Rabu, 09 November 2016

MJ Widijatmoko, SH, Segala Suatu Berpatokan pada Hukum


Kebaradaan Mahkamah Perkumpulan (MP) di organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI), seharusnya berpatokan pada hukum. Hal ini disampaikan pertama kali oleh MJ Widijatmoko, SH kepada AKTA saat acara seminar di Hotel Amarossa, Bekasi, Senin (17/10-2016). Menurutnya, sebagai seorang Notaris dan anggota MP juga sebagai tokoh dalam organisasi, sudah semestinya ketika melakukan sesuatu itu berpatokan pada hukum. “Hukum yang berlaku bagi INI itu ada dua, pertama Staatsblad 1870-1964 tentang perkumpulan dan kedua adalah Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), UU No.2 Tahun 2014,”ujarnya.

UUJN itu sendiri, tambah pria yang akrab di sapa Pade Moko, mengatur bahwa seluruh Notaris berhimpun pada satu wadah, yaitu INI yang berbentuk perkumpulan. “Nah, karena berbentuk perkumpulan, maka harus tunduk pada staatsblad 1870-1964. Dimana ketentuan hukumnya seluruh statuta itu adalah Anggaran Dasar (AD), dan perubahannya untuk berlaku harus mendapatkan pengesahan dari Menteri. Jadi, selama belum mendapat pengesahan dari menteri, maka AD dan perubahannya itu, hukumnya tidak berlaku dan tidak mengikat, apalagi menjalankannya,” tambahnya.
Ketika disinggung mengenai pengesahan terhadap AD perubahan yang dilakukan di Banten tahun 2015 yang lalu, Pade Moko mengaku bahwa setahu dirinya sampai tanggal 10 Oktober 2016, belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham). “Mengenai eksistensi MP itu kan diatur dalam AD dulu, dan baru tata laksananya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART). Nah, keberadaan MP di AD itu kan belum disahkan oleh menteri, saya jadi bingung, kenapa mereka bersidang, padahal kelembagaannya belum sah secara hukum,” paparnya.
Lebih jauh lagi, Pade Moko menjelaskan bahwa siapa pun sebagai sarjana hukum, semestinya dalam bertindak dan berpikir, serta memutuskan, harusnya berlandaskan pada hukum terlebih dahulu. “Jadi, hukumnya mengikat bahwa perubahan AD itu harus disahkan menteri, baru berlaku dan mengikat. Sehingga kelembagaan MP hari ini, belum berlaku dan belum mengikat, karena belum disahkan oleh menteri,” jelasnya.
Kemudian yang kedua, tambahnya, jika mau mengikuti aturan AD/ART dimana pemohon harus mengajukan saksi. Apabila pemohon tidak mau mengajukan saksi dan bukti, maka persidangan belum bisa berjalan. “Lha hukum acara mana yang dipakai, kok tetap berjalan. Terus ketiga, pemohon yang dipanggil dan tidak datang tapi sidangnya jalan terus, kan ini lucu. Pertanyaan saya, hukum acara apa yang dipakai MP dalam bersidang? Apa ada model baru hukum beracara, pengadilan mencari saksi dan bukti sendiri, hukum acara mana yang dipakai. Jadi, menurut saya, apa yang dilakukan oleh MP ini, sama saja mencoreng keahlian dari sarjana hukum dalam bidang hukum dan beracara,” tegas Pade Moko.
Sebelum mengakhiri percakapan dengan AKTA, Pade Moko menekankan bahwa dalam staatsblad itu tidak diatur organ-organ yang harus ada, kecuali dua, yaitu rapat anggota dan pengurus. “Tapi, kalau dirancangkan oleh UU Perkumpulan, organ yang ada itu tiga, diantara rapat anggota, pengurus dan pengawas. Nah, terkait dengan INI, harusnya kan dibahas dulu, organisasi INI ini tunduk tidak pada staatsblad 1870 Tahun 1964 sampai hari ini. Dan karena keberadaan INI itu sudah tegas dan jelas, karena dia diatur dalam UUJN dengan sebutan organisasi Notaris, tapi definisi organisasinya berbentuk perkumpulan. Apakah perkumpulan di dalam pasal 1 tentang organisasi Notaris definisinya itu, kan tidak nyenggol sama sekali pada staatsblad,” paparnya.
Bagi Pade Moko, ada yang aneh dalam pemeriksaan yang dilakukan MP. “Seluruh pemeriksaan yang sudah saya dengar, semuanya itu terbukti. Masalah Dewan Kehormatan Pusat (DKP), itu jelas terbukti bahwa hanya ada 6 orang yang sah. Penggantinya itu tidak sah, dalam AD/ART tidak diatur. Kalau mau digantikan, dia menggunakan dasar kebiasaan, tapi kenapa dipakai yang 4 dukungan, lha kemana yang mendapat 5 atau 6 dukungan. Saya sudah ingatkan saat diperiksa, jangan sampai bikin sesuatu kemudian justru bikin masalah baru, hari ini terjadi. Sekarang sudah menjadi preseden dan yuriprudensi, bahwa segala sesuatu yang terbukti itu adalah sah,” tandasnya. (Machfudh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar