ERNI ROHAINI, SH, SpN, MBA
Dewan Penasehat Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dewan Penasehat Pengurus Wilayah DKI Jakarta Ikatan Notaris Indonesia dan
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sepanjang karir Profesi saya
sebagai Notaris DKI Jakarta sejak 2002 umtuk mendapatkan klien tentang
permasalahan Perjanjian Kawin baik Pranikah maupun Postnikah (Pasca Nikah)
alhamdulillah cukup banyak. Perjanjian Kawin itu sendiri terdapat pada Pasal 29
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan juga dapat dilihat dari Pasal 47
Kompilasi Hukum Islam Indonesia tahun 2001. Disini saya tidak menguraikan perjanjian
kawin dalam hukum perdata karena sudah dianulir oleh Undang-Undang Perkawinan
No. 1 tahun 1974.
Dalam rangka menghadapi perjanjian Pranikah yang ada dalam pikiran kita calon pasangan suami istri tersebut belum melangsungkan pernikahan yang sah sesuai aturan tatalaksana Hukum Perkawinan di Indonesia karena perjanjian pranikah itu dilaksanakan dalam bentuk tertulis berupa Akta Notaris dimana perjanjian tersebut berisi norma-norma/peraturan-peraturan hak dan kewajiban suami istri dalam kedudukannya membangun ekonomi rumah tangga yang sejahtera. Didalam perjanjian pranikah tersebut disebutkan harta bawaannya masing – masing dan harta yang akan diperoleh selama perkawinan.
Sehingga
diantara pasangan suami istri tersebut tidak ada harta gono-gini (harta
bersama). Dalam Perjanjian Nikah berlaku azas kebebasan berkontrak pasal 1338
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
merekan yang membuatnya” artinya mereka mempunyai kebebasan mencamtukan yang
ingin dituangkan dalam isi perjanjian tersebut, semisal hak sebagai suami
mencari nafkah menghidupi ekonomi rumah tangga dan menyediakan sarana
pendidikan buat anaknya, dan melindungi istri agar sehat dan istri dicukupkan
kebutuhanya dan ibunya menjadi pembimbing untuk anak dirumah, disekolah maupun diluar rumah.
Dalam perjanjian tersebut dicantumkan bagaimana akibatnya harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, karena dalam perjalanan hidup perkawinan, baik istri maupun suami mempunyai rezeki masing-masing, ada harta yang diperoleh dari warisan, atau dari hibah keluarga?, dan apakah harta diperoleh dan dibeli oleh pasangan dari uang sendiri karena bekerja dan yang lebih luas lagi apakah harta tersebut sebagai jaminan pihak ketiga?
Sehingga keterkaitan dalam penguasaan Harta
menjadi sangat penting. Siapa yang berhak mutlak dalam penguasaan Harta
tersebut, dan menjadi penguasaan yang tercantum dalam kepemilikan harta
tersebut dalam sertipikat Tanah. Bahasan
disini konsekuensinya ini mengantisipasi bahwa warga Negara asing tidak dapat
memiliki hak milik di Indonesia (pasal 26 ayat 35 dan 36 Undang-Undang Pokok
Agraria 5 tahun 1960). Jalan yang ditempuh untuk penguasaan Harta yang ada di
Indonesia dibuatlah perjanjian kawin yang memisahkan harta terpisah dari suami
istri dan tidak masuk dalam harta bersama/gono-gini.
Ini berdampak pula untuk kegiatan usaha bisnis
misalnya Srikandi wanita Indonesia akan membuat perjanjian kredit/LOAN dengan
menjaminkan sertipikat tersebut tidak membutuhkan persetujuan dari pasangan
hidupnya. Perjanjian kawin tersebut dicatat dan didaftarkan dikantor KUA (Kantor Urusan Agama) untuk yang beragama Islam dan dikantor catatan
SIPIL untuk non-muslim pada saat perkawinan dilangsungkan. Sehingga dibuku nikah pasangan suami istri
tersebut sudah tercantum mereka melangsungkan perkawinan dengan perjanjian pra
nikah. Perjanjian Pra Nikah sudah banyak dipergunakan bagi pasangan suami istri
dikalangan menengah keatas atau bagi pasangan yang berkecimpung dalam dunia
usaha menggeluti publik.
Bagaimana dengan Perjanjian pascanikah atau post nikah? Eksistensi perjanjian pranikah diuji efektivitasnya dalam kehidupan masyarakat yang real dan fakta yang terjadi karena setelah 41 tahun kemudian, dengan adanya ajuan dari nyonya Ike Farida yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap kasusnya untuk diperhatikan hak dan kedudukan sebagai Warga NegaraIndonesia, mempunyai hak yang setara dengan warga Indonesia lainya terkait mengenai keinginanya memiliki harta property dibatalkan sepihak oleh developer dengan alasan suaminya warga Negara Asing.
Dengan keluarnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, pasangan yang menikah dapat membuat Perjanjian Kawin selama dan sepanjang perkawinan, artinya selama dalam perkawinan yang berlangsung dan sah bias, maka membuat Perjanjian Kawin dengan perpisahan harta, sehingga sang istri warga Negara Indonesia dapat dengan bebas membeli, menyewakan dan menjaminkan hak milik tanahnya yang ada di Indonesia,maka putusan MK tahun 2015 ini memberi angin segar untuk para srikandi Indonesia yang ingin kepastian hukum dalam pemilikan Harta dan penguasaan haknya sebagai warga Negara Indonesia. Terlebih lagi karena perkawinan dengan orang asing dia tidak tersandung dengan Pasal 21 juncto pasl 26 UUPA 5/1960, karena sudah ada Perjanjian Kawin.
Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, telah memperluas dan memberikan kelonggaran terhadap waktu untuk
mengadakan dan membuat perjanjian
perkawinan yang mana perjanjian perkawinan dapat diadakan sesudah dan/ selama
berlangsungnya perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga
mengabulkan permohonan uji materil terhadap ketentuan pada Pasal 29 angka (1),
(3), (4) Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perjanjian kawin dapat dibuat sebelum, saat dan sesudah perkawinan dilangsungkan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Nyonya Ike Farida yang telah menikah dengan warga negara Jepang. Perkawinan mereka telah dicatatkan dan disahkan di KUA Jakarta Timur dan Kantor Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dari perkawinannya Nyonya Ike Farida membeli apartemen dan sudah membayar lunas tetapi pihak pengembang tiba-tiba membatalkan secara sepihak dengan alasan pemohon tidak ada perjanjian kawin.
Atas kasus tersebut, judicial review diajukan pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Substansi uji materil undang-undang yang diajukan pemohon menyangkut hak milik dan hak guna bangunan atas tanah. Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dirampas yaitu hak untuk mempunyai tempat tinggal dan lingkungan yang baik dengan membeli tanah dan bangunan untuk bekal anak-anaknya kelak. Undang-undang yang diajukan untuk uji materil adalah:
1. Pasal
21 ayat (1), Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
2. Pasal
29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Nyonya
Ike Farida mengajukan review terhadap ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan, kemudian dalam Putusan MK tersebut diputuskan sebagai
berikut:
Undang-Undang
Perkawinan No. 1/ 1974 dalam Pasal 29.
- ayat (1): Atas persetujuan bersama, sebelum atau sepanjang dalam perkawinan para pihak dapat membuat perjanjian secara tertulis dan Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris memberikan pengesahan terhadap perjanjian tersebut. Isi perjanjian diberlakukan juga kepada pihak-pihak yang terkait.
- ayat (3): Berlakunya
perjanjian kawin sejak dilangsungkannya perkawinan kecuali apabila ditentukan
lain dalam perjanjian kawin.
- ayat (4): Selama dalam
perkawinan perjanjian perkawinan tidak hanya mengenai harta perkawinan tetapi
juga dapat berupa perjanjian lainnya. Perjanjian perkawinan dapat diubah atau
dicabut dengan persetujuan kedua pihak.
Permohonan uji materil tersebut hanya dikabulkan sebagian yakni Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, Pasal 21 ayat 1, dan Pasal 36 ayat 1 UUPA karena telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Akibat Judicial revuew yang duiajukan oleh Nyonya Ike Farida kepada Mahkamah konstitusi Perjanjian kawin dapat dibuat selama perkawinan berlangsung menyangkut harta perkawinan mereka. Akibatnya, mereka menganut sistim perpisahan harta dalam pernikahan, untuk memperoleh hak yang akan diperoleh setelah pernikahan/ selama pernikahan berlangsung.
Perjanjian Pasca Nikah banyak diminati oleh pasangan Perkawinan yang ingin memisahkan harta bersama dalam penguasaan, dan tanpa persetujuan pasangan dapat digunakan berusaha,keleluasaan ini berdampak pada Perkawinan Campuran (mix marriage) antara WNI dan WNA. Terobosan hukum yang sangat dinamis, pemerintah sangat memahami kebutuhan hidup berumah tangga disetujui dari aspek harta benda dalam perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar