Senin, 14 Agustus 2023

Harus Digagas Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Terkait Alat Bukti Akta

Oleh : Prof. DR. H. Widhi Handoko, SH, SpN
Akademisi dan Profesional Hukum
Pada tulisan ini sengaja saya membuka wawasan dan menyatukan pembahasan tugas jabatan Notaris-PPAT.
Notaris-PPAT merupakan jabatan yang berbeda akan tetapi dalam tafsir hukum perlu digagas dalam satu aturan yang terintegrasi. Yang selama ini ibarat langit dan bumi dalam kapasitas perlindungan hukum atas jabatannya. Sudah saatnya Notaris-PPAT disatukan dalam ranah aturan yang sama "satu aturan" baik pengaturan tugas jabatan maupun perlindungannya. Soal kementerian yang berbeda dalam pembinaan dan pengawasan itu tidak masalah sebab semua sepanjang untuk kepentingan negara dan bangsa maka pengaturannya dapat digagas dalam satu kitab UU. Seperti halnya omnibus law.
Omnibus law adalah regulasi atau Undang-Undang (UU) yang mencakup berbagai isu atau topik. Secara harfiah, definisi omnibus law adalah hukum untuk semua. Istilah ini berasal dari bahasa latin, yakni omnis yang berarti 'untuk semua' atau 'banyak'.
Notaris-PPAT bukan jabatan remeh temeh, namun merupakan jabatan dengan label officium nobele "berharkat, bermartabat dan terhormat" sudah saatnya negara tidak membutakan diri terhadap kepentingan Notaris-PPAT. Sudah saatnya negara buka mata dan sadar memiliki rasa empati dan terimakasih terhadap kinerja Notaris-PPAT di negeri Indonesia tercinta ini.
Notaris PPAT memiliki peran yang penting bahkan vital terhadap keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Mereka diangkat oleh negara sebagai pejabat yang menjalankan tugas negara dan sebagai pejabat publik. Tanpa Notaris PPAT dipastikan perekonomian akan lumpuh. Urusan hukum khususnya tentang alat bukti dan urusan ekonomi khususnya tentang perbankan, jual beli, badan hukum bahkan pengesahan surat-surat atau dokumen berharga lainnya, seperti dokumen waris dll, tidak terkecuali legalisasai dan legalisir surat berharga semua iti bagian dari tugas Notaris PPAT.
Dalam menjalankan tugas jabatan atas perintah UU Notaris PPAT selalu menekankan pada prosedur dan Standar Operasional Pekerjaan (SOP) sesuai peraturan perundang-undangan. Namun menjadi bias ketika produk akta Notaris PPAT dijadikan alat bukti dalam laporan perbuatan melawan hukum dan atau perbuatan lain yang dilaporkan dalam ranah pidana.
Dalam katagori law enforcement pihak APH ( penyidik dan penuntut umum) semestinya tidak berhak meminta keterangan Notaris PPAT sebagai saksi apapun alasannya kecuali Notaris-PPAT sebagai terlapor. Notaris-PPAT memiliki tanggung jawab profesional untuk membantu negara dalam menyiapkan alat bukti hukum. Notaris PPAT tidak dapat diintervensi oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan.
“Hal itu tidak bisa dilakukan. Itu merupakan profesi Notaris-PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai pejabat yang menjalankan tugas negara dan sebagai pejabat publik untuk itu prosedur menjalankan tugas jabatan sesuai dengan perintah peraturan perundang-undangan. Sesuai Pasal 66 UUJN penyidik dan penuntut umum tidak berhak meminta keterangan sebagai saksi,”
Notaris-PPAT hanya dapat dimintai keterangan sebagai saksi apabila terkait dengan sidang kode etik profesi atau sesuai Pasal 66 UUJN yaitu untuk kepentingan proses peradilan. Hal mana tegas dan jelas diterangkan bahwa proses peradilan yang dimaksud semestinya mengacu pada konstitusi kita yaitu UUD1945 juncto UU No. 48 tahun 2009 tentang Kehakimam. Jelas bahwa apa yang dimaksud "PROSES PERADILAN" bukan proses penyelidikan, penyidikan atau penuntutan.
Namun saya prihatin dari ketidak pahaman Menkumham menerjemahkan UUJN sehingga tafsir proses peradilan ditegaskan oleh Permenkumam 17 th 2021 tersebut terkesan tanpa pemahaman dan asal-asalan. Namanya kementerian hukum dan HAM akan tetapi kompetensi SDM dalam bidang hukum cukup memprihatinkan. Pada akhirnya menjadi buah simalakama bagi Notaris-PPAT.
Notaris-PPAT yang selama ini membantu negara sering menjadi tumbal bahkan di kriminalisasi atau oper kriminal dalam ranah law enforcement. Pasal 66 UU No. 2 tahun 2014 jo UU No. 30 Tahun 2004, sudah mengatur jelas dan tegas bahwa Notaris hanya dapat dijadikan saksi dalam proses peradilan bukan penyidikan atau penuntutan. Dalam proses penyidikan dan penuntutan Notaris tidak dapat dijadikan saksi, kecuali sebagai terlapor dan memenuhi bukti 184 KUHP.
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar