*) KRITIK DAN REKONSTRUKSI PASAL 9 UU JABATAN NOTARIS DALAM
PERSPEKTIF KEPAILITAN**
LEGAL RATIONALITY IN LAW-MAKING
A CRITIQUE AND RECONSTRUCTION OF ARTICLE 9 OF THE NOTARY LAW
IN THE CONTEXT OF BANKRUPTCY
![]() |
|
Abstrak (Bahasa Indonesia)
Artikel ini mengkaji rasionalitas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan fokus pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan kondisi “pailit” sebagai salah satu alasan pemberhentian notaris, tanpa penjelasan dalam konsideran maupun penjelasan umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan yuridis mengenai konsistensi politik hukum, kejelasan norma, dan hubungan kausalitas antar peraturan. Dengan pendekatan to criticize, to understand, dan to explore, tulisan ini menegaskan pentingnya asas kepastian hukum, integrasi, dan esensialitas dalam konstruksi norma jabatan publik. Penulis berargumen bahwa hukum harus memenuhi prinsip law is logic—yakni hukum yang beralasan, rasional, dan dapat diterima oleh akal sehat manusia. Berdasarkan analisis perbandingan terhadap sistem hukum Belanda dan negara common-law (Inggris dan Australia), disimpulkan bahwa pengaturan kepailitan pejabat hukum semestinya dilandasi pertimbangan etik, akuntabilitas, dan keadilan substantif, bukan semata deklarasi normatif.
Kata Kunci : rasionalitas hukum, kepailitan, jabatan notaris, politik hukum, harmonisasi hukum
Abstract (English)
This article examines legal rationality in the formation of legislation, focusing on Article 9 of Law No. 2 of 2014 in conjunction with Law No. 30 of 2004 on the Notary Profession. The article explicitly mentions “bankruptcy” as a ground for dismissal of a notary, yet lacks justification in the preamble or general explanation. This raises legal questions concerning policy coherence, normative clarity, and causal correlation among legal norms. Using the to criticize, to understand, and to explore approaches, the paper emphasizes the principles of legal certainty, integration, and essentiality in constructing public office norms. The author argues that law must fulfill the principle of law is logic—a law that is reasoned, rational, and acceptable to human logic. Based on comparative analysis with the Dutch and common-law systems (UK and Australia), it concludes that bankruptcy provisions for legal officers should rest upon ethical, accountability, and substantive justice considerations rather than mere formal declaration.
Keywords: legal rationality, bankruptcy, notary profession, legal policy, legal harmonization
1. Pendahuluan
Salah satu permasalahan konseptual dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah kurangnya konsistensi antara political will hukum yang tertuang dalam konsideran dengan istilah-istilah teknis yang muncul di dalam batang tubuh Undang-Undang. Fenomena ini tampak jelas dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa seorang notaris diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana atau dinyatakan pailit, tanpa memberikan penjelasan hukum mengenai makna dan konteks “pailit” bagi pejabat publik. Tidak terdapat penjelasan dalam konsideran, bagian penjelasan umum, maupun dalam ketentuan umum (Pasal 1).
Ketiadaan penjelasan ini menimbulkan persoalan hukum mendasar: bagaimana mungkin istilah pailit—yang berasal dari hukum privat dan bersumber dari UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU—diterapkan secara langsung terhadap jabatan publik seperti notaris, tanpa ada harmonisasi konsep hukum publik dan privat?
Permasalahan tersebut bukan sekadar terminologi, tetapi menyangkut filosofi pembentukan hukum, integrasi norma, dan rasionalitas legislasi.
2. To Criticize – Kritik terhadap Formulasi Pasal 9 UUJN
Kritik utama terhadap Pasal 9 UUJN adalah ketidakhadiran logika hukum dalam pemilihan istilah pailit. Dalam teori politik hukum, setiap istilah yang muncul dalam batang tubuh undang-undang seharusnya mempunyai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang jelas dalam konsideran.
Dalam Pasal 9 UUJN, kata “pailit” muncul tanpa dasar dalam pertimbangan hukum (considerans) maupun penjelasan umum. Hal ini melanggar prinsip lex intelligibilis—bahwa norma harus dapat dipahami secara logis dan tidak menimbulkan ambiguitas.
Selain itu, istilah “pailit” merupakan konsep dalam ranah hukum perdata, sedangkan jabatan notaris adalah jabatan publik yang tunduk pada hukum administrasi dan etik profesi. Penyatuan dua rezim hukum ini tanpa rasionalisasi menciptakan anomali normatif.
Secara perbandingan, dalam sistem hukum Belanda (Wet op het Notarisambt / Wna), notaris dapat diberhentikan karena alasan etik dan pelanggaran kepercayaan publik, bukan karena pailit sebagai status hukum privat. Di Inggris dan Australia, bankruptcy dapat menjadi alasan diskualifikasi pejabat hukum, tetapi selalu disertai mekanisme review dan prinsip fair hearing, sehingga tidak otomatis mencabut hak profesi tanpa pertimbangan etik.
Kritik ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan prinsip harmonisasi hukum dan coherence of norms.
3. To Understand – Rasionalitas Hukum dan Prinsip “Law is
Logic”
Menurut Widhi Handoko (2020), law is logic berarti hukum harus memenuhi tuntutan akal sehat manusia (ratio humana) dan dibangun atas dasar reasoning yang dapat diuji secara ilmiah. Suatu pasal yang tidak memiliki penjelasan rasional dalam konsideran atau penjelasan umum adalah bentuk penyimpangan terhadap prinsip rasionalitas hukum.
Rasionalitas hukum mengandung tiga dimensi utama
1. Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty)
Suatu norma hanya dapat ditegakkan jika memiliki kejelasan makna dan tujuan yang pasti. Istilah pailit dalam konteks notaris tidak memiliki kepastian, karena tidak dijelaskan apakah status pailit mengacu pada aspek finansial pribadi atau merujuk pada ketidakmampuan menjalankan fungsi publik.
2. Asas Integrasi (Integration Principle)
Terdapat kebutuhan integrasi antara judul, konsideran, dan substansi pasal. Undang-undang yang memuat istilah dari undang-undang lain wajib memastikan keterpaduan definisi dan tujuan, agar tidak terjadi pertentangan antar norma (disharmoni vertikal dan horizontal).
3. Asas Esensialitas (Essentiality Principle)
Esensi undang-undang harus konsisten dengan nilai dan tujuan pembentukannya. Jika judul UU menekankan “jabatan notaris”, maka seluruh substansi harus berorientasi pada dimensi jabatan publik, bukan ranah privat.
Dengan demikian, rasionalitas hukum bukan hanya tentang logika bahasa, tetapi juga logika nilai (value logic) dan logika sistem (systemic logic).
4. To Explore – Rekonstruksi Politik Hukum dan Harmonisasi Antar Peraturan
Untuk memperbaiki kelemahan konseptual tersebut, dibutuhkan rekonstruksi politik hukum pembentukan peraturan jabatan publik di Indonesia. Rekonstruksi ini meliputi:
1. Reformulasi Keterkaitan Antara Hukum Privat dan Publik
Ketentuan kepailitan hanya dapat diberlakukan terhadap notaris jika berdampak langsung pada fungsi pelayanan publik dan integritas jabatan, bukan semata karena kegagalan ekonomi pribadi.
2. Penyusunan Norma dengan Penjelasan Kontekstual
Istilah “pailit” perlu diuraikan secara eksplisit dalam penjelasan umum UUJN agar memenuhi reasoned justification.
3. Harmonisasi Antara UUJN dan UU Kepailitan
Sinkronisasi lintas rezim hukum diperlukan agar tidak terjadi kontradiksi norma antara UU 2/2014 dan UU 37/2004.
4. Revisi Konsideran dan Ketentuan Umum
Konsideran UUJN harus diperluas dengan memasukkan dasar etika profesi dan prinsip kepercayaan publik sebagai pijakan dalam mengatur pemberhentian notaris.
Dengan langkah-langkah tersebut, hukum dapat dikembalikan ke fungsi utamanya: menjadi sistem yang rasional, adil, dan konsisten.
5. Kesimpulan
Pasal 9 UUJN mencerminkan kelemahan rasionalitas dalam pembentukan hukum. Penggunaan istilah “pailit” tanpa dasar konsideratif dan tanpa penjelasan konseptual menimbulkan kontradiksi antara hukum publik dan privat.
Dalam perspektif rasionalitas hukum (law is logic), setiap norma harus memiliki hubungan kausalitas yang jelas antara tujuan pembentukan, struktur pasal, dan sistem hukum lainnya. Hanya dengan itu hukum dapat berfungsi secara logis dan adil.
6. Rekomendasi Kebijakan (Policy Recommendation)
1. Revisi UUJN: Tambahkan penjelasan kontekstual atas istilah “pailit” dalam Pasal 9, dengan batasan bahwa pailit hanya relevan bila berdampak pada integritas jabatan.
2. Harmonisasi Hukum: Lakukan penyelarasan dengan UU Kepailitan melalui peraturan pelaksana bersama Kemenkumham dan Kemenkeu.
3. Penguatan Politik Hukum Pembentukan UU: Wajib memasukkan kajian naskah akademik yang berbasis rasionalitas hukum dan law reasoning.
4. Pendidikan Hukum Normatif-Reflektif: Kurikulum kenotariatan perlu menanamkan konsep law is logic sebagai kerangka berpikir etik dan sistemik dalam memahami norma jabatan publik.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Wet op het Notarisambt (Wna) – Belanda.
Insolvency Act 1986 (UK).
Bankruptcy Act 1966 (Australia).
Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Thafa Media, 2014.
Widhi Handoko, Law is Logic: Rasionalitas Hukum dalam Sistem Keadilan Modern, (manuskrip kademik, 2020).
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum dan Kemanusiaan, Kompas, 2009.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, 1999.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar