Rabu, 12 November 2025

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MELALUI RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT POLDA

Oleh: Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N
Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, POLRI Bandung

*) Kritik Akademik Terhadap Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Restorative Justice di Tingkat Polda
(Academic Critique on the Settlement of Criminal Cases through Restorative Justice at the Regional Police Level)


1.      Pendahuluan (Introduction)

Penerapan Restorative Justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana di tingkat penyidikan kepolisian telah menjadi fenomena baru dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Meskipun secara ideal RJ dimaksudkan untuk mengedepankan keadilan yang berorientasi pada pemulihan, praktiknya sering menimbulkan persoalan baru yang menyentuh aspek kepastian hukum, penyalahgunaan kewenangan (abuse of discretion), serta penyimpangan fungsi penegakan hukum.

The implementation of Restorative Justice (RJ) in criminal case handling at the police investigation level has become a new phenomenon in Indonesia’s law enforcement practice. Although RJ is ideally designed to promote restorative and rehabilitative justice, in practice it often generates new problems related to legal certainty, abuse of discretion, and deviation from the true function of law enforcement.

Kritik ini diajukan sebagai refleksi akademik terhadap praktik RJ yang telah bergeser dari nilai filosofisnya menuju ranah pragmatis, bahkan transaksional. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi normatif agar penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan yudisial.

This critique is proposed as an academic reflection on the practice of RJ, which has shifted from its philosophical essence toward pragmatic and transactional tendencies. Thus, normative reconstruction is required to ensure that justice-oriented case resolution remains within the legal corridor and under judicial supervision.

 

2.      Kritik terhadap Pelaksanaan Restorative Justice di Tingkat Polda

            (Criticism of the Implementation of Restorative Justice at the Police Level)

a.       Restorative Justice menjadi alat bargaining yang subyektif

RJ sering dijadikan alat tawar-menawar yang bersifat subyektif dan dikendalikan oleh oknum Direktorat Kriminal Umum maupun Direktorat Kriminal Khusus. Hal ini menyebabkan penyelesaian perkara kehilangan objektivitas dan prinsip keadilan.

RJ is often used as a subjective bargaining mechanism controlled by individuals within the Directorate of General Crime or the Directorate of Special Crime, leading to a loss of objectivity and justice in case resolution.

b.      Kembalikan mekanisme penyelesaian kepada konsep Alternative Dispute Resolution (ADR)

Penyelesaian perkara secara konsensual seharusnya dikembalikan ke kerangka ADR yang menekankan kesetaraan dan netralitas mediator, bukan dikendalikan oleh diskresi penyidik.

Consensual case settlements should return to the ADR framework, emphasizing equality of parties and mediator neutrality, not controlled by investigative discretion.

c.       Perlu kodifikasi ADR dalam RUU KUHP

Agar ADR memiliki nilai kepastian hukum, mekanismenya perlu diatur secara tegas dalam RUU KUHP sebagai bagian dari reformasi hukum pidana nasional.

To ensure legal certainty, ADR mechanisms should be explicitly codified in the Draft Criminal Code as part of the national criminal law reform.

d.      Restorative Justice dalam tahap penuntutan menjadi alat kompromi transaksional

Dalam praktik, RJ di tingkat kejaksaan (UU No. 11 Tahun 2021) sering menjadi alat kompromi atau “dagang sapi” yang merugikan korban. Karena itu, sebaiknya diganti dengan konsep Mediasi Penal di hadapan hakim.

In practice, RJ at the prosecution level (Law No. 11 of 2021) often turns into a transactional compromise that harms victims. Therefore, it should be replaced by the Penal Mediation concept under judicial supervision.

e.       Mediasi Penal perlu diatur dalam KUHP dan KUHAP

Agar hasil penyelesaian memiliki kekuatan hukum tetap (res judicata), Mediasi Penal harus diatur secara eksplisit dalam KUHP dan KUHAP.

To ensure final and binding results (res judicata), Penal Mediation must be explicitly regulated in both the Criminal Code and the Criminal Procedure Code.

f.        Perlu klarifikasi istilah “Mafia” dalam praktik hukum

Istilah seperti mafia tanah, mafia hukum, atau mafia peradilan sering digunakan tanpa batasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi menyudutkan pihak tertentu. Harus ada klausula normatif agar istilah ini tidak disalahgunakan untuk menggiring opini publik.

Terms such as land mafia, legal mafia, or judicial mafia are often used without clear legal definition, potentially vilifying certain parties. A normative clause must be established to prevent misuse of such terminology.

 

3.      Landasan Yuridis (Legal Basis)

a.   Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: Indonesia sebagai negara hukum menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution: Indonesia as a state of law guarantees certainty, justice, and benefit.

b. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka; RJ di luar pengawasan yudisial dapat melanggar prinsip ini.

Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution: Judicial power is independent; RJ outside judicial oversight violates this principle.

c.   Pasal 3 dan 5 KUHAP: Proses peradilan pidana harus dilakukan oleh pengadilan, bukan lembaga eksekutif.

Articles 3 and 5 of the Criminal Procedure Code: Criminal justice must be conducted by courts, not by executive institutions.

d.   UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan: Memberi kewenangan RJ tanpa dasar yudisial yang jelas, menimbulkan potensi penyalahgunaan.

Law No. 11 of 2021 on the Prosecution Service: Grants RJ authority without clear judicial basis, creating potential for misuse.

e. Perkap No. 8 Tahun 2021: Mengatur RJ tanpa dasar normatif di KUHP/KUHAP, menyebabkan disharmoni vertikal.

Police Regulation No. 8 of 2021: Regulates RJ without normative basis in the Criminal Code, causing vertical disharmony.

f.  Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori: Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Principle of Lex Superior Derogat Legi Inferiori: Lower regulations cannot contradict higher-level laws.

 

4.      Kajian Teori Hukum (Theoretical Framework)

a. Teori Kepastian Hukum (Gustav Radbruch): Hukum harus menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan secara seimbang.

b.  Teori Diskresi (H.L.A. Hart & Fuller): Diskresi aparat harus dibatasi dan diawasi; RJ yang bebas kontrol berpotensi melanggar asas legalitas.

c.  Teori Keadilan Restoratif (Howard Zehr): RJ seharusnya memulihkan relasi sosial, bukan menjadi alat kompromi transaksional.

d.   Teori Mediasi Penal: Dalam hukum Eropa (Belanda & Jerman), mediasi penal dilakukan di hadapan hakim untuk menjamin legitimasi dan transparansi.

e. Teori Sistem Peradilan Pidana (Lawrence Friedman): Ketiadaan regulasi RJ dalam sistem hukum nasional menimbulkan fragmentasi dalam struktur dan budaya hukum.

f.   Teori Etika Profesi Hukum: Keterlibatan ahli hukum dalam RJ di luar peradilan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

 

5.      Analisis Integratif (Integrative Analysis)

Pelaksanaan RJ di tingkat penyidikan dan penuntutan tanpa dasar hukum yang jelas berpotensi melanggar asas rule of law. Diskresi penyidik dan jaksa tanpa kontrol yudisial menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Secara filosofis, nilai-nilai pemulihan sosial tetap perlu dijaga, namun melalui mekanisme Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim agar hasilnya sah dan adil.

Selain itu, penyalahgunaan istilah “mafia” dalam wacana hukum harus dihentikan. Negara hukum wajib mengatur batasan terminologis yang jelas agar istilah tersebut tidak menjadi alat propaganda hukum.

 

6.      Kesimpulan (Conclusion)

Kritik terhadap Restorative Justice bukanlah penolakan terhadap keadilan yang humanis, melainkan seruan agar keadilan ditegakkan secara hukum, etis, dan bermartabat.

Karena itu, RJ perlu direkonstruksi menjadi Mediasi Penal di bawah pengawasan hakim, dengan pengaturan eksplisit dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, terminologi “mafia” harus diatur secara yuridis agar tidak disalahgunakan dalam praktik hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar