsip justice with proportionality, agar tidak terjadi kriminalisasi profesi.

 

4. Sintesis Komparatif dan Relevansi untuk Indonesia

Aspek Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat Implikasi bagi Indonesia

Istilah “malpraktik” Tidak eksplisit, tapi substansi diatur dalam schuld-delict Tidak eksplisit, tapi dikenali sebagai Fahrlässigkeit Eksplisit dalam Tort Law dan Criminal Negligence, Perlu eksplisit diatur dalam RUU KUHP

Dasar Kesalahan, Kelalaian berat (grove schuld), Gross negligence berdasar standar keilmuan Gross negligence atau reckless disregard, Perlu rumusan jelas tentang “kelalaian profesional berat”

Proses  Etik → Disiplin → Pidana. Etik → Ilmiah → Pidana Perdata → Etik → Pidana (ekstrem)         Harus didahului pemeriksaan etik profesi

Tujuan Hukum, Perlindungan publik dan profesi Perlindungan publik dengan profesionalisme tinggi. Keadilan dan tanggung jawab personal. Integrasi sistem etik, administratif, dan pidana

Model Ideal, Restoratif dan proporsional, Ilmiah dan ketat, Proporsional dan fleksibel, Kombinasi etik–pidana–restoratif.

 

5. Kesimpulan Perbandingan

1. Ketiga sistem hukum besar dunia telah memiliki mekanisme tanggung jawab pidana profesi, walau dengan istilah berbeda.

2. Indonesia masih tertinggal karena tidak memiliki istilah maupun norma eksplisit tentang malpraktik profesional dalam KUHP atau undang-undang sektoral.

3. Model ideal bagi Indonesia adalah sintesis Belanda–Jerman:

Harus ada unsur kelalaian profesional berat (gross negligence),

Proses pidana hanya dilakukan setelah pemeriksaan etik dan disipliner selesai,

Penegakan hukum tetap menjamin keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan perlindungan profesi.

Minggu, 09 November 2025

Tidak Ditemukannya Pengaturan dan Istilah “Malpraktik” dalam Sistem Hukum Nasional

Kritik Akademik Terhadap RUU KUHP

Tentang Tidak Ditemukannya Pengaturan dan Istilah “Malpraktik” dalam Sistem Hukum Nasional

oleh Widhi Handoko


 1.   
Fakta Yuridis: Tidak Ada Penggunaan Istilah “Malpraktik”

Secara normatif, baik KUHP lama, UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP Baru), maupun peraturan perundang-undangan sektoral, tidak satu pun menggunakan istilah malpraktik secara eksplisit dalam batang tubuh undang-undang. Padahal, istilah ini sudah dikenal luas dalam praktik hukum, notaris, kedokteran, maupun profesi hukum lainnya.

 

2.    2.  Kritik terhadap Tidak Ditemukannya Istilah dan Pengaturannya dalam Beberapa Undang-

            Undang

a.      UU Jabatan Notaris (UU No. 2 Tahun 2014 jo. UU No. 30 Tahun 2004)

Kritik:
Tidak ditemukan satu pun pasal yang menggunakan atau menjelaskan malpraktik notaris. Jangan sampai istilah malpraktik notaris digunakan, padahal tidak ditemukan pengaturannya. Yang diatur hanyalah pelanggaran jabatan, pelanggaran kode etik, serta tanggung jawab perdata/pidana umum (Pasal 85–89).

Implikasi:
Akibatnya, ketika seorang notaris melakukan kelalaian profesional yang merugikan klien (misalnya kesalahan redaksi akta atau pemalsuan materiel karena kecerobohan), tidak ada delik khusus yang menjeratnya sebagai malpraktik.
Ia hanya dapat dikenai pasal pidana umum seperti Pasal 263 KUHP atau Pasal 266 KUHP. Padahal, malpraktik notarial seharusnya dikonstruksi sebagai tindak pidana jabatan profesional yang memerlukan unsur kesalahan profesional (professional negligence).

b.      UU Praktik Kedokteran (UU No. 29 Tahun 2004)

Kritik:
Meskipun tujuan undang-undang ini adalah menjamin mutu praktik kedokteran dan perlindungan pasien, tidak ada satu pun pasal yang menggunakan istilah malpraktik. Pasal 66–70 hanya mengatur sanksi disiplin administratif (pencabutan izin praktik, teguran, dan sebagainya), bukan sanksi pidana khusus untuk kelalaian berat profesional.

Implikasi:
Dalam praktik, pasien yang mengalami kerugian karena tindakan medis harus menempuh jalur pidana umum melalui Pasal 359 KUHP (kelalaian menyebabkan mati) atau Pasal 360 KUHP (kelalaian menyebabkan luka), tanpa mempertimbangkan konteks etikomedis dan standar profesi. Akibatnya, penegakan hukum kehilangan keseimbangan antara aspek etik, administratif, dan pidana.

 

c.       UU Profesi Lainnya (Advokat, Tenaga Kesehatan, Akuntan Publik, dan Lainnya)

Kritik:
Pola yang sama juga terjadi—tidak ada pengaturan pidana mengenai malpraktik profesional.
Semua hanya mengatur pelanggaran etika dan sanksi administratif (misalnya pencabutan izin, skorsing, atau peringatan).

Contoh:

1)   UU Advokat No. 18 Tahun 2003 → hanya mengatur pelanggaran kode etik melalui Dewan Kehormatan (Pasal 6, 7, dan 9);

2)  UU Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014 → juga tidak menyebut malpraktik, hanya menyinggung “kelalaian berat” secara umum.

Implikasi:
Hukum positif Indonesia tidak memiliki dasar legal formal untuk menindak malpraktik profesional sebagai delik tersendiri. Semua bentuk kelalaian profesi masih diadili menggunakan instrumen hukum umum yang tidak mempertimbangkan professional duty dan trust-based relationship antara pelaku dan korban.

 

3.     3.  Dampak Yuridis dan Filosofis

Secara filosofis, negara belum menghadirkan perlindungan yang seimbang antara kepentingan profesi dan hak masyarakat yang dirugikan.

Secara yuridis, ketiadaan pasal tentang malpraktik menyebabkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam bidang pertanggungjawaban profesi.

Secara sosiologis, kondisi ini menimbulkan ketidakpastian bagi korban dan masyarakat, serta sering memicu kriminalisasi profesional dengan pasal kelalaian umum yang tidak sesuai dengan konteksnya.

 

4.  Usulan Reformulasi

Agar RUU KUHP maupun undang-undang sektoral menjadi lebih komprehensif, disarankan:

a.   Menambahkan Bab baru tentang “Tindak Pidana Malpraktik Profesional”, mencakup profesi kedokteran, hukum, dan jabatan kepercayaan publik.

b.  Membedakan unsur kesalahan antara kelalaian ringan, kelalaian berat (gross negligence), dan kesengajaan dalam konteks profesional.

c. Menetapkan tanggung jawab pidana dan etik secara proporsional, agar tidak terjadi kriminalisasi profesi namun tetap memberikan perlindungan hukum bagi korban.


5.   Rancangan Pasal Usulan (Model Akademik)

Pasal X

(1) Setiap orang yang karena kelalaian berat dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan standar profesi yang berlaku, dan mengakibatkan kerugian serius terhadap hak orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V.

(2) Dalam hal kelalaian tersebut menyebabkan kematian atau kerugian yang tidak dapat dipulihkan, pidana dapat ditambah sepertiganya.

(3) Ketentuan mengenai standar profesi dan jenis profesi yang dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.