Pemisahan dan penentuan batas wilayah laut merupakan aspek fundamental dalam pengaturan hukum laut nasional. Ketepatan dalam menentukan batas-batas ini berimplikasi langsung terhadap kewenangan negara, perlindungan lingkungan, serta penguasaan lahan reklamasi pesisir seperti pada kasus Pagar Laut PIK 2.
Secara yuridis, pengaturan wilayah laut Indonesia didasarkan
pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
1. Garis Batas Sempadan Pantai
Definisi :
Garis sempadan pantai adalah batas perlindungan daratan terhadap dinamika laut, yang berfungsi menjaga ekosistem pesisir dan mencegah kegiatan pembangunan terlalu dekat dengan garis pasang tertinggi.
Menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 27 Tahun 2007,
> “Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian laut dengan proporsi tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan lindung untuk menjaga kelestarian fungsi pantai.”
Implikasi Hukum :
Tidak boleh dilakukan reklamasi, pembangunan permanen, atau penutupan akses publik tanpa izin tata ruang dan lingkungan.
Sempadan pantai biasanya ditetapkan minimal 100 meter dari pasang tertinggi (berdasarkan PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang).
Dalam kasus Pagar Laut PIK 2, muncul indikasi bahwa reklamasi dan pembangunan pagar laut telah melampaui batas sempadan pantai, bahkan menutup akses publik ke wilayah pesisir.
Analisis: Hal ini berpotensi melanggar asas hak publik atas pesisir (public access right) dan prinsip pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, yang merupakan bagian dari hukum lingkungan hidup dan hukum agraria.
2. Garis Batas Laut Teritorial
Definisi :
Laut teritorial adalah wilayah laut sejauh 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan yang menjadi bagian dari kedaulatan penuh negara.
Dasar hukumnya adalah Pasal 3 UNCLOS 1982 dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Implikasi Hukum :
Dalam laut teritorial, negara berdaulat penuh atas semua aktivitas, termasuk reklamasi, perikanan, maupun keamanan laut.
Pembangunan proyek seperti reklamasi PIK 2 dan pagar laut yang menjorok ke arah laut teritorial wajib melalui izin reklamasi dan AMDAL yang disahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian ATR/BPN.
Analisis :
Jika reklamasi dilakukan tanpa izin yang sah atau melampaui batas laut teritorial yang telah ditetapkan, maka terdapat indikasi pelanggaran hukum laut nasional, bahkan dapat dikategorikan sebagai perampasan ruang laut negara.
Dalam konteks mafia pertanahan, penyalahgunaan kewenangan dalam penguasaan ruang laut ini menunjukkan adanya konversi ilegal ruang publik menjadi ruang privat melalui skema legal-formal proyek strategis.
3. Garis Batas Laut Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Definisi :
Laut Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah wilayah laut sejauh 200 mil laut dari garis pangkal di mana negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengelola sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati.
Dasar Hukum :
Pasal 55 – 75 UNCLOS 1982
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Implikasi Hukum :
Negara tidak memiliki kedaulatan penuh, tetapi hanya hak berdaulat (sovereign rights) atas eksplorasi dan konservasi sumber daya alam.
Wilayah ZEE tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan reklamasi permanen atau pembangunan komersial darat seperti PIK 2, karena bersifat zona pengelolaan sumber daya laut.
Analisis :
Secara geografis, PIK 2 tidak sampai pada wilayah ZEE, namun prinsip hukum yang sama berlaku: setiap perubahan morfologi pantai (reklamasi, pengurugan, pagar laut) wajib memperhatikan batas-batas yurisdiksi laut dan tidak boleh mengurangi fungsi ekologis laut sebagai milik publik (res communis omnium).
Keterkaitan dengan Kasus Pagar Laut PIK 2
Dari perspektif hukum laut dan pertanahan, kasus PIK 2
menunjukkan potensi pelanggaran terhadap prinsip pengelolaan wilayah pesisir,
yakni:
1. Peleburan batas sempadan pantai dengan area reklamasi tanpa mempertimbangkan fungsi lindung;
2. Penutupan akses publik terhadap wilayah laut, yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam;
3. Kemungkinan penguasaan ruang laut secara privat melalui skema perizinan yang tidak transparan dalam kerangka PSN.
Dengan demikian, permasalahan “pagar laut” tidak sekadar
soal batas fisik, melainkan menyangkut batas yurisdiksi hukum dan batas
keadilan sosial, yang menjadi inti dari konflik antara pembangunan dan
kedaulatan hukum.
Batas Laut yang Masih Dapat Dikuasai Secara Privat atau oleh
Badan Hukum
1. Prinsip Umum: Penguasaan Negara atas Laut dan Tanah Pesisir
Menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
> “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pasal ini melahirkan prinsip “Hak Menguasai dari Negara” sebagaimana dikembangkan dalam Pasal 2 UUPA Tahun 1960, yang mencakup kewenangan:
Mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah;
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah.
Dalam konteks wilayah pesisir dan laut dangkal, prinsip ini tetap berlaku, tetapi penerapan hak atas tanah dibatasi oleh status kawasan lautnya — apakah masih merupakan bagian dari wilayah daratan (termasuk tanah timbul dan reklamasi) atau sudah masuk ke perairan laut yang tidak dapat dikuasai secara privat.
2. Zona Laut yang Masih Dapat Dikeluarkan Hak Atas Tanahnya
Berdasarkan sistem hukum Indonesia, hanya wilayah tertentu dari zona pesisir yang masih dapat dikeluarkan hak atas tanah (seperti HGB, HGU, atau Hak Pakai), yaitu:
a. Kawasan Daratan Pesisir dan Tanah Timbul (Land Accretion)
Menurut Pasal 55 PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hakk Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Tanah timbul dapat diberikan hak atas tanah setelah ditetapkan statusnya sebagai tanah negara oleh Kementerian ATR/BPN.
Dengan kata lain :
Tanah timbul yang masih dalam radius sepadan pantai (100 meter) dapat diberikan hak, jika tidak termasuk kawasan lindung;
Hak yang dapat diberikan biasanya berupa Hak Pengelolaan (HPL) atau Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL.
Dalam kasus PIK 2, tanah hasil reklamasi dan pagar laut termasuk tanah hasil pengurugan (artificial land), yang secara yuridis baru menjadi tanah negara setelah diserahkan dan disahkan oleh negara melalui SK Penetapan Tanah Negara.
Baru setelah itu, hak privat dapat diterbitkan di atasnya.
b. Kawasan Reklamasi yang Ditetapkan Sebagai Wilayah Daratan Baru
Berdasarkan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 2014 (Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil):
> “Setiap pelaksanaan reklamasi wajib memperoleh izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi dari pemerintah.”
Setelah reklamasi selesai dan disahkan, tanah hasil reklamasi menjadi bagian dari wilayah daratan, dan status hukumnya mengikuti rezim pertanahan nasional (UUPA).
Artinya :
Wilayah reklamasi dapat diberikan hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum;
Namun pemberian hak tersebut bergantung pada legitimasi izin reklamasi dan kesesuaian tata ruang pesisir.
Dalam praktiknya, banyak wilayah reklamasi seperti di PIK 1, PIK 2, Pantai Mutiara, dan reklamasi Teluk Jakarta telah diterbitkan sertifikat HGB di atas HPL yang dimiliki oleh pengembang (misalnya, melalui entitas PT atau BUMD).
c. Zona Peralihan (Intertidal Zone)
Zona ini adalah wilayah antara garis pasang surut tertinggi dan terendah.
Meskipun termasuk bagian dari lingkungan laut, secara hukum zona ini dapat dikelola melalui Hak Pengelolaan (HPL) jika:
Telah ada kegiatan reklamasi atau penimbunan yang bersifat permanen, dan
Tidak mengganggu fungsi ekosistem pantai dan laut.
Namun pemberian hak di zona ini tidak boleh melanggar kepentingan publik dan fungsi ekologis pantai (lihat Pasal 50 PP No. 21 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 17 Tahun 2016).
3. Zona Laut yang Tidak Dapat Dikuasai Privat
Beberapa zona laut secara tegas tidak dapat menjadi objek hak atas tanah, yaitu:
1. Perairan Laut Teritorial (0–12 mil laut): hanya untuk kepentingan negara (kedaulatan penuh), tidak dapat diberikan hak privat.
2. Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut): hanya hak berdaulat negara atas sumber daya, bukan kepemilikan lahan.
3. Laut Lepas dan Landas Kontinen: bersifat internasional, res communis omnium — tidak ada hak privat sama sekali.
Dengan demikian, hak atas tanah hanya dapat diterbitkan sepanjang wilayah tersebut telah menjadi bagian dari daratan hasil reklamasi atau tanah timbul yang disahkan.
4. Batas Fisik dan Administratif Wilayah Laut yang Masih Dapat Dikuasai
Secara praktis, batas terluar wilayah laut yang masih dapat diberikan hak atas tanah adalah:
> “Sepanjang wilayah tersebut telah berubah menjadi daratan akibat reklamasi atau proses alami (tanah timbul), dan telah ditetapkan statusnya sebagai tanah negara.”
Artinya :
Diukur dari garis pasang tertinggi terakhir sebelum reklamasi;
Bukan diukur dari batas laut teritorial 12 mil, karena itu sudah wilayah kedaulatan laut, bukan objek hak atas tanah.
Sehingga, batas maksimum hak atas tanah di wilayah laut berhenti di garis sempadan pantai baru hasil reklamasi.
5. Analisis terhadap Kasus Pagar Laut PIK 2
Dalam kasus Pagar Laut PIK 2, beberapa indikasi muncul:
1. Pagar laut dibangun melewati garis sempadan pantai lama, yang berarti secara hukum melampaui batas wilayah yang dapat diterbitkan hak atas tanah;
2. Wilayah reklamasi baru belum sepenuhnya disahkan sebagai tanah negara, tetapi telah dilakukan penjualan dan penerbitan sertifikat HGB;
3. Terdapat potensi penyalahgunaan Hak Pengelolaan (HPL) sebagai sarana legalisasi penguasaan ruang laut secara privat — inilah salah satu modus mafia pertanahan dalam proyek strategis nasional.
Dengan demikian, batas wilayah laut yang masih dapat dikuasai secara privat bukan ditentukan oleh jarak dari pantai, tetapi oleh status hukum wilayah tersebut sebagai “tanah negara” hasil reklamasi atau tanah timbul yang sah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar