Dr. H. Joni, SH, MH
I.
Catatan Umum
BAHWASANYA Notaris
merupakan pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat
umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam
masyarakat. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis tersebut dibuat dihadapan
seorang Notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi
hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Kebutuhan
akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya akan profesi Notaris
ini.[1]
Mengingat akan rentannya profesi Notaris dari “jeratan”
hukum yang dapat membelenggunya sewaktu-waktu, maka urgensi akan hadirnya suatu
lembaga atau badan yang dapat melindungi profesi Notaris akan sangat
diharapkan. Apabila mengacu pada Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(selanjutnya disingkat UUJN), maka perlindungan hukum bagi profesi Notaris
khusunya dalam proses penyidikan tersebut telah diatur di dalam Pasal 66, yang
dimana perlindungan hukum bagi profesi Notaris berdasarkan Pasal 66 UUJN
tersebut diberikan oleh Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disingkat MKN).Awal mula
terbentuknya MKN itu sendiri telah melalui perdebatan yang panjang. Dalam
sejarah perkembangannya, lahirnya MKN didahului oleh terbentunya Majelis
Pengawas Daerah (selanjutnya disingkat MPD) yang diatur pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai peraturan terdahulu, namun setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 49/PUU-X/2013 yang mencabut pasal 66 ayat 1 atas Undang-Undang Nomor 30
tahun 2004 tentang jabatan Notaris, yang dimanaPasal
66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris.
Dalam
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa proses
peradilan guna mengambil dokumen yang telah disimpan oleh Notaris dan memanggil Notaris untuk
hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dibuatnya tersebut tidak perlu kiranya untuk
meminta persetujuan dari MPD . Prosedur persetujuan itu dinilai
bertentangan dengan prinsip equal
protection sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya
disingkat UUDRI 1945). Menurut
Mahkamah Konstitusi, perlakuan berbeda terhadap Notaris dapat dibenarkan
sepanjang perlakuan itu masuk lingkup kode Etik Notaris yakni sikap, tingkah
laku, dan perbuatan Notaris yang berhubungan dengan moralitas. Sedangkan Notaris
selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan
sama di hadapan hukum seperti dijamin pasal 27 ayat (1) dan Pasal 18D ayat (3)
UUDRI 1945.
Mahkamah Konstitusi pada saat itu menilai ketentuan yang mengharuskan adanya persetujuan MPD
bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan
bertentangan dengan kewajiban seorang Notaris sebagai warga negara. Dengan
begitu akan terhindar adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang
mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang akhirnya
dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.[2]
Akibat dari hilangnya
peran MPD pada saat itu sungguh berdampak luas karena salah satu fungsi dari
MPD yaitu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap profesi Notaris. Dalam berbagai kelompok diskusi kenotariatan yang pernah
penulis ikuti, mengemuka fakta t adanya kekecewaan dan keprihatinan atas beberapa oknum Notaris
yang telah lalai dan abai dalam melaksanakan tugas jabatannya, yang kemudian
berdampak pada banyaknya anggapan yang muncul bahwa Notaris dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya tidaklah profesional.
Beberapa masalah yang terekam antara lain masalah internal,
minimnya pengetahuan dan keterampilan hukum kenotariatan, kurangnya
profesionalitas dalam memberikan pelayanan hukum, potensi adanya ketidak kompakan
dalam menjalanakan jabatannya dengan disinyalir adanya praktek “perang harga” yang berakibat terjun bebasnya harga ekonomis dari sebuah
akta. Permasalahan internal jabatan Notaris tersebut kerap kali membuat posisi Notaris
berada dalam permasalahan hukum, baik
pidana maupun perdata. Tak sedikit juga yang mempertanyakan dimanakah peran
organisasi Notaris dalam memperbaiki semua hal tersebut.
Kondisi di atas tentunya harus mendapat perhatian serius dari para Notaris
dengan kesadaran penuh dan cita-cita untuk mengembalikan harkat dan martabat profesi Notaris.
Berangkat dari realitas tersebut, maka kemudian lahir UUJN terbaru sebagai pengganti
peraturan undang-undang tentang jabatan Notaris yang terdahulu. Amandemen pada UUJN
kemudian menghadirkan kembali prinsip perlindungan bagi profesi Notaris,
dengan momen faktur baru yang disebut “Majelis Kehormatan Notaris” atau yang telah
disingkat sebagai MKN.
Demi memperkuat keberadaan MKN, kemudian Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2016
tentang Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disingkat PM Hukum dan HAM
nomor 7 Tahun 2016), yang dimana di dalam Pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi
dari MKN.[3]
Selanjutnya terkait dengan tugas dan daripada MKN wilayah juga turut diatur
didalam Pasal 18 ayat 1 yang isinya bahwa: “(1)Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas: a. Melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, dan
hakim;dan b. Memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan
persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan
proses peradilan.
Pada substansi Pasal 18 ayat 1 khususnya huruf b sebagaimana
diatas, tidak secara jelas pengaturan mengenai tindakan atau perlindungan hukum
apa yang dapat diberikan oleh MKN selanjutnya bilamana telah menyetujui
permintaan pemanggilan Notaris yang bersangkutan untuk hadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan ataupun proses peradilan, yang seolah-olah MKN tidak lagi
memiliki tanggung jawab penuh yang berkelanjutan terhadap jalannya proses
tersebut.
Menurut
Penulis, bilamana MKN telah memberikan persetujuan bagi Notaris guna hadir
dalam penyidikan, penuntutan, dan ataupun proses peradilan, maka sudah
seharusnya MKN diwajibkan untuk turut melakukan pendampingan hukum kepada
profesi Notaris guna memberikan perlindungan hukum serta pembelaan lainnya
terkait dengan akta-akta yang telah dibuat hingga persoalan hukum yang dihadapi
tersebut tuntas, apabila tidak dilakukan, maka hal tersebut telah bertentangan
dengan tugas dan fungsi MKN melakukan pembinaan dalam rangka menjaga martabat
dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dan memberikan
perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan
isi akta sebagaimana yang tertuang didalam Pasal 18 ayat 2 PM Hukum dan HAM
Nomor 7 Tahun 2016.
Dengan demikian
perlindungan hukum yang demikianlah yang tidak muncul dalam Pasal 18 PM Hukum
dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, yang kemudian justru muncul pada BAB V dalam subbab
syarat pemanggilan Notaris pada Pasal 27, dengan isi Pasal yakni: “Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dapat
mendampingi Notaris dalam proses pemeriksaan di hadapan penyidik”, yang
dimana dalam isi Pasal 27 tersebut tidak mewajibkan bagi MKN untuk melakukan
pendampingan Notaris, terlebih lagi pendampingan tersebut hanya pada tahap
proses pemeriksaan di hadapan penyidik, padahal dalam hal pemanggilan Notaris
tidak hanya pada proses penyidikan saja, melainkan juga pada penuntutan dan
proses peradilan. Apabila hanya bertumpu pada Pasal 27 tersebut maka
perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris tidak akan berjalan maksimal.
II. Efektifitas Penerapan Pasal 18 PM Hukum
dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 terhadap peran MKN Dalam Melindungi Profesi Notaris
Perlindungan Hukum merupakan suatu yang telah diamanatkan
oleh Negara dengan memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat
sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD tahun 1945 alinea ke -4.[4]
Perlindungan hukum tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
demi mencapai kesejahteraan bersama. Perlidungan Hukum merupakan suatu upaya
yang menurut Azar Usman memberikan
pengertian Perlindungan hukum sebagai berikut : “Perlindungan
hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada pihak-pihak terkait, perlindungan hukum ini merupakan suatu
perlindungan yang diberikan pemerintah guna melindungi dan menjamin hak-hak dan
kepentingan-kepentingan para pihak sehingga akan timbul hak-hak dan kewajiban
masing-masing para pihak”.[5]
Berdasarkan pendapat di atas arah perlindungan hukum dapat
dikatakan bahwa perlindungan untuk melahirkan kepastian hukum ditengah masyarakat yang telah sebelumnya dijanjikan oleh Negara.
Perlindungan hukum tidak hanya memberikan perlindungan terhadap individu sebagai
bentuk pemenuhan hak dan kewajiban melainkan juga terhadap hak-hak dan
kewajiban masyarakat secara keseluruhan, atau dengan kata lain perlindungan
hukum memberikan jaminan dari hukum untuk manusia dalam rangka memenuhi
kepentingan untuk dirinya sendiri dan hubungannya dengan pihak lain.
Perlindungan hukum juga memberikan solusi dalam memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian
hukum sehingga dapat tercipta ketertiban dan keteraturan. Oleh karena
itu, ketika terjadi pelanggaran huku maka hak subyek hukum yang dilanggar
tersebut harus mendapat perlindungan hukum, termasuk profesi Notaris.
Dengan demikian
sudah seharusnya Notaris dalam
melaksanakan profesinya mendapatkan perlindungan hukum, baik oleh lemabaga
pendukung (MKN) ataupun oleh Negara, fungsi daripada perlindungan hukum
tersebut akan memberikan kinerja yang baik bagi Notaris dalam membuat
akta-aktanya, karena Notaris akan merasakan aman (safe), meskipun seorang Notaris
dalam
pelaksanaan profesinya tersebut tidak melanggar aturan hukum yang brlaku dala
praktiknya.
Terkait dengan
hal di atas, ada beberapa pendapat terkait dengan perlindungan
hukum yang selama ini telah diberikan kepada Notaris secara umum yaitu:
a. Melakukan sistem pengawasan dan pembinaan kepada Notaris,
maupun calon Notaris agar matang dalam berpraktik, serta teliti dan hati-hati
dalam membuat setiap akta yang dibuatnya;
b. Bilamana terdapat panggilan yang dilayangkan oleh penyidik,
maka MKN wilayah melakukan pengecekan ataupun meninjau ulang laopran tersebut
agar pemeriksaan yang dilakukan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, jika
tidak memiliki dasar hukum, maka pemanggilan tersebut tidak dapat dipenuhi;
c. Memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap permintaan
pemanggilan Notaris untuk hadir dalam proses hukum, khususnya pada proses
penyidikan, karena izin yang diberikan pada proses penyidikan inilah yang
natinya akan menentukan apakah Notaris tersebut akan melalui proses hukum yang
panjang atau tidak terhadapa kasus yang ditujukan kepada Notaris tersebut.
Dalam memberikan pesetujuan ataupun penolaka ini, kami (MKN) terlebih dahulu
memeriksa seluruh berkas yang ada, yang kemudian hari klarifikasi kebenarannya,
maka kami memberikan surat persetujuan kepada penyidik untuk melanjutkan proses
hukum dengan menghadirkan Notaris yang bersangkutan, namun jika tidak terbukti
maka kami (MKN) menertbitakn surat penolakan terhadap pemanggilan Notaris
tersebut.
Dengan demikiian sebenarnya meskipun sebagian besar apa yang telah
dilaksanakan oleh MKN telah berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan,
namun bukan berarti tindakan perlindungan hukum oleh MKN tersebut telah efektif
dirasakan oleh Notaris. Sebab efektif atau tidaknya suatu tindakan perlindungan
hukum tergantung dari apa yang diterima oleh yang diberikan perlindungan hukum
tersebut. Sebagai satu analisis, bahwa meskipun MKN telah melakukan tugas dan
fungsinya selaku lembaga yang memberikan perlindungan hukum bagi Notaris, namun
tidak ada langkah hukum selanjutnya yang diberikan kepada Notaris apabila Notaris
tersebut diberi persetujuan untuk hadir dalam proses penyidikan, seolah-olah
MKN telah lepas tangan dan acuh tak-acuh setelah memberikan persetujuan kepada
penyidik untuk menghadirkan Notaris.
Padahal
seharusnya MKN dalam melakuan perlindungan hukum harus melindungi Notaris
tersebut hingga kasus yang menjeratnya berakhir, seperti halnya melakukan
pendampingan baik dalam proses penyidian, penuntutan bahkan hingga tahap proses
peradilan, sehingga bentu perlindungan hukum yang diberian oleh MKN lebih
maksimal.
Bahwasanya
secara normatif batasan perlindungan hukum yang diberikan MKN kepada profesi Notaris
sebagaimana pada point di atas, sesungguhnya juga tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, karena undang-undang tidak secara spesifik
memberikan penjelasan akan sejauh mana perlindungan hukum yang diberian oleh
MKN tersebut kepada profesi Notaris yang terlibat sengketa hukum. Namun lebih
daripada itu, Notaris yang terlibat kasus hukum ingin dilindungi secara
maksimal, bukan dilindungi dengan cara setengah-setengah.
Idealnya, perlindungan hukum terhadap profesi Notaris
perlu untuk dimaksimalkan. Konkretnya, perlu disadari bahwa di dalam UUJN
memang tidak memuat ketentuan pidana bagi Notaris, akan tetapi hal itu tidak
berarti profesi Notaris kebal hukum ketika melakukan pelanggaran hukum dalam
menjalankan jabatannya.
Dilihat dari kewenangnnya maka diketahui bahwa dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di
antaranya:
a. Pemalsuan dokumen atau surat (pasal 263 dan pasal 264
KUHP);
1. Contoh 1: Pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan
hak atas tanah dan bangunan (“BPHTB”) dan surat setoran pajak (SSP);
2. Contoh 2: Membuat akta padahal mengetahui
syarat-syarat untuk membuat akta tersebut tidak dipenuhi. Misalnya, dalam pembuatan
perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta
perjanjian tersebut, meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya
bermasalah. Konsekuensi pembuatan akta seperti itu oleh Notaris bisa
menyebabkan seseorang hilang hak.
b. Penggelapan (pasal 372 dan pasal 374 KUHP). Misalnya,
penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien;
c. Pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modusnya, pemilik uang
melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta Notaris. Modus
pembelian saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika
berbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah
dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana. Karenanya, Notaris sebagai
profesi bertugas membuat akta pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta
mewaspadai kemungkinan terjadinya pencucian uang.
d. Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (Pasal 242
KUHP). Contohnya, kasus keterangan palsu yang diberikan seorang Notaris di Jawa
Timur yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana
Meskipun dalam
hal pemanggilan Notaris hanya sekedar meminta keterangan sebagai saksi,
Penyidik haruslah melakukan pemanggilan melalui MKN, apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka hal ini sangat disayangakan karena pemanggilan Notaris yang
dilakukan tanpa melalui MKN telah bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya
ketika Undang-Undang tentang MKN telah diberlakukan. Terlebih lagi, apabila Notaris
dipanggil Penyidik tanpa melalui MKN maka tidak ada tanggungjawab yang dapat
diberikan oleh MKN yang dapat membuat Notaris tersebut rentan dengan
“tuduhan-tudahan” yang tidak benar yang justru dapat membuat Notaris tersebut
semakin terjerumus pada kasus yang tengah terjadi, mengingat profesi Notaris
sangatlah berpotensi dalam melakukan tindak pidana.
Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa
perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN kepada profesi Notaris tidaklah
maksimal karena hanya memberikan persetujuan dan penolakan atas pemanggilan Notaris
yang dilakukan oleh penyidik, tanpa adanya pendampingan hukum lebih lanjut.
Meskipun dalam pasal 27 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 telah mengatur
mengenai pendampingan oleh MKN kepada Notaris yang tengah diperiksa, namun
demikian tidak ada frasa yang mewajibkan bagi MKN untuk melakukan pendampingan,
sehingga sesuai kiranya dengan hasil penelitian bahwa tidak adanya inisiatif
dari MKN untuk melakukan pendampingan terhadap MKN yang tengah diperikan
dikarenakan selama ini tidak diwajibkan oleh Undang-Undang, terlebih lagi
pendampingan yang disebutkan oleh Undang-Undang hanya sebatas pada proses
pemeriksaan di hadapan penyidik saja.
Padahal apabila
kita cermati di dalam Pasal 18 ayat 2, maka dapat diketahui bahwa tugas yang
wajib dilakukan oleh MKN dalam melindungi profesi Notaris adalah menjaga
martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya serta
memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk
merahasiakan isi Akta, yang dimana kedua tindakan perlindungan hukum tersebut
dapat dilakuan ketika melakukan pendampingan bagi Notaris yang sedang menempuh
proses hukum setelah adanya persetujuan pemanggilan Notaris, karena tidak
sedikit dari beberapa Notaris yang pernah dipanggil dalam proses penyidikan “di
paksa” untuk membongar rahasia daripada isi akta hanya demi kepentingan
penyidik agar proses penyidikan dapat berjalan lancar.
Untuk itulah,
kiranya perlu satu penegasan yang lebih mendetail dan mendalam secara tegas
pada undang-undang, khususnya pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016
terkait dengan tindakan pendampingan hukum yang diberikan oleh MKN terhadap Notaris
yang telah disetujui untuk hadir dalam proses penyidikan hingga proses hukum
tersebut benar-benar telah selesai.
III. Pengaturan Tentang Perlindungan Profesi
Notaris yang diberikan Oleh MKN Guna Menjamin Kepastian Hukum Mendatang
Pengaturan yang
dimaksud dalam hal ini adalah pengaturan yang ada di dalam hukum itu sendiri,
sehingga perlu untuk dipahami terlebih dahulu secara bersama-sama mengenai
fungsi ataupun hakikat dari tujuan hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum merupakan
suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam suatu masyarakat,
yaitu bahwa hukum akan melayani anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian
kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, sertamelindungi kepentingan
anggota masyarakat itu sendiri oleh karenanya hukum menjadi semakin penting
peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah. Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen penting
untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang
secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, melalui penggunaan
peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja.[6]
Untuk melihat
hubungan antara hukum dan perubahan sosial perlu sebuah alat dalam bentuk konsep yang menjelaskan
secara fungsional tempat hukum dalam
masyarakat. Alat tersebut menunjukkan pekerjaan hukum yaitu: (1) Merumuskan
hubungan antara anggota masyarakat dengan menentukan perbuatan yang dilarang
dan yang boleh dilakukan; (2) Mengalokasikan dan menegaskan siapa yang boleh
menggunakan kekuasaan, atas siapa dan
bagaimana prosedurnya; (3) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat
dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala
terjadi perubahan.[7]
Penyesuaian
hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun
apabila kita dihadapkan pada peranan
hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai
kemampuan hukum untuk menjalankan
perannya yang demikian itu; karena hukum
sebagai sarana kontrol sosial dihadapkan
pada persoalan bagaimana menciptakan
perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang sedang
terjadi.[8]
Perubahan
terhadap hukum dapat dilakukan melalui pembangunan hukum, yang bisa diartikan sebagai suatu
usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan
kebutuhan untuk melayani masyarakat
pada perkembangan mutakhir; dan sebagai usaha untuk
memfungsionalkan hukum dalam masa
pembangunan.
Berdasarkan
beberapa pendapat dia tas, bukanlah suatu yang tidak mungkin terjadi dan
mustahil bilamana hukum dirubah ataupun disempurnakan demi menjamin kepentingan
dan melindungi mesyarakat, termasuk dalam hal ini perubahan pada PM Hukum dan
HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang MKN, khususnya pada Pasal 18 yang mengatur
tentang perlindungan hukum yang diberikan MKN kepada profesi Notaris dibuat
dengan sengaja.[9]
Tidak menjadi
rahasia, bahwa selama ini memang
perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN hanya sebatas pembinaan dan
pengawasan terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Konkretnya bilamana
ada pemanggilan Notaris oleh penyidik, MKN hanya memberikan persetujuan atau
tidaknya terhadap pemanggilan tersebut setelah diadakannya rapat atau
musyawarah. Sepengetahuan penulis, dari peneleitian sauh ini belum ada MKN yang
memberikan perlindungan hukum hingga tahap akhir dalam proses peradilan,
setidaknya memang MKN harus memberikan pendampingan hukum bagi Notaris yang
senyatanya sedang menjalani proses penyidikan, dan setidaknya perihal tersebut
juga diatur secara tegas didalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kinerja, fungsi, dan tugas dari lembaga MKN.
Seharusnya terhadap
pengaturan tentang perlindungan profesi Notaris yang diberikan oleh MKN guna
menjamin kepastian hukum dimasa yang akan datang yaitu, dengan memberikan
beberapa tambahan substansi pokok dalam Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun
2016 yang mengatur tentang pendampingan profesi Notaris oleh MKN dalam tahap
penyidikan, penuntutam ataupun proses peradilan. Substansi tersebut perlu
kiranya ditambahkan guna menjamin kepastian hukum terhadap seberapa jauh
perlindungan hukum yang diberikan MKN guna melindungi profesi Notaris,
mengingat profesi Notaris merupakan salah satu profesi yang dihormati dan
bekerja untuk Negara.
Meskipun
urgensi penambahan substansi tersebut lebih ditekankan untuk dimasukkan dalam
PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, bukan berarti bahwa penambahan substansi
sebagaimana yang dimaksud juga dapat
dilakukan pada UUJN, namun demikian mengingat bahwa pengaturan mengenai MKN
lebih spesifik telah diatur dalam PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, maka
menurut Penulis terhadap penambahan substansi tersebut sudah seharusnya dan
layak untuk ditambahkan kedalam peraturan yang lebih spesifik mengatur tentang
MKN tersebut, yakni dalam PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016.
Sebagaimana diketahui
juga bahwa pengaturan pendampingan oleh MKN tersebut telah diatur di dalam
Pasal 27 ayat (2) dalam Bab V tentang syarat pemanggilan Notaris, namun menurut
Penulis substansi Pasal tersebut masih belum maksimal mengingat tidak adanya
frasa untuk mewajibkan MKN melakukan pendampingan bagi Notaris dan pendampingan
dalam Pasal tersebut hanya pada proses pemeriksaan di hadapan penyidik.
Dengan demikian, sebagai bentuk konkrit yang dapat diberikan
oleh Penulis berdasarkan beberapa pertimbangan dan alasan yang
telah diuraikan tersebut diatas, maka penambahan substansi pada Pasal 18 PM Hukum dan
HAM Nomor 7 Tahun 2016 adalah bahwa:
(1) Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:
a.
melakukan pemeriksaan terhadap
permohonan yangdiajukan oleh penyidik, penuntut umum, danhakim; dan
b.
memberikan persetujuan atau penolakan
terhadappermintaan persetujuan pemanggilan Notaris untukhadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan prosesperadilan;
c.
dalam rangka memberikan persetujuan pemanggilan Notaris
untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan pendampingan hukum kepada Notaris
tersebut hingga proses hukum selesai;
d.
dalam rangka memberikan penolakan pemanggilan Notaris
untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah wajib merahasiakan segala hal yang berkaitan dengan
pemanggilan tersebut kepada publik demi menjaga nama baik Notaris yang
bersangkutan.
(2)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan
pembinaan dalam rangka:
a.
menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam
menjalankan profesi jabatannya; dan
b.
memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan
kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.
Dengan
menambahkan substansi Pasal 18 pada huruf c dan d sebagaimana yang tersebutkan
diatas, maka diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal
kepada Notaris, baik bagi Notaris yang disetujui untuk dipanggil maupun yang
tidak disetujui. Substansi penambahan tersebut juga saling berkesinambungan
dengan Pasal 18 ayat 2 yang menjelaskan maksud dari tugas MKN itu sendiri,
sehingga semakin menegaskan bahwa MKN memang sudah seharusnya dapat membela
profesi Notaris secara maksimal apabila profesi Notaris tersebut tengah
dipersengketakan.
Penambahan
frasa pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM sebagaimana yang tersebutkan diatas
diharapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan hukum
yang diterima oleh profesi Notaris, namun juga dapat memberikan kepastian hukum
tentang sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN dalam melindungi
profesi Notaris.
Selain
menambahkan frasa di dalam peraturan perUndang-Undangan sebagaimana tersebutkan
diatas, perlu kiranya juga untuk membuat suatu nota kesepahaman antara Notaris
ataupun MKN wilayah dengan penyidik dalam hal pemanggilan Notaris. Hal ini satu
dan lain hal adalah untuk menghindari kesewenang-wenangan polisi dalam
memanggil Notaris, INI ataupun MKN dapat membuat nota kesepahaman dengan polisi.
Dalam nota itu kiranya relevan untuk diatur pemanggilan Notaris harus dilakukan
tertulis dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan harus mencantumkan dengan
jelas status sang Notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus tepat waktu.
Pada hakekatnya, Notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi boleh
saja berhalangan. Kalau demikian halnya, polisi bisa datang ke kantor Notaris
bersangkutan.[10]
Sementara kalau
status Notaris adalah saksi, dia bisa saja tak disumpah. Kecuali cukup alasan, Notaris
yang bersangkutan boleh tidak hadir ke persidangan. Dalam nota kesepahaman itu,
Notaris juga meminta agar mereka hanya bisa diperiksa oleh penyidik, bukan
penyidik pembantu. Kalaupun kelak akan diperiksa penyidik pembantu, alasannya
harus patut dan wajar.[11]
Dalam nota
kesepahaman tersebut juga perlu ditatur klausul tentang Notaris yang disangka
melakukan tindak pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, sesuai pasal 54
KUHAP, dimana Notaris berhak mendapatkan bantuan hukum. Notaris yang menjadi
tersangka berhak untuk didampingi oleh pengurus MKN saat diperiksa polisi.
Kalau dalam pemeriksaan tidak terbukti adanya unsur pidana, maka penyidik wajib
menerbitkan SP3 dalam waktu secepatnya. Nota kesepahaman demikian ini memperkuat
aturan pemanggilan Notaris dalam Pasal 66UUJN. Pasal itu menentukan, jika
polisi atau penyidik hendak memanggil Notaris atau mengambil minuta akta
haruslah mendapat persetujuan dari MKN wilaya sehingga semua dapat berjalan
sesuai dengan prosedur yang telah diatur didalam peraturan perUndang-Undangan.
IV. Catatan Penutup
Bahwasanya efektifitas penerapan
Pasal 18 PM Hukum dan Ham Nomor 7 Tahun 2016 Terhadap peran MKN dalam
melindungi profesi Notaris di kota Sampit terbukti masih belum optimal.
Mengingat perlindungan hukum yang diberikan oelh MKN wilayah Sampit hanyalah
sebatas memberikan persetujuan dan penolakan atas pemanggilan Notaris yang
diajukan oleh penyidik, tanpa adanya pendampingan hukum lebih lanjut. Padahal
apabila dicermati lebih lanjut ketentuan Pasal 18 ayat 2, dapat diketahui bahwa
tugas yang wajib dilakukan oleh MKN dalam melindungi profesi Notaris adalah
menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi
jabatannyaserta memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban
Notaris untuk merahasiakan isi Akta.
Pengaturan tentang perlindungan
profesi Notaris yang diberikan oleh MKN guna menjamin kepastian hukum dimasa
yang akan datang dengan menambahkan frasa ayat c dan d pada Pasal 18 PM Hukum
dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, yaitu : c. dalam rangka memberikan persetujuan
pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses
peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan
pendampingan hukum kepada Notaris tersebut hingga proses hukum selesai, dalam
rangka memberikan penolakan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib
merahasiakan segala hal yang berkaitan dengan pemanggilan tersebut kepada
publik demi menjaga nama baik Notaris yang bersangkutan.***
Azar Usman, Perlindungan
Hukum dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal Mimbar, 1007
Badra Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2002
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum
Notariat di Indonesia, Jakarta;PT Raja Grafindo,1993),
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Persepektif Sejarah
dan Peubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum
Nasional, Jakarta; Rajawali Press, 1966
Peraturan Perundang-undangan
Hukum Online, Pemeriksaan Notaris tak perlu
persetujuan MPD,www.hukumonline.com.
Majelis Kehormatan Notaris, www.indonesianotarycommunity.com.
[1]R.
Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia,
(Jakarta;PT Raja Grafindo,1993), hlm. 1-4.
[2]
Lihat di: www.hukumonline.com,
Pemeriksaan Notaris tak perlu persetujuan MPD.
[3]Lihat di: Majelis Kehormatan Notaris, www.indonesianotarycommunity.com,
[4] Penjelasan Pembukaan UUD 1945
Alinea ke-4
[5]Azar Usman, Perlindungan
Hukum dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal Mimbar, 1007,
hlm.25
[6]Satjpto Rahardjo, Hukum dalam Persepektif Sejarah
dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum
Nasional, (Jakarta; Rajawali Press, 1996), hlm.19.
[7]Ibid, hlm. 17
[8]
Badra NawawiArief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: PT Citra. Aditya Bakti, 2002), Hlm. 16.
[9]
SatjiptoRahardjo,Hukum
dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosialdalam Pembangunan Hukum dalam
Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawal iPress,
1996),
hlm. 19.
[11]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar