Sabtu, 25 Oktober 2025

DAMPAK KEPAILITAN TERHADAP KEDUDUKAN, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS

*) PERBANDINGAN INDONESIA, BELANDA, DAN NEGARA COMMON-LAW (INGGRIS & AUSTRALIA)

Oleh: Widhi Handoko
Kaprodi S3 Doktoral Ilmu Hukum Langlangbuana Polri Bandung

A. Pendahuluan

Kepailitan (bankruptcy, faillissement, insolvency) pada hakikatnya adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor. Namun, dalam konteks profesi hukum — khususnya notaris, yang kedudukannya diakui sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) — kepailitan memunculkan persoalan lebih luas daripada sekadar penguasaan harta. Persoalan tersebut meliputi:

(1) apakah status jabatan notaris otomatis berakhir ketika ia dinyatakan pailit;

(2) sejauh mana akta-akta yang dibuatnya sebelum atau selama kepailitan tetap memiliki kekuatan hukum;

(3) dan bagaimana tanggung jawab hukum serta kerahasiaan jabatannya dihadapkan pada hak kurator atau insolvency practitioner.

Isu ini telah lama menjadi perdebatan baik di Indonesia, Belanda — sebagai sumber tradisi hukum notariat — maupun di negara-negara common law seperti Inggris dan Australia yang mengenal mekanisme insolvency administration.

 

B. To Explore — Area Eksplorasi Akademik dan Isu Penelitian

1. Relevansi Kepailitan terhadap Jabatan Notaris

Secara normatif, di Indonesia Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara spesifik akibat hukum kepailitan terhadap jabatan notaris. Sementara Undang-Undang Jabatan Notaris (UU No. 2 Tahun 2014) dalam Pasal 12 huruf a hanya menyebut bahwa notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila “dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Namun, norma tersebut tidak menjelaskan apakah pemberhentian tersebut bersifat otomatis atau melalui mekanisme administratif oleh Menteri Hukum dan HAM.

Dengan demikian, muncul pertanyaan kajian opini WH sbb:

• Apakah status pailit notaris menimbulkan konsekuensi administratif langsung terhadap jabatannya, ataukah hanya memengaruhi harta pribadinya sebagai subjek hukum perdata?

Dalam praktik, pengawasan notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah dan Pusat, bukan oleh Pengadilan Niaga. Akibatnya, terjadi disparitas kewenangan antara pengadilan yang menyatakan pailit dan otoritas administratif yang berhak memberhentikan notaris. Hal ini memunculkan ruang interpretasi dan potensi legal uncertainty (Widhi Handoko, 2020).

 

2. Perbandingan dengan Sistem Belanda

Belanda sebagai mother system notariat Indonesia mengenal Faillissementswet (UU Kepailitan 1893). Dalam sistem ini, kepailitan tidak otomatis menghapus status notaris sebagai pejabat umum karena jabatan notaris dianggap fungsi negara yang melekat pada kapasitas publik, bukan bagian dari harta pribadi debitor. Namun, kurator (curator) berhak menguasai seluruh harta kekayaan pribadi notaris, termasuk kantor, rekening, dan dokumen administrasi non-publik.

Jika pailitnya notaris menimbulkan gangguan terhadap pelaksanaan tugas, Dewan Notariaat (Kamer voor het Notariaat) dapat menangguhkan sementara izin praktiknya. Prinsipnya, status publik notaris tidak hilang karena pailit, tetapi pelaksanaan jabatannya dapat ditangguhkan demi kepentingan publik dan kreditor (Biemans, 2018).

 

3. Perspektif Common Law (Inggris dan Australia)

Dalam sistem common law, insolvency mengacu pada ketidakmampuan seseorang memenuhi kewajiban utangnya. Profesi hukum diatur melalui lembaga profesi independen. Di Inggris, Insolvency Act 1986 dan Insolvency Rules 2016 memberikan hak kepada liquidator atau trustee in bankruptcy untuk menguasai dokumen profesional debitor. Namun, tidak terdapat larangan otomatis bagi notary public atau solicitor yang dinyatakan bangkrut, kecuali ada pelanggaran integritas atau etika.

Di Australia, Corporations Act 2001 Pasal 206B melarang direktur korporasi yang pailit memegang jabatan baru, namun tidak secara langsung menonaktifkan profesional hukum. Akan tetapi, Law Council of Australia menekankan bahwa pailit dapat menjadi dasar disciplinary action oleh otoritas profesi (LCA, 2023).


C. To Criticize — Kelemahan Regulasi dan Isu Kritis

1. Indonesia: Ambiguitas dan Kekosongan Hukum

Sistem hukum Indonesia menghadapi ketidaksinkronan normatif antara UU Kepailitan dan UU Jabatan Notaris. Dalam praktik, keputusan pailit sering tidak diikuti oleh tindakan administratif cepat dari Menteri Hukum dan HAM. Akibatnya, seorang notaris yang telah dinyatakan pailit secara hukum masih dapat menjalankan tugasnya sebelum diterbitkan keputusan pemberhentian resmi. Hal ini menimbulkan risiko terhadap keabsahan akta, terutama bagi pihak ketiga yang beritikad baik.

Selain itu, kerahasiaan jabatan notaris (Pasal 16 UUJN) sering berbenturan dengan kewajiban menyerahkan dokumen kepada kurator. Tidak ada aturan teknis yang mengatur mekanisme serah dokumen dengan perlindungan hukum terhadap data pribadi klien.

 

2. Belanda: Dualisme Pengawasan

Di Belanda, meskipun sistem lebih mapan, terdapat kritik terhadap dualisme pengawasan antara curator faillissement dan Kamer voor het Notariaat. Dualisme ini menyebabkan tumpang tindih antara penguasaan harta pailit dan pengawasan etik profesi. Beberapa kasus menunjukkan perdebatan antara hak kurator mengakses arsip notaris dengan kewajiban notaris menjaga kerahasiaan pihak ketiga (Kamerbrief, 2019).

 

3. Inggris & Australia: Praktik dan Biaya Kepatuhan

Negara common law menonjol dalam aspek efisiensi, tetapi tetap menghadapi risiko biaya kepatuhan tinggi. Pihak insolvency practitioner dapat menuntut solicitor/notary menyerahkan file tanpa instruksi klien, menimbulkan dilema antara client privilege dan kewajiban kepada pengadilan. Di Australia, laporan Law Council (2022) menyoroti meningkatnya litigasi terhadap penasihat hukum karena dugaan kelalaian dalam menangani klien yang insolven.

 

D. To Understand — Implikasi Praktis dan Pembelajaran Komparatif

1. Implikasi bagi Profesi Notaris

Pertama, pailitnya notaris tidak boleh secara otomatis menghapus fungsi publik karena jabatan notaris bersifat public office. Namun, perlu mekanisme penangguhan sementara untuk menjamin integritas pelayanan hukum.

Kedua, notaris perlu memiliki prosedur kepatuhan (compliance) yang mencakup due diligence, pencatatan nasihat tertulis, dan verifikasi kemampuan keuangan klien untuk menghindari tuduhan kolusi atau transaksi yang merugikan kreditor.

Ketiga, sistem asuransi tanggung jawab profesi (professional indemnity insurance) perlu diperkuat untuk menanggung risiko hukum akibat transaksi yang dibatalkan kurator.

 

2. Implikasi bagi Kurator dan Pengadilan Niaga

Kurator perlu memahami batasan hak akses terhadap dokumen notaris. Dalam sistem Belanda dan Inggris, hak ini dibatasi hanya pada dokumen yang relevan dengan harta pailit, sementara rahasia pihak ketiga tetap dilindungi. Di Indonesia, belum ada aturan eksplisit sehingga berpotensi terjadi pelanggaran kerahasiaan.

 

3. Implikasi bagi Regulator

Regulator (Kementerian Hukum dan HAM serta Dewan Notaris) seharusnya menyusun pedoman teknis yang mengatur:

mekanisme penangguhan jabatan notaris pailit;

prosedur penyerahan dokumen kepada kurator dengan izin pengadilan; dan

pelaporan kepailitan kepada Majelis Pengawas Notaris secara elektronik.

Langkah-langkah ini akan memperkuat kepastian hukum dan perlindungan publik atas akta-akta yang dibuat oleh notaris sebelum maupun setelah kepailitan.

 

E. Simpulan

Perbandingan antara Indonesia, Belanda, dan negara common-law menunjukkan bahwa:

1. Kepailitan tidak selalu meniadakan jabatan notaris, tetapi menuntut mekanisme pengawasan khusus agar fungsi publik tetap terlindungi.

2. Indonesia menghadapi ambiguitas normatif, sedangkan Belanda memiliki struktur pengawasan ganda, dan Inggris-Australia menekankan akuntabilitas profesional tanpa sanksi otomatis.

3. Inti dari semua sistem adalah keseimbangan antara perlindungan kreditor, kepastian hukum publik, dan integritas profesi hukum.

 

F. Saran dan Rekomendasi Kebijakan

1. Amandemen UU Jabatan Notaris untuk menegaskan bahwa status pailit menimbulkan penangguhan sementara jabatan sampai ada keputusan pemberhentian resmi, bukan pemberhentian otomatis.

2. Peraturan pelaksana harus mengatur mekanisme penyerahan dokumen kepada kurator dengan menjaga asas kerahasiaan jabatan.

3. Majelis Pengawas Notaris perlu menyusun protokol darurat ketika notaris dinyatakan pailit, termasuk sistem delegasi dan pengalihan akta kepada notaris pengganti.

4. Pelatihan wajib tentang hukum kepailitan bagi notaris dan staf kantor notaris, agar memahami posisi hukum mereka ketika berhadapan dengan kurator atau pihak pengadilan niaga.

5. Sinergi antara pengadilan niaga, kurator, dan dewan profesi perlu ditingkatkan agar interpretasi terhadap akta dan kewenangan notaris dalam masa kepailitan lebih seragam.

 

Daftar Pustaka

1. Biemans, J. (2018). Faillissementswet and Notarial Law: A Historical and Functional Overview. Leiden University Press.

2. Law Council of Australia. (2023). Policy Review: Insolvency and Professional Responsibility in Australia. Canberra: LCA Publications.

3. Ministry of Justice, The Netherlands. (2019). Kamerbrief over toezicht op het notariaat. Den Haag.

4. Republic of Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5. Republic of Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris.

6. United Kingdom. (1986). Insolvency Act 1986 and Insolvency Rules 2016.

7. Widhi Handoko. (2020). Kepastian Hukum Jabatan Notaris dalam Perspektif Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum, 12 (2), 133–147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar