![]() |
| Oleh: Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, POLRI Bandung |
(Academic Critique on the Settlement of Criminal Cases through Restorative Justice at the Regional Police Level)
1. Pendahuluan
(Introduction)
Penerapan Restorative Justice (RJ) dalam
penanganan perkara pidana di tingkat penyidikan kepolisian telah menjadi
fenomena baru dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Meskipun secara ideal
RJ dimaksudkan untuk mengedepankan keadilan yang berorientasi pada pemulihan,
praktiknya sering menimbulkan persoalan baru yang menyentuh aspek kepastian
hukum, penyalahgunaan kewenangan (abuse of discretion), serta
penyimpangan fungsi penegakan hukum.
The
implementation of Restorative Justice (RJ) in criminal case handling at the
police investigation level has become a new phenomenon in Indonesia’s law
enforcement practice. Although RJ is ideally designed to promote restorative
and rehabilitative justice, in practice it often generates new problems related
to legal certainty, abuse of discretion, and deviation from the true function
of law enforcement.
Kritik ini diajukan sebagai refleksi akademik terhadap
praktik RJ yang telah bergeser dari nilai filosofisnya menuju ranah pragmatis,
bahkan transaksional. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi normatif agar
penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan tetap berada dalam koridor
hukum dan pengawasan yudisial.
This
critique is proposed as an academic reflection on the practice of RJ, which has
shifted from its philosophical essence toward pragmatic and transactional
tendencies. Thus, normative reconstruction is required to ensure that
justice-oriented case resolution remains within the legal corridor and under
judicial supervision.
2. Kritik
terhadap Pelaksanaan Restorative Justice di Tingkat Polda
(Criticism of the
Implementation of Restorative Justice at the Police Level)
a.
Restorative
Justice menjadi alat bargaining yang subyektif
RJ sering dijadikan alat tawar-menawar yang bersifat
subyektif dan dikendalikan oleh oknum Direktorat Kriminal Umum maupun
Direktorat Kriminal Khusus. Hal ini menyebabkan penyelesaian perkara kehilangan
objektivitas dan prinsip keadilan.
RJ
is often used as a subjective bargaining mechanism controlled by individuals
within the Directorate of General Crime or the Directorate of Special Crime,
leading to a loss of objectivity and justice in case resolution.
b.
Kembalikan
mekanisme penyelesaian kepada konsep Alternative Dispute Resolution
(ADR)
Penyelesaian perkara secara konsensual seharusnya
dikembalikan ke kerangka ADR yang menekankan kesetaraan dan netralitas
mediator, bukan dikendalikan oleh diskresi penyidik.
Consensual
case settlements should return to the ADR framework, emphasizing equality of
parties and mediator neutrality, not controlled by investigative discretion.
c.
Perlu kodifikasi ADR dalam RUU KUHP
Agar ADR memiliki nilai kepastian hukum, mekanismenya
perlu diatur secara tegas dalam RUU KUHP sebagai bagian dari reformasi hukum
pidana nasional.
To
ensure legal certainty, ADR mechanisms should be explicitly codified in the
Draft Criminal Code as part of the national criminal law reform.
d.
Restorative Justice dalam tahap penuntutan menjadi alat
kompromi transaksional
Dalam praktik, RJ di tingkat kejaksaan (UU No. 11 Tahun
2021) sering menjadi alat kompromi atau “dagang sapi” yang merugikan korban.
Karena itu, sebaiknya diganti dengan konsep Mediasi Penal di hadapan hakim.
In
practice, RJ at the prosecution level (Law No. 11 of 2021) often turns into a
transactional compromise that harms victims. Therefore, it should be replaced
by the Penal Mediation concept under judicial supervision.
e.
Mediasi Penal perlu diatur dalam KUHP dan KUHAP
Agar hasil penyelesaian memiliki kekuatan hukum tetap (res
judicata), Mediasi Penal harus diatur secara eksplisit dalam KUHP dan
KUHAP.
To
ensure final and binding results (res judicata), Penal Mediation must be
explicitly regulated in both the Criminal Code and the Criminal Procedure Code.
f.
Perlu klarifikasi istilah “Mafia” dalam praktik hukum
Istilah seperti mafia tanah, mafia hukum, atau mafia peradilan
sering digunakan tanpa batasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi
menyudutkan pihak tertentu. Harus ada klausula normatif agar istilah ini tidak
disalahgunakan untuk menggiring opini publik.
Terms
such as land mafia, legal mafia, or judicial mafia are often used without clear
legal definition, potentially vilifying certain parties. A normative clause
must be established to prevent misuse of such terminology.
3.
Landasan
Yuridis (Legal Basis)
a. Pasal
1 ayat (3) UUD 1945:
Indonesia sebagai negara hukum menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Article
1 paragraph (3) of the 1945 Constitution: Indonesia as a state of law
guarantees certainty, justice, and benefit.
b. Pasal
24 ayat (1) UUD 1945:
Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka; RJ di luar pengawasan yudisial dapat
melanggar prinsip ini.
Article
24 paragraph (1) of the 1945 Constitution: Judicial power is independent; RJ
outside judicial oversight violates this principle.
c. Pasal 3 dan 5 KUHAP: Proses
peradilan pidana harus dilakukan oleh pengadilan, bukan lembaga eksekutif.
Articles
3 and 5 of the Criminal Procedure Code: Criminal justice must be conducted by
courts, not by executive institutions.
d. UU
No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan: Memberi kewenangan RJ tanpa dasar
yudisial yang jelas, menimbulkan potensi penyalahgunaan.
Law
No. 11 of 2021 on the Prosecution Service: Grants RJ authority without clear
judicial basis, creating potential for misuse.
e. Perkap No. 8 Tahun 2021: Mengatur RJ tanpa
dasar normatif di KUHP/KUHAP, menyebabkan disharmoni vertikal.
Police
Regulation No. 8 of 2021: Regulates RJ without normative basis in the Criminal
Code, causing vertical disharmony.
f. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori:
Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang
lebih tinggi.
Principle
of Lex Superior Derogat Legi Inferiori: Lower regulations cannot contradict
higher-level laws.
4.
Kajian
Teori Hukum (Theoretical Framework)
a. Teori Kepastian Hukum (Gustav Radbruch): Hukum
harus menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan secara seimbang.
b. Teori Diskresi (H.L.A. Hart & Fuller):
Diskresi aparat harus dibatasi dan diawasi; RJ yang bebas kontrol berpotensi
melanggar asas legalitas.
c. Teori Keadilan Restoratif (Howard Zehr): RJ
seharusnya memulihkan relasi sosial, bukan menjadi alat kompromi transaksional.
d. Teori Mediasi Penal: Dalam hukum
Eropa (Belanda & Jerman), mediasi penal dilakukan di hadapan hakim untuk
menjamin legitimasi dan transparansi.
e. Teori Sistem Peradilan Pidana (Lawrence Friedman):
Ketiadaan regulasi RJ dalam sistem hukum nasional menimbulkan fragmentasi dalam
struktur dan budaya hukum.
f. Teori Etika Profesi Hukum: Keterlibatan
ahli hukum dalam RJ di luar peradilan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
5. Analisis
Integratif (Integrative Analysis)
Pelaksanaan RJ di tingkat penyidikan dan penuntutan tanpa
dasar hukum yang jelas berpotensi melanggar asas rule of law. Diskresi
penyidik dan jaksa tanpa kontrol yudisial menciptakan ketidakpastian hukum dan
membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Secara filosofis, nilai-nilai pemulihan sosial tetap
perlu dijaga, namun melalui mekanisme Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim
agar hasilnya sah dan adil.
Selain itu, penyalahgunaan istilah “mafia” dalam wacana
hukum harus dihentikan. Negara hukum wajib mengatur batasan terminologis yang
jelas agar istilah tersebut tidak menjadi alat propaganda hukum.
6. Kesimpulan
(Conclusion)
Kritik terhadap Restorative Justice bukanlah
penolakan terhadap keadilan yang humanis, melainkan seruan agar keadilan
ditegakkan secara hukum, etis, dan bermartabat.
Karena itu, RJ perlu direkonstruksi menjadi Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim, dengan pengaturan eksplisit dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, terminologi “mafia” harus diatur secara yuridis agar tidak disalahgunakan dalam praktik hukum.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar