DR. Hapendi Harahap, SH, SpN, MH
Notaris/PPAT Cilegon
Grosse, Jakarta - Kisruh di tubuh organisasi Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, meskipun memakan waktu yang cukup lama dan perjalanan panjang. Namun perlahan mulai terlihat titik terang, dimana selain telah ditanda-tanganinya "Surat Kesepakatan Perdamaian" diantara Penggugat dan Tergugat yang dimediasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Kementerian ATR/BPN RI) pada awal tahun 2021 ini.
Para Pengurus Wilayah (Pengwil) IPPAT se-Indonesia pun telah menerima penyerahan kepengurusan Pengurus Pusat (PP) IPPAT dari Tergugat X, Julius Purnawan, SH, SpN, MSi, guna menjalankan roda organisasi sebagai Pimpinan Kolektif Kolegial (PKK), serta mempersiapkan pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB). Namun demikian, saat ini masih banyak penafsiran yang berkembang mengenai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yaitu Perkara No..694/Pdt.G/2018/PN Jakbar jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 422/PDT/2020/PT DKI mengenai "Batal Demi Hukum", serta penafsiran mengenai KLB yang akan diselenggarakan oleh para Pengwil IPPAT se-Indonesia yang agendanya direncanakan melanjutkan Kongres VII IPPAT Makassar yang belum selesai.
Banyaknya penafsiran yang berkembang tersebut, DR. Hapendi Harahap, SH, SpN, MH, Notaris/PPAT Cilegon yang juga tercatat sebagai salah satu Calon Ketua Umum (Caketum) dan juga menjadi salah satu "Turut Tergugat" dalam gugatan terhadap hasil Kongres VII IPPAT Makassar, akhirnya angkat bicara. Berikut ini, penjelasan mengenai "Kongres Batal Demi Hukum" dan KLB menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IPPAT, yaitu sebagai berikut;
KONGRES BATAL DEMI HUKUM
Judul diatas, tidak linier dengan Diktum PN Jakarta Barat yang singkatnya adalah sebagai berikut;
- Menyatakan Hasil Kongres Batal Demi Hukum, (bukan Kongres Batal Demi Hukum);
- Memerintahkan Para Pengurus Wilayah (Pengwil-Pengwil) mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB).
Akibat salah mengutip diatas, telah menimbulkan banyak pendapat. Sebab jalan pikirannya adalah jika Diktum putusan Kongres Batal Demi Hukum, maka artinya Kongres tidak pernah ada. Karenanya mengapa Caketum Kongres IPPAT VII yang akan menjadi Caketum KLB, bukankah seharusnya Caketum baru. Bukan hanya tidak Caketum baru, bahkan hanya ada dua Caketum yang akan berkompetisi dalam KLB NTB nantinya?
Pertanyaan tersebut dapat dimengerti, sebab prolog yang dibangun telah salah, sehingga pertanyaan yang diajukan menjadi tidak relevan. Putusan PN Jakbar itu bukan Kongres Batal Demi Hukum, akan tetapi adalah Menyatakan Hasil Kongres Batal Demi Hukum. Artinya kongresnya sendiri adalah sah, sedangkan yang Batal Demi Hukum adalah hasilnya. Sehingga pertanyaan yang relevan adalah "Apa saja hasil Kongres IPPAT VII yang dinyatakan Batal Demi Hukum itu?"
Atas pertanyaan ini, Diktum putusan itu sendiri sebenarnya telah menjawabnya, yaitu salah satunya Pemilihan dan Pelantikan Ketua Umum. Jika pemilihan dan pelantikan Ketua Umum yang dinyatakan "Batal Demi Hukum", maka akibatnya adalah bahwa pemilihan tersebut harus diulang kembali dengan Caketum semuanya. Lalu, mengapa KLB yang diperintahkan pengadilan tersebut hanya diikuti oleh 2 (dua) Caketum saja bukan berempat? Benar, seharusnya bukan hanya dua orang, akan tetapi harusnya semua Caketum. Yaitu Caketum berempat dipilih ulang.
Kemudian, apa alasannya hanya dua orang saja yang akan dipilih? Ini adalah terkait dengan asas pacta sunt servanda, janji harus ditepati. Ternyata para Caketum telah membuat dua kali perjanjian, pertama tanggal 23 Januari 2019 dan dikuatkan Penetapan PN Jakbar, dan perjanjian kedua adalah pada tanggal 21 Desember 2020. Keduanya menyebutkan, bahwa para Caketum sepakat hanya meneruskan pemilihan terhadap pemilik suara Peringkat I dan Peringkat II saja yang akan berkompetisi di KLB NTB mendatang. Dengan demikian, terjawab sudah pertanyaan mengapa hanya dua caketum yang akan bertanding di Kongres Luar Biasa yang direncanakan diadakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat nanti.
KLB MENURUT AD/ART IPPAT
Pasal 15 Ayat (2) AD IPPAT, menyebutkan KLB dapat diselenggarakan, apabila;
- Dianggap perlu oleh Pengurus Pusat (PP), setelah mendapat persetujuan Rapat Pleno.
- Permintaan 1/2 dari Pengwil dalam Konferwillub, (bukan permintaan Ketua Pengwil tapi Permintaan Konferwillub) dan mendapat persetujuan tertulis Majelis Kehormatan.
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) AD ini, adalah usulan jika ada yg menginginkan KLB bukan tata cara KLB. Tata cara KLB-nya sendiri diatur dalam Pasal 15 ayat (5) AD, yaitu sama dengan Kongres. Nah KLB IPPAT yang sekarang bukan usulan menurut Pasal 15 ayat (2) AD tersebut, tapi perintah Pengadilan untuk mengadakan KLB dan tata cara mengadakannya berdasarkan Pasal 15 ayat (5) AD IPPAT.
Kesimpulannya adalah bahwa perintah pengadilan tersebut adalah by pass dari Pasal 15 ayat 2 AD IPPAT, mengadakan KLB dengan agenda melanjutkan Kongres VII Makasar. Sehingga boleh aja disebut Kongres Lanjutan, sesuai agenda dan boleh juga menyebut KLB sesuai penamaan AD IPPAT.
Semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar