Sebagaimana difahami bahwa Pembuktian
Elektronik dinyatakan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE:
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk:
1. surat yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
2. surat beserta dokumennya yang menurut
Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain
yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi
harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.
Demikian juga dalam kaitannya dengan
“Produk Notaris”, dimana Notaris berwenang membuat 2 (dua) Jenis akta yaitu:
1. Akta yang dibuat “oleh” notaris atau
dinamakan “akta relaas” atau akta (ambtelijke akte), akta ini merupakan suatu
akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta
itu, yaitu notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris.
Akta yang dibuat sedemikian dan yang
memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu.
Termasuk di dalam akta “relaas” ini antara lain berita acara rapat/risalah para
pemegang saham dalam perseroan terbatas.
2. Akta yang dibuat “di hadapan” notaris
atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten), akta yang dibuat dihadapan
notaris, akta ini yang berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena
perbuatan yang di lakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang
diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan
untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan
memberikan kerterangan itu di hadapan notaris, agar keterangan itu dikonstantir
oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Termasuk dalam golongan akta ini
yaitu Perjanjian Sewa Menyewa, Jual Beli Saham, Jual Beli Mesin, Wasiat, Kuasa
dan lain sebagainya.
Terdapat syarat formil yang harus
dipenuhi untuk mendukung keabsahan Akta Notaris. Bahwa syarat formil tersebut
bersifat kumulatif dan bukan bersifat alternatif, artinya satu syarat saja
tidak terpenuhi maka mengakibatkan Akta Notaris tersebut mengandung cacat
formil dan berarti akibatnya tidak sah dan tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian.
Syarat-syarat formil tersebut adalah:
1. Dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang.
Berkaitan dengan hal tersebut maka harus
diperhatikan:
-Notaris harus berwenang sepanjang yang
menyangkut akta yang dibuat itu;
-Notaris harus berwenang sepanjang yang
mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
-Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
-Notaris harus berwenang sepanjang
mengenai waktu pembuatan akta itu.
Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
2. Dihadiri para pihak:
Pasal 16 ayat (1) huruf l mengatakan:
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Berkaitan dengan hal tersebut dapat
dipedomani Putusan MARI 3556 K/Pdt/1985 (walaupu untuk akta PPAT), dimana pihak
penjual sendiri tidak datang menghadap, tetapi hanya dihadiri pembeli saja
dengan keterangan bahwa para pihak telah sepakat mengadakan transaksi jual
beli. Pada kasus tersebut pengadilan menegaskan, perjanjian jual beli yang
tertuang dalam akta PPAT secara yuridis tidak memenuhi syarat untuk sahnya
akta, karena tidak dihadiri oleh para pihak.
Alasan yang menyatakan akta demikian
tidak sah, karena Akta Notaris yang bersifat Partij harus memuat keterangan
yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai landasan yang melahirkan
persetujuan. Dari mana Notaris mengetahui adanya persesuaian pendapat antara
para pihak, kalau yang datang memberikan dihadapan Notaris hanya satu pihak
saja.
3. Kedua belah pihak dikenal atau
dikenalkan kepada Notaris.
Pasal 39 UUJN-P mengatakan:
1. Penghadap harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. paling rendah berumur 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris
atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur
paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta.
Bahwa dalam setiap Akta Notaris harus
terdapat pernyataan dari Notaris bahwa para penghadap dikenal atau
diperkenalkan kepadanya. Biasanya yang memperkenalkan para pihak pada Notaris
adalah saksi. Para pihak datang kepada Notaris dan menyampaikan kehendaknya
untuk kemudian dituangkan ke dalam akta.
4. Dihadiri oleh dua orang saksi.
Bahwa pembuatan Akta Notaris dihadiri
dua orang saksi yang bertindak menyaksikan kebenaran “berlangsungnya pembuatan
akta dihadapan Notaris”.
Menurut Pasal 40 UUJN:
1. Setiap Akta yang dibacakan oleh
Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan
perundang-undangan menentukan lain.
2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling rendah berumur 18 (delapan
belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam
Akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan
paraf; dan
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan
atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan
derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau
para pihak.
3. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau
diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
4. Pengenalan atau pernyataan tentang
identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta.
Apabila yang bertidak sebagai saksi
termasuk orang yang dilarang Pasal 40 UUJN, maka akta tersebut tidak sah
sebagai Akta Notaris, tetapi hanya bernilai sebagai akta bawah tangan.
5. Menyebutkan Identitas Notaris,
penghadap dan para saksi sebagaimana diatur dalam pasal 38 UUJN.
Pasal 38 UUJN menyebutkan:
1. Setiap Akta terdiri atas:
b. awal Akta atau kepala Akta;
c. badan Akta; dan
d. akhir atau penutup Akta.
2. Awal Akta atau kepala Akta memuat:
a. judul Akta;
b. nomor Akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun;
dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan
Notaris.
3. Badan Akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan
bertindak penghadap;
c. isi Akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap
saksi pengenal.
4. Akhir atau penutup Akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan Akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan
tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
Akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan
yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah
perubahannya.
5. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat
Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan,
serta pejabat yang mengangkatnya.
Bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Pasal 38 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan, apabila para pihak menandatanganinya.
6. Menyebut tempat, jam, hari, bulan dan
tahun pembuatan akta sebagaimana disebutan dalam pasal 38 UUJN.
7. Notaris membacakan akta dihadapan
para penghadap.
Pasal 16 ayat (1) huruf m menyebutkan:
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: membacakan Akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4
(empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
Pasal 16 ayat (7) menyebutkan: Pembacaan
Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika
penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca
sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut
dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf
oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
8. Ditanda-tangani semua pihak.
Penandatanganan Akta Notaris sebagaimana
disebutkan Pasal 44 UUJN dilakukan segera setelah selesai pembacaan akta kepada
para pihak dan saksi.
Pasal 44 UUJN menyebutkan:
1. Segera setelah Akta dibacakan, Akta
tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali
apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan
menyebutkan alasannya.
2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
3. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah
resmi.
4. Pembacaan, penerjemahan atau
penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
serta dalam Pasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
5. Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris
9. Penegasan pembacaan, penerjemahan dan
penanda-tanganan pada akhir akta
Bahwa pencantuman yang berisi penegasan
penandatanganan dalam penutup akta bertujuan untuk mengidentifikasi tandatangan
para pihak dalam akta tersebut.
Pasal 38 ayat (4) UUJN menyebutkan:
Akhir atau penutup Akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan Akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan
tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
Akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan
yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah
perubahannya.
Dalam ketentuan lain berdasarkan pasal
164 HIR dan 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata ada lima alat bukti dalam
perkara perdata di Indonesia, yaitu:
1. alat bukti tertulis
2. alat bukti saksi
3. alat bukti persangkaaan
4. alat bukti pengakuan
5. alat bukti sumpah
Akta otentik berdasarkan Pasal 1868
KUHPerdata adalah :
“Suatu akta otentik adalah suatu akta
yang di dalam bentuknya yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya.”
Maka, unsur-unsur yang terdapat dalam
Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam
bentuk menurut hukum;
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta itu dibuat di hadapan yang
berwenang untuk membuatnya di tempat dimana dibuat.
Berkaitan dengan Alat Bukti Tertulis
atau surat dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti dalam acara
perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama di
banding yang lain.
Alat bukti tertulis atau surat adalah
segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan
atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan orang lain yang dapat
digunakan untuk alat pembuktian.
Ada dua macam alat bukti tertulis atau
surat, yaitu:
1. Surat yang bukan akta, dan
2. Surat yang berupa akta; yang dapat
dibagi lagi atas:
a. Akta Otentik; dan
b. Akta dibawah tangan.
Lebih jauh Akta Otentik diatur dalam
Pasal 165 HIR, 285 RBg dan 1868 KUHPerdata akta otentik adalah akta yang dibuat
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan
perundang itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku, baik undangan yang berlaku, baik dengan maupun tanpa bantuan pihak
yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya
oelh yang berkepentingan.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan
pejabat yang berwenang adalah Notaris, Panitera,Jurusita, Pegawai Catatan
Sipil, Hakim, dsb. Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, dsb.
Akta Otentik merupakan alat bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang warisnya atau orang-
orang yang mendapatkan hak daripadanya.
Dengan katalain, isi akta otentik
dianggap benar, selama ketidakbenaran lainnya tidak dapat dibuktikan.
Kewenangan notaris sendiri dapat dilihat
dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yaitu :
a. Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa
salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum,hal ini disebut
sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang :
-Tidak dikecualikan kepada pejabat lain
yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
-Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak
hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga,
artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa akta itu harus
berguna dikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.
-Menyangkut akta yang harus dibuat atau
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang
bersangkutan.
-Mengenai subjek hukum (orang atau badan
hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan.
Berdasarkan wewenang yang ada pada
notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian
dari akta notaris :
-Tugas jabatan notaris adalah
memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta otentik, dengan
memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
-Akta notaris sebagai akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan
atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau
menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya
sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kekuatan pembuktian akta notaris ini
berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
b. Kewenangan Khusus Notaris
Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai
kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu :
-Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-Membukukan surat-surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
-Membuat copy dari asli surat-surat
dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
-Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy
dengan surat aslinya;
-Memberikan penyuluhan hukum sehubungan
dengan pembuatan akta.
-Membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan; atau
-Membuat akta risalah lelang.
c. Kewenangan Notaris yang Akan
Ditentukan Kemudian.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan
wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan
ditentukan kemudian (ius constituendum).
Hubungannya dengan Notaris dan
Kewenangannya?
Dirjen AHU Kemenkumham RI: Cahyo
Rahadian Muzhar pada tanggal 1 Juli 2019 ketika melakukan pengukuhan pengurus
PP INI, menyatakan :
Notaris harus dapat membantu pemerintah
dalam menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan investasi yang nyaman dan aman
bagi para investor, khususnya dari luar negeri.
"Profesi notaris bersama dengan
akuntan dan pengacara merupakan profesi yang sangat penting bagi pengembangan
iklim investasi di Indonesia.
Oleh karena itu, integritas dan
profesional seorang notaris sangat diperlukan dalam mensukseskan era Industri
4.0.”
Memang beberapa waktu yang lalu dunia
notaris sudah disosialisasikan dengan cyber notary. Walaupun sampai dengan
sekarang masih sebatas konsep.
Cyber notary adalah konsep yang
memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan
tugas-tugasnya sehari-hari, seperti: digitalisasi dokumen, penanda-tanganan
akta secara eletronik, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham secara
teleconference, dan hal-hal lain yang sejenis.
Pada dasarnya konsep cyber notary
tersebut sudah pernah di perkenalkan pada tahun 1995. Namun, berhubung belum
adanya fasilitasi berupa UU yang mengatur mengenai cyber notary tersebut, maka
konsep cyber notary dimaksud menjadi hanya sebatas konsep saja, sehingga dalam
konteks era digital 4.0 sekarang ini masih belum tersambung.
Pada prinsipnya, konsep cyber notary
ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya
berjauhan, sehingga jarak bukan menjadi masalah lagi. contohnya, pemegang saham
yang berada di Amerika, Jepang ataupun singapura, dapat mengikuti Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan media teleconference dengan pemegang
saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh Notaris di Indonesia,.
Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang
saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri
tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS dimaksud dan hak suaranya tetapi
di hitung dalam quorum kehadiran.
Demikian pula pada saat penanda-tanganan
akta RUPS dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut
dapat menanda-tangani dokumen rapat secara elektronik.
Konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara
teleconference ini pada dasarnya sudah diatur dalam pasal 77 UUPT, yang pada
ayat 1 nya menyatakan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui
media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya
yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara
langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Akan tetapi ternyata tidak merubah
esensi Pasal 38 UUJN.
Memang dalam hal kebutuhan bisnis
memerlukan kecepatan dan ketepatan menjadi urgensi yang harus diperhatikan.
Namun demikian, sifat otentik dari suatu akta notaris tetap harus dijaga. Dan
secara normative konsep cyber notary tersebut belum diakomodasi dalam UUJN.
Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta
Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut
bentuk dan tata cara yang ditetapkan Undang-Undang ini.
Selanjutnya, pasal 16 ayat (1) huruf i
merumuskan:
‘dalam menjalankan jabatannya, notaris
berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan notaris
Termasuk keadaan sekarang ini dalam
KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT, tidak ada pengaturan yang dapat dirujuk atau
dijadikan dasar hukum berkaitan dengan PENGESAMPINGAN ketentuan UUJN dan
UUJN-P, termasuk tentunya UU ITE (Pasal 5 ayat (4)).
Pemberlakukan UUJN juncto UUJN-P adalah hukum yang memaksa, dimana Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya.
Semoga bermanfaat...
Salam kompak dan sukses selalu dari MGD dan GrosseTV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar