Sabtu, 12 Juni 2021

TELAAH KRITIS TERHADAP UPAYA MENINGKATKAN PERAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM MELINDUNGI PROFESI NOTARIS

Dr. H. Joni, SH, MH

I.     Catatan Umum

BAHWASANYA Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis tersebut dibuat dihadapan seorang Notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya akan profesi Notaris ini.[1]

Mengingat akan rentannya profesi Notaris dari “jeratan” hukum yang dapat membelenggunya sewaktu-waktu, maka urgensi akan hadirnya suatu lembaga atau badan yang dapat melindungi profesi Notaris akan sangat diharapkan. Apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30  Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN), maka perlindungan hukum bagi profesi Notaris khusunya dalam proses penyidikan tersebut telah diatur di dalam Pasal 66, yang dimana perlindungan hukum bagi profesi Notaris berdasarkan Pasal 66 UUJN tersebut diberikan oleh Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disingkat MKN).Awal mula terbentuknya MKN itu sendiri telah melalui perdebatan yang panjang. Dalam sejarah perkembangannya, lahirnya MKN didahului oleh terbentunya Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya disingkat MPD) yang diatur pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai peraturan terdahulu, namun setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 yang mencabut pasal 66 ayat 1 atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, yang dimanaPasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa proses peradilan guna mengambil dokumen yang telah disimpan oleh Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dibuatnya tersebut tidak perlu kiranya untuk meminta persetujuan dari MPD . Prosedur persetujuan itu dinilai bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDRI 1945). Menurut Mahkamah Konstitusi, perlakuan berbeda terhadap Notaris dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu masuk lingkup kode Etik Notaris yakni sikap, tingkah laku, dan perbuatan Notaris yang berhubungan dengan moralitas. Sedangkan Notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum seperti dijamin pasal 27 ayat (1) dan Pasal 18D ayat (3) UUDRI 1945.

Mahkamah Konstitusi pada saat itu menilai ketentuan yang mengharuskan adanya persetujuan MPD bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang Notaris sebagai warga negara. Dengan begitu akan terhindar adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang akhirnya dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.[2]

Akibat dari hilangnya peran MPD pada saat itu sungguh berdampak luas karena salah satu fungsi dari MPD yaitu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap profesi Notaris. Dalam berbagai kelompok diskusi kenotariatan yang pernah penulis ikuti, mengemuka  fakta t adanya kekecewaan dan keprihatinan atas beberapa oknum Notaris yang telah lalai dan abai dalam melaksanakan tugas jabatannya, yang kemudian berdampak pada banyaknya anggapan yang muncul bahwa Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidaklah profesional.

Beberapa masalah yang terekam antara lain masalah internal, minimnya pengetahuan dan keterampilan hukum kenotariatan, kurangnya profesionalitas dalam memberikan pelayanan hukum, potensi adanya ketidak kompakan dalam menjalanakan jabatannya dengan disinyalir adanya praktek “perang harga” yang berakibat terjun bebasnya harga ekonomis dari sebuah akta. Permasalahan internal jabatan Notaris tersebut kerap kali membuat posisi Notaris berada dalam permasalahan hukum, baik pidana maupun perdata. Tak sedikit juga yang mempertanyakan dimanakah peran organisasi Notaris dalam memperbaiki semua hal tersebut.

Kondisi di atas tentunya harus mendapat perhatian serius dari para Notaris dengan kesadaran penuh dan cita-cita untuk mengembalikan harkat dan martabat profesi Notaris. Berangkat dari realitas tersebut, maka kemudian lahir UUJN terbaru sebagai pengganti peraturan undang-undang tentang jabatan Notaris yang terdahulu. Amandemen pada UUJN kemudian menghadirkan kembali prinsip perlindungan bagi profesi Notaris, dengan momen faktur baru yang disebut “Majelis Kehormatan Notaris” atau yang telah disingkat sebagai MKN.

Demi memperkuat keberadaan MKN, kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disingkat PM Hukum dan HAM nomor 7 Tahun 2016), yang dimana di dalam Pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi dari MKN.[3] Selanjutnya terkait dengan tugas dan daripada MKN wilayah juga turut diatur didalam Pasal 18 ayat 1 yang isinya bahwa: “(1)Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas: a. Melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim;dan b. Memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.

Pada substansi Pasal 18 ayat 1 khususnya huruf b sebagaimana diatas, tidak secara jelas pengaturan mengenai tindakan atau perlindungan hukum apa yang dapat diberikan oleh MKN selanjutnya bilamana telah menyetujui permintaan pemanggilan Notaris yang bersangkutan untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan ataupun proses peradilan, yang seolah-olah MKN tidak lagi memiliki tanggung jawab penuh yang berkelanjutan terhadap jalannya proses tersebut.

Menurut Penulis, bilamana MKN telah memberikan persetujuan bagi Notaris guna hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan ataupun proses peradilan, maka sudah seharusnya MKN diwajibkan untuk turut melakukan pendampingan hukum kepada profesi Notaris guna memberikan perlindungan hukum serta pembelaan lainnya terkait dengan akta-akta yang telah dibuat hingga persoalan hukum yang dihadapi tersebut tuntas, apabila tidak dilakukan, maka hal tersebut telah bertentangan dengan tugas dan fungsi MKN melakukan pembinaan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dan memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta sebagaimana yang tertuang didalam Pasal 18 ayat 2 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016.

Dengan demikian perlindungan hukum yang demikianlah yang tidak muncul dalam Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, yang kemudian justru muncul pada BAB V dalam subbab syarat pemanggilan Notaris pada Pasal 27, dengan isi Pasal yakni: “Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dapat mendampingi Notaris dalam proses pemeriksaan di hadapan penyidik”, yang dimana dalam isi Pasal 27 tersebut tidak mewajibkan bagi MKN untuk melakukan pendampingan Notaris, terlebih lagi pendampingan tersebut hanya pada tahap proses pemeriksaan di hadapan penyidik, padahal dalam hal pemanggilan Notaris tidak hanya pada proses penyidikan saja, melainkan juga pada penuntutan dan proses peradilan. Apabila hanya bertumpu pada Pasal 27 tersebut maka perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris tidak akan berjalan maksimal.

 

II. Efektifitas Penerapan Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 terhadap peran MKN Dalam Melindungi Profesi Notaris


Perlindungan Hukum merupakan suatu yang telah diamanatkan oleh Negara dengan memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD tahun 1945 alinea ke -4.[4] Perlindungan hukum tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. Perlidungan Hukum merupakan suatu upaya yang menurut Azar Usman  memberikan pengertian Perlindungan hukum sebagai berikut : “Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada pihak-pihak terkait, perlindungan hukum ini merupakan suatu perlindungan yang diberikan pemerintah guna melindungi dan menjamin hak-hak dan kepentingan-kepentingan para pihak sehingga akan timbul hak-hak dan kewajiban masing-masing para pihak”.[5]


Berdasarkan pendapat di atas arah perlindungan hukum dapat dikatakan bahwa perlindungan untuk melahirkan kepastian hukum ditengah masyarakat yang telah sebelumnya dijanjikan oleh Negara. Perlindungan hukum tidak hanya memberikan perlindungan terhadap individu sebagai bentuk pemenuhan hak dan kewajiban melainkan juga terhadap hak-hak dan kewajiban masyarakat secara keseluruhan, atau dengan kata lain perlindungan hukum memberikan jaminan dari hukum untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan untuk dirinya sendiri dan hubungannya dengan pihak lain.


Perlindungan hukum juga memberikan solusi dalam memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum sehingga dapat tercipta ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu, ketika terjadi pelanggaran huku maka hak subyek hukum yang dilanggar tersebut harus mendapat perlindungan hukum, termasuk profesi Notaris.


Dengan demikian sudah seharusnya Notaris dalam melaksanakan profesinya mendapatkan perlindungan hukum, baik oleh lemabaga pendukung (MKN) ataupun oleh Negara, fungsi daripada perlindungan hukum tersebut akan memberikan kinerja yang baik bagi Notaris dalam membuat akta-aktanya, karena Notaris akan merasakan aman (safe), meskipun seorang Notaris dalam pelaksanaan profesinya  tersebut tidak melanggar aturan hukum yang brlaku dala praktiknya.


Terkait dengan hal di atas, ada  beberapa pendapat terkait dengan perlindungan hukum yang selama ini telah diberikan kepada Notaris secara umum yaitu:

a. Melakukan sistem pengawasan dan pembinaan kepada Notaris, maupun calon Notaris agar matang dalam berpraktik, serta teliti dan hati-hati dalam membuat setiap akta yang dibuatnya;

b. Bilamana terdapat panggilan yang dilayangkan oleh penyidik, maka MKN wilayah melakukan pengecekan ataupun meninjau ulang laopran tersebut agar pemeriksaan yang dilakukan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, jika tidak memiliki dasar hukum, maka pemanggilan tersebut tidak dapat dipenuhi;

c.  Memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap permintaan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam proses hukum, khususnya pada proses penyidikan, karena izin yang diberikan pada proses penyidikan inilah yang natinya akan menentukan apakah Notaris tersebut akan melalui proses hukum yang panjang atau tidak terhadapa kasus yang ditujukan kepada Notaris tersebut. Dalam memberikan pesetujuan ataupun penolaka ini, kami (MKN) terlebih dahulu memeriksa seluruh berkas yang ada, yang kemudian hari klarifikasi kebenarannya, maka kami memberikan surat persetujuan kepada penyidik untuk melanjutkan proses hukum dengan menghadirkan Notaris yang bersangkutan, namun jika tidak terbukti maka kami (MKN) menertbitakn surat penolakan terhadap pemanggilan Notaris tersebut.


            Dengan demikiian sebenarnya  meskipun sebagian besar apa yang telah dilaksanakan oleh MKN telah berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti tindakan perlindungan hukum oleh MKN tersebut telah efektif dirasakan oleh Notaris. Sebab efektif atau tidaknya suatu tindakan perlindungan hukum tergantung dari apa yang diterima oleh yang diberikan perlindungan hukum tersebut. Sebagai satu analisis, bahwa meskipun MKN telah melakukan tugas dan fungsinya selaku lembaga yang memberikan perlindungan hukum bagi Notaris, namun tidak ada langkah hukum selanjutnya yang diberikan kepada Notaris apabila Notaris tersebut diberi persetujuan untuk hadir dalam proses penyidikan, seolah-olah MKN telah lepas tangan dan acuh tak-acuh setelah memberikan persetujuan kepada penyidik untuk menghadirkan Notaris.


Padahal seharusnya MKN dalam melakuan perlindungan hukum harus melindungi Notaris tersebut hingga kasus yang menjeratnya berakhir, seperti halnya melakukan pendampingan baik dalam proses penyidian, penuntutan bahkan hingga tahap proses peradilan, sehingga bentu perlindungan hukum yang diberian oleh MKN lebih maksimal.


Bahwasanya secara normatif batasan perlindungan hukum yang diberikan MKN kepada profesi Notaris sebagaimana pada point di atas, sesungguhnya juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, karena undang-undang tidak secara spesifik memberikan penjelasan akan sejauh mana perlindungan hukum yang diberian oleh MKN tersebut kepada profesi Notaris yang terlibat sengketa hukum. Namun lebih daripada itu, Notaris yang terlibat kasus hukum ingin dilindungi secara maksimal, bukan dilindungi dengan cara setengah-setengah.


Idealnya, perlindungan hukum terhadap profesi Notaris perlu untuk dimaksimalkan. Konkretnya, perlu disadari bahwa di dalam UUJN memang tidak memuat ketentuan pidana bagi Notaris, akan tetapi hal itu tidak berarti profesi Notaris kebal hukum ketika melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan jabatannya.


Dilihat dari kewenangnnya maka diketahui bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di antaranya:

a. Pemalsuan dokumen atau surat (pasal 263 dan pasal 264 KUHP);

1.  Contoh 1: Pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas tanah dan bangunan (“BPHTB”) dan surat setoran pajak (SSP);

2.  Contoh 2: Membuat akta padahal mengetahui syarat-syarat untuk membuat akta tersebut tidak dipenuhi. Misalnya, dalam pembuatan perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta perjanjian tersebut, meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah. Konsekuensi pembuatan akta seperti itu oleh Notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak.

b. Penggelapan (pasal 372 dan pasal 374 KUHP). Misalnya, penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien;

c.  Pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modusnya, pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta Notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika berbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana. Karenanya, Notaris sebagai profesi bertugas membuat akta pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai kemungkinan terjadinya pencucian uang.

d. Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (Pasal 242 KUHP). Contohnya, kasus keterangan palsu yang diberikan seorang Notaris di Jawa Timur yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana


Meskipun dalam hal pemanggilan Notaris hanya sekedar meminta keterangan sebagai saksi, Penyidik haruslah melakukan pemanggilan melalui MKN, apabila hal tersebut tidak dilakukan maka hal ini sangat disayangakan karena pemanggilan Notaris yang dilakukan tanpa melalui MKN telah bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya ketika Undang-Undang tentang MKN telah diberlakukan. Terlebih lagi, apabila Notaris dipanggil Penyidik tanpa melalui MKN maka tidak ada tanggungjawab yang dapat diberikan oleh MKN yang dapat membuat Notaris tersebut rentan dengan “tuduhan-tudahan” yang tidak benar yang justru dapat membuat Notaris tersebut semakin terjerumus pada kasus yang tengah terjadi, mengingat profesi Notaris sangatlah berpotensi dalam melakukan tindak pidana.


Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN kepada profesi Notaris tidaklah maksimal karena hanya memberikan persetujuan dan penolakan atas pemanggilan Notaris yang dilakukan oleh penyidik, tanpa adanya pendampingan hukum lebih lanjut. Meskipun dalam pasal 27 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 telah mengatur mengenai pendampingan oleh MKN kepada Notaris yang tengah diperiksa, namun demikian tidak ada frasa yang mewajibkan bagi MKN untuk melakukan pendampingan, sehingga sesuai kiranya dengan hasil penelitian bahwa tidak adanya inisiatif dari MKN untuk melakukan pendampingan terhadap MKN yang tengah diperikan dikarenakan selama ini tidak diwajibkan oleh Undang-Undang, terlebih lagi pendampingan yang disebutkan oleh Undang-Undang hanya sebatas pada proses pemeriksaan di hadapan penyidik saja.


Padahal apabila kita cermati di dalam Pasal 18 ayat 2, maka dapat diketahui bahwa tugas yang wajib dilakukan oleh MKN dalam melindungi profesi Notaris adalah menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya serta memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta, yang dimana kedua tindakan perlindungan hukum tersebut dapat dilakuan ketika melakukan pendampingan bagi Notaris yang sedang menempuh proses hukum setelah adanya persetujuan pemanggilan Notaris, karena tidak sedikit dari beberapa Notaris yang pernah dipanggil dalam proses penyidikan “di paksa” untuk membongar rahasia daripada isi akta hanya demi kepentingan penyidik agar proses penyidikan dapat berjalan lancar.


Untuk itulah, kiranya perlu satu penegasan yang lebih mendetail dan mendalam secara tegas pada undang-undang, khususnya pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 terkait dengan tindakan pendampingan hukum yang diberikan oleh MKN terhadap Notaris yang telah disetujui untuk hadir dalam proses penyidikan hingga proses hukum tersebut benar-benar telah selesai.

 

III. Pengaturan Tentang Perlindungan Profesi Notaris yang diberikan Oleh MKN Guna Menjamin Kepastian Hukum Mendatang


Pengaturan yang dimaksud dalam hal ini adalah pengaturan yang ada di dalam hukum itu sendiri, sehingga perlu untuk dipahami terlebih dahulu secara bersama-sama mengenai fungsi ataupun hakikat dari tujuan hukum.


Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam suatu masyarakat, yaitu bahwa hukum akan melayani anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, sertamelindungi kepentingan anggota masyarakat itu sendiri oleh karenanya hukum menjadi semakin penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, melalui penggunaan peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja.[6]


Untuk melihat hubungan antara hukum dan perubahan sosial perlu sebuah  alat dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum  dalam masyarakat. Alat tersebut menunjukkan pekerjaan hukum yaitu: (1) Merumuskan hubungan antara anggota masyarakat dengan menentukan perbuatan yang dilarang dan yang boleh dilakukan; (2) Mengalokasikan dan menegaskan siapa yang boleh menggunakan kekuasaan, atas siapa dan    bagaimana prosedurnya; (3) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala terjadi perubahan.[7]


Penyesuaian hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak  yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan  hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai kemampuan  hukum untuk menjalankan perannya yang demikian itu;  karena hukum sebagai  sarana kontrol sosial dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan  perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang sedang terjadi.[8]


Perubahan terhadap hukum dapat dilakukan melalui pembangunan  hukum, yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat    pada perkembangan mutakhir; dan sebagai usaha untuk memfungsionalkan  hukum dalam masa pembangunan.


Berdasarkan beberapa pendapat dia tas, bukanlah suatu yang tidak mungkin terjadi dan mustahil bilamana hukum dirubah ataupun disempurnakan demi menjamin kepentingan dan melindungi mesyarakat, termasuk dalam hal ini perubahan pada PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang MKN, khususnya pada Pasal 18 yang mengatur tentang perlindungan hukum yang diberikan MKN kepada profesi Notaris dibuat dengan sengaja.[9]


Tidak menjadi rahasia, bahwa  selama ini memang perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN hanya sebatas pembinaan dan pengawasan terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Konkretnya bilamana ada pemanggilan Notaris oleh penyidik, MKN hanya memberikan persetujuan atau tidaknya terhadap pemanggilan tersebut setelah diadakannya rapat atau musyawarah. Sepengetahuan penulis, dari peneleitian sauh ini belum ada MKN yang memberikan perlindungan hukum hingga tahap akhir dalam proses peradilan, setidaknya memang MKN harus memberikan pendampingan hukum bagi Notaris yang senyatanya sedang menjalani proses penyidikan, dan setidaknya perihal tersebut juga diatur secara tegas didalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kinerja, fungsi, dan tugas dari lembaga MKN.


Seharusnya terhadap pengaturan tentang perlindungan profesi Notaris yang diberikan oleh MKN guna menjamin kepastian hukum dimasa yang akan datang yaitu, dengan memberikan beberapa tambahan substansi pokok dalam Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 yang mengatur tentang pendampingan profesi Notaris oleh MKN dalam tahap penyidikan, penuntutam ataupun proses peradilan. Substansi tersebut perlu kiranya ditambahkan guna menjamin kepastian hukum terhadap seberapa jauh perlindungan hukum yang diberikan MKN guna melindungi profesi Notaris, mengingat profesi Notaris merupakan salah satu profesi yang dihormati dan bekerja untuk Negara.


Meskipun urgensi penambahan substansi tersebut lebih ditekankan untuk dimasukkan dalam PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, bukan berarti bahwa penambahan substansi sebagaimana yang dimaksud juga  dapat dilakukan pada UUJN, namun demikian mengingat bahwa pengaturan mengenai MKN lebih spesifik telah diatur dalam PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, maka menurut Penulis terhadap penambahan substansi tersebut sudah seharusnya dan layak untuk ditambahkan kedalam peraturan yang lebih spesifik mengatur tentang MKN tersebut, yakni dalam PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016.


Sebagaimana diketahui juga bahwa pengaturan pendampingan oleh MKN tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 ayat (2) dalam Bab V tentang syarat pemanggilan Notaris, namun menurut Penulis substansi Pasal tersebut masih belum maksimal mengingat tidak adanya frasa untuk mewajibkan MKN melakukan pendampingan bagi Notaris dan pendampingan dalam Pasal tersebut hanya pada proses pemeriksaan di hadapan penyidik.


Dengan demikian, sebagai bentuk konkrit yang dapat diberikan oleh Penulis berdasarkan beberapa pertimbangan dan alasan yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penambahan substansi pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 adalah bahwa:

 (1)      Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:

a.     melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yangdiajukan oleh penyidik, penuntut umum, danhakim; dan

b.     memberikan persetujuan atau penolakan terhadappermintaan persetujuan pemanggilan Notaris untukhadir dalam penyidikan, penuntutan, dan prosesperadilan;

c.      dalam rangka memberikan persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan pendampingan hukum kepada Notaris tersebut hingga proses hukum selesai;

d.     dalam rangka memberikan penolakan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib merahasiakan segala hal yang berkaitan dengan pemanggilan tersebut kepada publik demi menjaga nama baik Notaris yang bersangkutan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dalam rangka:

a.     menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya; dan

b.     memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.


Dengan menambahkan substansi Pasal 18 pada huruf c dan d sebagaimana yang tersebutkan diatas, maka diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada Notaris, baik bagi Notaris yang disetujui untuk dipanggil maupun yang tidak disetujui. Substansi penambahan tersebut juga saling berkesinambungan dengan Pasal 18 ayat 2 yang menjelaskan maksud dari tugas MKN itu sendiri, sehingga semakin menegaskan bahwa MKN memang sudah seharusnya dapat membela profesi Notaris secara maksimal apabila profesi Notaris tersebut tengah dipersengketakan.


Penambahan frasa pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM sebagaimana yang tersebutkan diatas diharapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan hukum yang diterima oleh profesi Notaris, namun juga dapat memberikan kepastian hukum tentang sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh MKN dalam melindungi profesi Notaris.


Selain menambahkan frasa di dalam peraturan perUndang-Undangan sebagaimana tersebutkan diatas, perlu kiranya juga untuk membuat suatu nota kesepahaman antara Notaris ataupun MKN wilayah dengan penyidik dalam hal pemanggilan Notaris. Hal ini satu dan lain hal adalah untuk menghindari kesewenang-wenangan polisi dalam memanggil Notaris, INI ataupun MKN dapat membuat nota kesepahaman dengan polisi. Dalam nota itu kiranya relevan untuk diatur pemanggilan Notaris harus dilakukan tertulis dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan harus mencantumkan dengan jelas status sang Notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus tepat waktu. Pada hakekatnya, Notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi boleh saja berhalangan. Kalau demikian halnya, polisi bisa datang ke kantor Notaris bersangkutan.[10]


Sementara kalau status Notaris adalah saksi, dia bisa saja tak disumpah. Kecuali cukup alasan, Notaris yang bersangkutan boleh tidak hadir ke persidangan. Dalam nota kesepahaman itu, Notaris juga meminta agar mereka hanya bisa diperiksa oleh penyidik, bukan penyidik pembantu. Kalaupun kelak akan diperiksa penyidik pembantu, alasannya harus patut dan wajar.[11]


Dalam nota kesepahaman tersebut juga perlu ditatur klausul tentang Notaris yang disangka melakukan tindak pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, sesuai pasal 54 KUHAP, dimana Notaris berhak mendapatkan bantuan hukum. Notaris yang menjadi tersangka berhak untuk didampingi oleh pengurus MKN saat diperiksa polisi. Kalau dalam pemeriksaan tidak terbukti adanya unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan SP3 dalam waktu secepatnya. Nota kesepahaman demikian ini memperkuat aturan pemanggilan Notaris dalam Pasal 66UUJN. Pasal itu menentukan, jika polisi atau penyidik hendak memanggil Notaris atau mengambil minuta akta haruslah mendapat persetujuan dari MKN wilaya sehingga semua dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang telah diatur didalam peraturan perUndang-Undangan.

 

IV. Catatan Penutup


Bahwasanya efektifitas penerapan Pasal 18 PM Hukum dan Ham Nomor 7 Tahun 2016 Terhadap peran MKN dalam melindungi profesi Notaris di kota Sampit terbukti masih belum optimal. Mengingat perlindungan hukum yang diberikan oelh MKN wilayah Sampit hanyalah sebatas memberikan persetujuan dan penolakan atas pemanggilan Notaris yang diajukan oleh penyidik, tanpa adanya pendampingan hukum lebih lanjut. Padahal apabila dicermati lebih lanjut ketentuan Pasal 18 ayat 2, dapat diketahui bahwa tugas yang wajib dilakukan oleh MKN dalam melindungi profesi Notaris adalah menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannyaserta memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.


Pengaturan tentang perlindungan profesi Notaris yang diberikan oleh MKN guna menjamin kepastian hukum dimasa yang akan datang dengan menambahkan frasa ayat c dan d pada Pasal 18 PM Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016, yaitu : c. dalam rangka memberikan persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan pendampingan hukum kepada Notaris tersebut hingga proses hukum selesai, dalam rangka memberikan penolakan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan, maka Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib merahasiakan segala hal yang berkaitan dengan pemanggilan tersebut kepada publik demi menjaga nama baik Notaris yang bersangkutan.***

 

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Azar Usman, Perlindungan Hukum dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal Mimbar, 1007

Badra Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2002

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta;PT Raja Grafindo,1993),

Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Persepektif Sejarah dan Peubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta; Rajawali Press, 1966

 

Peraturan Perundang-undangan

 Penjelasan Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4

 Internet

Hukum Online, Pemeriksaan Notaris tak perlu persetujuan MPD,www.hukumonline.com.

Majelis Kehormatan Notaris, www.indonesianotarycommunity.com.

Muhammad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan. http;//www.ptpn5.com.


[1]R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta;PT Raja Grafindo,1993), hlm. 1-4.

[2] Lihat di: www.hukumonline.com, Pemeriksaan Notaris tak perlu persetujuan MPD.

[3]Lihat di: Majelis Kehormatan Notaris, www.indonesianotarycommunity.com,

[4] Penjelasan Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4

[5]Azar Usman, Perlindungan Hukum dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal Mimbar, 1007, hlm.25

[6]Satjpto  Rahardjo, Hukum dalam Persepektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta; Rajawali Press, 1996), hlm.19.

[7]Ibid, hlm. 17

[8] Badra NawawiArief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: PT Citra. Aditya Bakti, 2002), Hlm. 16.

[9] SatjiptoRahardjo,Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosialdalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawal iPress, 1996), hlm. 19.

[11]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar