Kamis, 16 Oktober 2025

REFORMASI POLRI MENUJU KEMENANGAN KORUPTOR DAN MAFIA KEKUASAAN

Telaah Kritis terhadap Degradasi Reformasi Kultural Polri di Era Pemerintahan Prabowo Subianto

Oleh: Widhi Handoko

Abstrak

Tulisan ini mengkaji arah reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang mengalami regresi menuju remiliterisasi, kooptasi politik, serta pembiaran terhadap berkembangnya jaringan mafia kekuasaan dan korupsi. Di tengah harapan reformasi 1998 untuk menjadikan Polri sebagai institusi sipil yang profesional, netral, dan berorientasi pada pelayanan publik, kini Polri berada di titik dilematis: antara menjadi alat penegak hukum atau alat kekuasaan. Analisis ini menggunakan pendekatan socio-legal studies dan teori bekerjanya hukum dari Chambliss & Seidman, dikombinasikan dengan paradigma hukum progresif Satjipto Rahardjo serta refleksi hukum Widhi Handoko yang menekankan etika moral, kesadaran hukum, dan spiritualitas keadilan.

Kata kunci: Reformasi Polri, Militerisme, Mafia Kekuasaan, Hukum Progresif, Keadilan Reflektif.

1. Pendahuluan

Reformasi Polri merupakan bagian dari semangat besar reformasi 1998, di mana masyarakat menuntut pemisahan Polri dari TNI sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Polri kemudian diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Namun, dua dekade setelah reformasi, Polri justru menghadapi paradoks: kekuasaan politik dan ekonomi semakin mempengaruhi arah kebijakan penegakan hukum. Polri bukan lagi semata-mata institusi penegak hukum, melainkan menjadi arena kepentingan ekonomi, politik, bahkan perebutan sumber daya kekuasaan. Dalam konteks inilah muncul kekhawatiran bahwa reformasi Polri justru bergerak menuju kemenangan para koruptor dan mafia kekuasaan yang menghidupkan kembali pola lama Orde Baru.

2. Landasan Hukum dan Kerangka Teori

2.1 Landasan Hukum Reformasi Polri

Secara normatif, kedudukan Polri telah diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 menjabarkan fungsi utama Polri, yaitu:

    1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
    2. Penegakan hukum, dan
    3. Pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Namun dalam praktik, fungsi ini kerap terdistorsi oleh intervensi politik dan ekonomi kekuasaan yang menggeser orientasi moral hukum menjadi pragmatis kekuasaan.

2.2 Teori Chambliss & Seidman: Hukum dan Struktur Kekuasaan

William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam Law, Order and Power (1971) menegaskan bahwa hukum tidak berdiri netral, tetapi merupakan hasil interaksi kekuatan sosial dan politik yang mendominasi. Dalam konteks Indonesia, relasi antara Polri dan kekuasaan politik menampakkan bahwa hukum sering kali menjadi instrumen legitimasi bagi elite penguasa, bukan alat keadilan sosial.

Teori ini relevan untuk menjelaskan mengapa reformasi kultural Polri sulit bertahan: sebab struktur kekuasaan di atasnya masih bersandar pada patronase politik dan oligarki ekonomi. Dalam istilah Chambliss & Seidman, hukum berjalan sesuai “the interests of those who hold the power to define its meaning.”

2.3 Paradigma Hukum Progresif Satjipto Rahardjo

Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (2003) menegaskan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks dan prosedur, melainkan harus berani menembus formalisme demi keadilan substantif. Dalam konteks Polri, hukum progresif menuntut perubahan kultur institusional: dari aparat yang berorientasi kekuasaan menjadi pelayan publik yang humanis. Namun, bila kekuasaan politik kembali menundukkan Polri, maka idealisme hukum progresif kehilangan pijakan moralnya.

2.4 Pandangan Reflektif dan Kasus Empiris Widhi Handoko

Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N. adalah akademisi, notaris, dan praktisi hukum yang vokal dalam isu mafia tanah, kriminalisasi organisasi profesi, dan penyalahgunaan kekuasaan aparat. Dalam Rekonstruksi Hukum Moralitas dan Keadilan Sosial (2023), ia menulis:

“Reformasi hukum tanpa reformasi kesadaran adalah seperti membangun gedung di atas pasir kekuasaan. Ia akan runtuh ketika kepentingan politik datang menekan.”

Bagi Widhi, Polri bukan sekadar aparat hukum, melainkan simbol moral negara. Reformasi kultural Polri harus berpijak pada tiga kesadaran: etik, hukum, dan spiritual, agar kekuasaan tidak berubah menjadi alat penindasan.

   a. Pandangan terhadap Mafia Tanah dan Militerisme

Widhi menilai bahwa penanganan mafia tanah “tidak bisa ditangani orang biasa – harus punya pengalaman di bidang militer.” Pandangan ini menunjukkan ambiguitas reformasi hukum: di satu sisi menolak militerisme, tetapi di sisi lain menyadari bahwa menghadapi mafia kekuasaan memerlukan ketegasan dan struktur disiplin yang kuat.

b. Kasus Kriminalisasi Organisasi Profesi

Dalam kasus pribadi, Widhi pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Tengah terkait konflik internal organisasi profesi. Ia mengajukan praperadilan karena menilai adanya error in persona dan penyalahgunaan proses hukum. Pengalaman ini memperkuat pandangannya bahwa hukum kerap dijadikan alat politik dan kontrol sosial terhadap pihak yang kritis terhadap kekuasaan.

c. Kritik terhadap Kekuasaan Hukum yang Transaksional

Dari kasus tersebut, ia menegaskan bahwa “hukum tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan kekuasaan organisasi.” Ia menuntut transparansi dalam penyidikan dan menekankan pentingnya pengawasan publik terhadap aparat hukum. Pandangan ini memperkuat kritik terhadap Polri yang dianggap rawan disalahgunakan dalam relasi oligarki kekuasaan.

Secara konseptual, pandangan Widhi melengkapi teori Chambliss–Seidman dan Satjipto Rahardjo dengan dimensi rekonstruktif dan spiritualitas keadilan, yaitu bahwa perubahan hukum sejati harus menyentuh kesadaran moral manusia hukum, bukan hanya regulasinya.

Tabel 1. Pandangan dan Kasus Empiris Prof. Dr. Widhi Handoko, S.H., Sp.N. terhadap Isu Penegakan Hukum dan Reformasi Polri

Isu

Pernyataan / Pandangan Widhi Handoko

Implikasi terhadap Kritik terhadap Polri / Relevansi

Mafia Tanah & Pengalaman Militer

Widhi menyebut bahwa penanganan mafia tanah “tidak bisa ditangani orang biasa – harus punya pengalaman di bidang militer” ketika membicarakan kinerja Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto.

Menunjukkan pandangannya bahwa menghadapi mafia tanah memerlukan ketegasan, kepakaran penegakan hukum militer, dan pendekatan keras berbasis struktur komando. Ini mengindikasikan bahwa mafia tanah merupakan kejahatan sistemik yang menuntut aparat berkarakter kuat. Namun, pandangan ini juga berpotensi membuka ruang bagi praktik remiliterisasi dalam Polri.

Kriminalisasi Organisasi Profesi & Penetapan Tersangka

Widhi Handoko pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Tengah atas laporan fitnah/palsu terkait konflik internal organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia). Ia mengajukan praperadilan dengan dalih terdapat error in persona karena laporan semestinya ditujukan kepada organisasi, bukan individu.

Pengalaman ini menjadi bukti empiris bahwa kekuasaan penegakan hukum dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu. Hal ini memperkuat kritik bahwa terdapat mafia kekuasaan dan kriminalisasi yang digunakan untuk mengendalikan pihak yang kritis terhadap institusi atau otoritas hukum.

Persepsi tentang Kekerasan Hukum & Penegakan Kekuasaan

Dari kasusnya, Widhi mengkritik bahwa hukum tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan organisasi atau kekuasaan. Ia menuntut agar proses penyidikan dilakukan secara transparan, dan agar penyidik maupun jaksa yang terlibat turut diperiksa.

Pandangan ini menegaskan pentingnya mekanisme kontrol hukum yang efektif — tidak hanya pada tataran regulatif, tetapi juga dalam praktik penyidikan dan penuntutan. Kritiknya relevan untuk Polri karena menyentuh aspek akuntabilitas, integritas penyidik, dan keadilan prosedural yang sering kali menjadi titik lemah reformasi institusi kepolisian.

 3. Eksistensi Polri Secara Kultural: Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan:

  1. Memiliki legitimasi hukum kuat (UUD 1945 dan UU 2/2002).
  2. Kedekatan dengan masyarakat sipil berpotensi membangun community policing yang humanis.
  3. Kemajuan teknologi (e-Tilang, e-Samsat, e-Dumas) membuka peluang transparansi.

Kekurangan:

  1. Budaya hierarkis dan militeristik masih dominan.
  2. Intervensi politik dan ekonomi melemahkan independensi Polri.
  3. Loyalitas vertikal lebih kuat dari loyalitas pada keadilan.
  4. Praktik transaksional masih marak; ICW (2024) mencatat 27% kasus korupsi sektor hukum melibatkan aparat kepolisian.

4. Remiliterisasi dan Kebangkitan Oligarki Kekuasaan

Pemerintahan pasca 2024 menunjukkan indikasi kuat remiliterisasi: jabatan sipil diisi figur berlatar belakang militer. Polri yang semestinya kekuatan sipil kini terseret ke orbit kekuasaan politik. Fenomena backing terhadap mafia migas dan mafia peradilan menjadi bukti state capture corruption di mana lembaga hukum dikendalikan oleh kepentingan ekonomi politik. ICW (2023) memperkirakan potensi kerugian negara dari mafia migas mencapai Rp130 triliun per tahun. 

5. Analisis: Bekerjanya Hukum dalam Struktur Kekuasaan

Menurut Chambliss & Seidman, hukum gagal mencapai keadilan bila struktur kekuasaan menguasai mekanisme pembuat dan pelaksananya. Polri berada dalam posisi dilematis: secara hukum berada di bawah Presiden (Pasal 8 UU 2/2002), tetapi secara moral seharusnya independen. Ketika Presiden memiliki kepentingan politik atau ekonomi, Polri rawan digunakan sebagai instrumentum regni — alat legitimasi kekuasaan, bukan pelindung rakyat.

6. Refleksi Widhi Handoko

“Reformasi Polri bukan hanya tentang institusi, tetapi tentang manusia di dalamnya. Kultur hukum tidak akan berubah tanpa kesadaran moral aparatnya. Negara hukum akan gagal bila hukum dijalankan tanpa nurani.”

Refleksi ini menunjukkan pentingnya rekonstruksi kultural Polri: memperkuat pendidikan etik, spiritualitas hukum, dan kontrol publik nyata. Keadilan tidak akan hadir bila Polri terus berada dalam tekanan kekuasaan ekonomi dan politik.

7. Rekomendasi Visioner-Reflektif

  1. Reformasi Etika Hukum Polri: Integrasikan nilai moral dan spiritual dalam pendidikan kepolisian.
  2. Kemandirian Struktural Polri: Pisahkan garis komando politik dari tugas penegakan hukum.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas Publik: Perkuat fungsi Kompolnas dan Ombudsman.
  4. Rekonstruksi Kesadaran Hukum: Kembalikan orientasi hukum pada nilai dasar Pancasila, terutama sila ke-5 — Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

8. Kesimpulan

Reformasi Polri kini berada di persimpangan: antara menjadi kekuatan moral bangsa atau kembali menjadi instrumen kekuasaan. Tantangan terbesar bukan pada teks hukum, tetapi pada keberanian moral menegakkan keadilan tanpa takut kehilangan jabatan. Bila Polri gagal menjaga independensinya, hukum akan menjadi alat pembenaran kejahatan yang dilembagakan.
Namun selama nurani aparat hukum masih hidup, harapan belum mati.
Seperti kata Satjipto Rahardjo:

“Selama manusia masih memiliki hati nurani, hukum akan selalu punya harapan.”

Daftar Pustaka

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Tap MPR No. VI Tahun 2000 dan Tap MPR No. VII Tahun 2000.
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Chambliss, William J. & Seidman, Robert B. Law, Order and Power. Reading, Mass: Addison-Wesley, 1971.
  • Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas, 2003.
  • Handoko, Widhi. Rekonstruksi Hukum Moralitas dan Keadilan Sosial. Malang: Universitas Widyagama Press, 2023.
  • ICW. Laporan Tren Korupsi 2023–2024. Jakarta, 2024.
  • Kompolnas RI. Evaluasi Kinerja Reformasi Polri. Jakarta, 2024.
  • Widhi Handoko. Wawancara & Pernyataan Publik tentang Mafia Tanah, Kriminalisasi Organisasi Profesi, dan Etika Penegakan Hukum, 2023–2024.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar