Telaah Kritis terhadap
Degradasi Reformasi Kultural Polri di Era Pemerintahan Prabowo Subianto
Oleh: Widhi Handoko
Abstrak
Tulisan ini mengkaji
arah reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang mengalami regresi
menuju remiliterisasi, kooptasi politik, serta pembiaran terhadap berkembangnya
jaringan mafia kekuasaan dan korupsi. Di tengah harapan reformasi 1998 untuk menjadikan
Polri sebagai institusi sipil yang profesional, netral, dan berorientasi pada
pelayanan publik, kini Polri berada di titik dilematis: antara menjadi alat
penegak hukum atau alat kekuasaan. Analisis ini menggunakan pendekatan socio-legal
studies dan teori bekerjanya hukum dari Chambliss & Seidman,
dikombinasikan dengan paradigma hukum progresif Satjipto Rahardjo serta
refleksi hukum Widhi Handoko yang menekankan etika moral, kesadaran hukum, dan
spiritualitas keadilan.
Kata kunci: Reformasi Polri, Militerisme,
Mafia Kekuasaan, Hukum Progresif, Keadilan Reflektif.
1. Pendahuluan
Reformasi
Polri merupakan bagian dari semangat besar reformasi 1998, di mana masyarakat
menuntut pemisahan Polri dari TNI sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPR Nomor VI
Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII Tahun 2000
tentang Peran TNI dan Polri. Polri kemudian diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yang menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang berperan memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun,
dua dekade setelah reformasi, Polri justru menghadapi paradoks: kekuasaan
politik dan ekonomi semakin mempengaruhi arah kebijakan penegakan hukum. Polri
bukan lagi semata-mata institusi penegak hukum, melainkan menjadi arena
kepentingan ekonomi, politik, bahkan perebutan sumber daya kekuasaan. Dalam
konteks inilah muncul kekhawatiran bahwa reformasi Polri justru bergerak menuju
kemenangan para koruptor dan mafia kekuasaan yang menghidupkan kembali pola
lama Orde Baru.
2. Landasan Hukum dan Kerangka
Teori
2.1 Landasan Hukum Reformasi Polri
Secara normatif, kedudukan Polri telah diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”
Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 menjabarkan fungsi utama Polri, yaitu:
- Pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat,
- Penegakan hukum, dan
- Pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun dalam praktik, fungsi ini kerap terdistorsi oleh intervensi politik dan ekonomi kekuasaan yang menggeser orientasi moral hukum menjadi pragmatis kekuasaan.
2.2 Teori Chambliss & Seidman: Hukum dan Struktur Kekuasaan
William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam Law, Order and Power (1971) menegaskan bahwa hukum tidak berdiri netral, tetapi merupakan hasil interaksi kekuatan sosial dan politik yang mendominasi. Dalam konteks Indonesia, relasi antara Polri dan kekuasaan politik menampakkan bahwa hukum sering kali menjadi instrumen legitimasi bagi elite penguasa, bukan alat keadilan sosial.
Teori ini relevan untuk menjelaskan mengapa reformasi kultural Polri sulit bertahan: sebab struktur kekuasaan di atasnya masih bersandar pada patronase politik dan oligarki ekonomi. Dalam istilah Chambliss & Seidman, hukum berjalan sesuai “the interests of those who hold the power to define its meaning.”
2.3 Paradigma Hukum Progresif Satjipto Rahardjo
Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (2003) menegaskan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks dan prosedur, melainkan harus berani menembus formalisme demi keadilan substantif. Dalam konteks Polri, hukum progresif menuntut perubahan kultur institusional: dari aparat yang berorientasi kekuasaan menjadi pelayan publik yang humanis. Namun, bila kekuasaan politik kembali menundukkan Polri, maka idealisme hukum progresif kehilangan pijakan moralnya.
2.4 Pandangan Reflektif dan Kasus Empiris Widhi Handoko
Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N. adalah akademisi, notaris, dan praktisi hukum yang vokal dalam isu mafia tanah, kriminalisasi organisasi profesi, dan penyalahgunaan kekuasaan aparat. Dalam Rekonstruksi Hukum Moralitas dan Keadilan Sosial (2023), ia menulis:
“Reformasi hukum tanpa reformasi kesadaran adalah seperti membangun gedung di atas pasir kekuasaan. Ia akan runtuh ketika kepentingan politik datang menekan.”
Bagi Widhi, Polri bukan sekadar aparat hukum, melainkan simbol moral negara. Reformasi kultural Polri harus berpijak pada tiga kesadaran: etik, hukum, dan spiritual, agar kekuasaan tidak berubah menjadi alat penindasan.
Widhi menilai bahwa penanganan mafia tanah “tidak bisa ditangani orang biasa – harus punya pengalaman di bidang militer.” Pandangan ini menunjukkan ambiguitas reformasi hukum: di satu sisi menolak militerisme, tetapi di sisi lain menyadari bahwa menghadapi mafia kekuasaan memerlukan ketegasan dan struktur disiplin yang kuat.
b. Kasus Kriminalisasi Organisasi Profesi
Dalam kasus pribadi, Widhi pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Tengah terkait konflik internal organisasi profesi. Ia mengajukan praperadilan karena menilai adanya error in persona dan penyalahgunaan proses hukum. Pengalaman ini memperkuat pandangannya bahwa hukum kerap dijadikan alat politik dan kontrol sosial terhadap pihak yang kritis terhadap kekuasaan.
c. Kritik terhadap Kekuasaan Hukum yang Transaksional
Dari kasus tersebut, ia menegaskan bahwa “hukum tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan kekuasaan organisasi.” Ia menuntut transparansi dalam penyidikan dan menekankan pentingnya pengawasan publik terhadap aparat hukum. Pandangan ini memperkuat kritik terhadap Polri yang dianggap rawan disalahgunakan dalam relasi oligarki kekuasaan.
Secara
konseptual, pandangan Widhi melengkapi teori Chambliss–Seidman dan Satjipto
Rahardjo dengan dimensi rekonstruktif dan spiritualitas keadilan,
yaitu bahwa perubahan hukum sejati harus menyentuh kesadaran moral manusia
hukum, bukan hanya regulasinya.
Tabel 1. Pandangan dan
Kasus Empiris Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N. terhadap Isu Penegakan Hukum
dan Reformasi Polri
|
Isu |
Pernyataan / Pandangan Widhi Handoko |
Implikasi terhadap Kritik terhadap
Polri / Relevansi |
|
Mafia Tanah &
Pengalaman Militer |
Widhi menyebut bahwa
penanganan mafia tanah “tidak bisa ditangani orang biasa – harus punya
pengalaman di bidang militer” ketika membicarakan kinerja Menteri ATR/BPN
Hadi Tjahjanto. |
Menunjukkan
pandangannya bahwa menghadapi mafia tanah memerlukan ketegasan, kepakaran
penegakan hukum militer, dan pendekatan keras berbasis struktur komando. Ini
mengindikasikan bahwa mafia tanah merupakan kejahatan sistemik yang menuntut
aparat berkarakter kuat. Namun, pandangan ini juga berpotensi membuka ruang
bagi praktik remiliterisasi dalam Polri. |
|
Kriminalisasi
Organisasi Profesi & Penetapan Tersangka |
Widhi Handoko pernah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Tengah atas laporan fitnah/palsu
terkait konflik internal organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia). Ia
mengajukan praperadilan dengan dalih terdapat error in persona karena
laporan semestinya ditujukan kepada organisasi, bukan individu. |
Pengalaman ini menjadi
bukti empiris bahwa kekuasaan penegakan hukum dapat disalahgunakan untuk
kepentingan politik atau kelompok tertentu. Hal ini memperkuat kritik bahwa
terdapat mafia kekuasaan dan kriminalisasi yang digunakan untuk mengendalikan
pihak yang kritis terhadap institusi atau otoritas hukum. |
|
Persepsi tentang
Kekerasan Hukum & Penegakan Kekuasaan |
Dari kasusnya, Widhi
mengkritik bahwa hukum tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan organisasi
atau kekuasaan. Ia menuntut agar proses penyidikan dilakukan secara
transparan, dan agar penyidik maupun jaksa yang terlibat turut diperiksa. |
Pandangan ini
menegaskan pentingnya mekanisme kontrol hukum yang efektif — tidak hanya pada
tataran regulatif, tetapi juga dalam praktik penyidikan dan penuntutan.
Kritiknya relevan untuk Polri karena menyentuh aspek akuntabilitas,
integritas penyidik, dan keadilan prosedural yang sering kali menjadi titik
lemah reformasi institusi kepolisian. |
Kelebihan:
- Memiliki
legitimasi hukum kuat (UUD 1945 dan UU 2/2002).
- Kedekatan
dengan masyarakat sipil berpotensi membangun community policing
yang humanis.
- Kemajuan
teknologi (e-Tilang, e-Samsat, e-Dumas) membuka peluang transparansi.
Kekurangan:
- Budaya
hierarkis dan militeristik masih dominan.
- Intervensi
politik dan ekonomi melemahkan independensi Polri.
- Loyalitas
vertikal lebih kuat dari loyalitas pada keadilan.
- Praktik
transaksional masih marak; ICW (2024) mencatat 27% kasus korupsi sektor
hukum melibatkan aparat kepolisian.
4. Remiliterisasi dan Kebangkitan
Oligarki Kekuasaan
Pemerintahan pasca 2024 menunjukkan indikasi kuat remiliterisasi: jabatan sipil diisi figur berlatar belakang militer. Polri yang semestinya kekuatan sipil kini terseret ke orbit kekuasaan politik. Fenomena backing terhadap mafia migas dan mafia peradilan menjadi bukti state capture corruption di mana lembaga hukum dikendalikan oleh kepentingan ekonomi politik. ICW (2023) memperkirakan potensi kerugian negara dari mafia migas mencapai Rp130 triliun per tahun.
5. Analisis: Bekerjanya Hukum dalam
Struktur Kekuasaan
Menurut
Chambliss & Seidman, hukum gagal mencapai keadilan bila struktur kekuasaan
menguasai mekanisme pembuat dan pelaksananya. Polri berada dalam posisi
dilematis: secara hukum berada di bawah Presiden (Pasal 8 UU 2/2002), tetapi
secara moral seharusnya independen. Ketika Presiden memiliki kepentingan
politik atau ekonomi, Polri rawan digunakan sebagai instrumentum regni —
alat legitimasi kekuasaan, bukan pelindung rakyat.
6. Refleksi Widhi
Handoko
“Reformasi
Polri bukan hanya tentang institusi, tetapi tentang manusia di dalamnya. Kultur
hukum tidak akan berubah tanpa kesadaran moral aparatnya. Negara hukum akan gagal
bila hukum dijalankan tanpa nurani.”
Refleksi
ini menunjukkan pentingnya rekonstruksi kultural Polri: memperkuat
pendidikan etik, spiritualitas hukum, dan kontrol publik nyata. Keadilan tidak
akan hadir bila Polri terus berada dalam tekanan kekuasaan ekonomi dan politik.
7. Rekomendasi
Visioner-Reflektif
- Reformasi
Etika Hukum Polri: Integrasikan nilai moral dan spiritual dalam pendidikan
kepolisian.
- Kemandirian
Struktural Polri: Pisahkan garis komando politik dari tugas penegakan
hukum.
- Transparansi
dan Akuntabilitas Publik: Perkuat fungsi Kompolnas dan Ombudsman.
- Rekonstruksi
Kesadaran Hukum: Kembalikan orientasi hukum pada nilai dasar Pancasila,
terutama sila ke-5 — Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
8. Kesimpulan
Reformasi
Polri kini berada di persimpangan: antara menjadi kekuatan moral bangsa atau
kembali menjadi instrumen kekuasaan. Tantangan terbesar bukan pada teks hukum,
tetapi pada keberanian moral menegakkan keadilan tanpa takut kehilangan
jabatan. Bila Polri gagal menjaga independensinya, hukum akan menjadi alat
pembenaran kejahatan yang dilembagakan.
Namun selama nurani aparat hukum masih hidup, harapan belum mati.
Seperti kata Satjipto Rahardjo:
“Selama manusia masih
memiliki hati nurani, hukum akan selalu punya harapan.”
Daftar Pustaka
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Tap
MPR No. VI Tahun 2000 dan Tap MPR No. VII Tahun 2000.
- Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Chambliss,
William J. & Seidman, Robert B. Law, Order and Power. Reading,
Mass: Addison-Wesley, 1971.
- Rahardjo,
Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas,
2003.
- Handoko,
Widhi. Rekonstruksi Hukum Moralitas dan Keadilan Sosial. Malang:
Universitas Widyagama Press, 2023.
- ICW.
Laporan Tren Korupsi 2023–2024. Jakarta, 2024.
- Kompolnas
RI. Evaluasi Kinerja Reformasi Polri. Jakarta, 2024.
- Widhi Handoko. Wawancara & Pernyataan Publik tentang Mafia Tanah, Kriminalisasi Organisasi Profesi, dan Etika Penegakan Hukum, 2023–2024.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar