Kamis, 16 Oktober 2025

REKONSTRUKSI SISTEM KEAMANAN NASIONAL DAN DINAMIKA MILITERISME DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA: REFLEKSI KRITIS ATAS PERAN TNI DAN PENEGASAN DOMAIN POLRI PASCA-REFORMASI

Oleh: Prof. Dr. H. Widhi Handoko, S.H., Sp.N.
Kaprodi S3 Doktor Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana – POLRI Bandung


Abstrak

Pasca dua dekade Reformasi 1998, relasi sipil-militer di Indonesia menunjukkan kecenderungan regresif munculnya kembali pola militerisme administratif. Reformasi menegaskan supremasi sipil melalui pemisahan fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) saat ini menghadapi tantangan serius akibat kaburnya batas antara domain pertahanan dan keamanan. Kajian ini berupaya menganalisis dasar konstitusional pembagian fungsi pertahanan dan keamanan, mengidentifikasi bentuk-bentuk pelibatan TNI dalam urusan keamanan dalam negeri, serta merumuskan rekonstruksi sistem keamanan nasional yang ideal dalam kerangka demokrasi konstitusional.

Pendekatan normatif-empiris dan teori supremasi sipil (Huntington), demokrasi substantif (Dahl), serta hegemoni (Gramsci), kajian ini menemukan bahwa indikasi kembalinya militerisme tampak melalui lima pola utama: (1) militerisasi birokrasi sipil, (2) tumpang tindih fungsi pertahanan dan keamanan, (3) narasi ideologis tentang “ancaman nasional”, (4) penyusupan pola komando dalam tata kelola pemerintahan, dan (5) revisi kebijakan membuka ruang bagi re-politisasi militer. Fenomena tersebut berdampak pada erosi check and balance, melemahnya masyarakat sipil, dan krisis akuntabilitas pertahanan negara.

Kajian ini merekomendasikan rekonstruksi sistem keamanan nasional yang menegaskan kembali supremasi sipil melalui revisi UU TNI dan UU Polri, evaluasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP), penguatan kontrol parlemen, serta pengembangan sistem keamanan berbasis masyarakat (community policing). Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat keluar dari jebakan fragile democracy menuju sistem kenegaraan yang profesional, transparan, dan berbasis supremasi hukum.

Kata kunci: militerisme, supremasi sipil, demokrasi konstitusional, sistem keamanan nasional, Reformasi 1998.


A. Pendahuluan

Setelah Reformasi 1998, Indonesia memasuki era demokratisasi yang ditandai dengan upaya pemisahan peran militer dari ranah politik dan pemerintahan sipil. Agenda reformasi sektor pertahanan dan keamanan pada masa itu melahirkan kebijakan pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari tubuh ABRI, yang sebelumnya dikenal dengan konsep dwi fungsi ABRI. Langkah ini dimaksudkan untuk menegakkan supremasi sipil, memperkuat prinsip negara hukum, serta membangun demokrasi yang substantif.

Namun, setelah lebih dari dua dekade pasca-reformasi, muncul indikasi kuat terjadinya repolitisasi militer dan kembalinya pola militerisme gaya Orde Baru.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tataran politik, tetapi juga melalui berbagai mekanisme legal, birokratis, dan kultural yang secara perlahan mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan keamanan. Pelibatan TNI dalam sejumlah urusan keamanan dalam negeri-seperti penanganan konflik sosial, terorisme, narkotika, hingga persoalan ekonomi-menunjukkan adanya pergeseran peran yang potensial menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Polri serta berimplikasi pada distorsi prinsip demokrasi konstitusional.

Kecenderungan tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah konsolidasi demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Apakah reformasi yang telah menegaskan pemisahan militer dan kepolisian benar-benar berhasil mengubah struktur kekuasaan negara ke arah supremasi sipil? Ataukah justru terdapat dinamika baru yang mengarah pada re-legitimasi peran militer dalam kehidupan politik dan keamanan domestik?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, tulisan ini berupaya mengkaji tiga pokok persoalan mendasar, yaitu:

1. Bagaimana dasar konstitusional pembagian fungsi pertahanan dan keamanan di Indonesia?

2. Mengapa pelibatan TNI dalam domain keamanan dalam negeri berpotensi menimbulkan distorsi terhadap demokrasi dan prinsip supremasi sipil?

3. Bagaimana bentuk rekonstruksi sistem keamanan nasional yang ideal dalam kerangka demokrasi konstitusional Indonesia?

Melalui analisis reflektif dan normatif terhadap perkembangan sistem ketatanegaraan pasca-Reformasi, diharapkan dapat ditemukan arah baru bagi pembangunan sistem keamanan nasional yang demokratis, proporsional, dan sesuai dengan prinsip pembagian fungsi pertahanan dan keamanan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.


B. Kerangka Teori dan Dasar Hukum

1. Supremasi Sipil (Samuel P. Huntington)

Samuel P. Huntington dalam karyanya The Soldier and the State (1957) menegaskan pentingnya objective civilian control, yaitu bentuk kontrol sipil terhadap militer yang tidak bersifat represif, melainkan melalui pembatasan profesionalisme militer secara murni. Menurut Huntington, demokrasi modern hanya dapat bertahan apabila militer menjaga jarak dari ranah politik serta tunduk pada otoritas sipil. Dengan demikian, supremasi sipil bukan sekadar norma politik, tetapi juga prasyarat bagi kelangsungan demokrasi konstitusional.

2. Demokrasi Substantif (Robert Dahl)

Robert Dahl melalui konsep polyarchy menekankan dua unsur pokok demokrasi substantif, yakni partisipasi politik yang luas dan kompetisi yang terbuka. Keterlibatan militer dalam urusan sipil akan melemahkan kedua unsur tersebut karena menciptakan ketimpangan kekuasaan dan mengurangi ruang deliberasi publik. Demokrasi substantif hanya dapat tumbuh apabila otoritas keamanan tunduk pada mekanisme akuntabilitas sipil.

3. Hegemoni (Antonio Gramsci)

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui paksaan fisik, tetapi juga melalui hegemoni budaya, yaitu dominasi ide dan nilai yang diterima secara sukarela oleh masyarakat. Dalam konteks ini, militerisme dapat bertransformasi menjadi bentuk hegemoni budaya yang menanamkan nilai stabilitas dan ketertiban di atas partisipasi politik rakyat. Ketika ide tentang keamanan dan ketertiban dijadikan justifikasi untuk mengurangi kebebasan sipil, maka demokrasi kehilangan esensinya.

4. Kerangka Hukum Nasional

Secara konstitusional, pembagian fungsi pertahanan dan keamanan di Indonesia diatur dalam:

a) Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat), yang memisahkan secara tegas antara fungsi pertahanan (oleh TNI) dan fungsi keamanan (oleh Polri).

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan Polri sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.

c) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara di bawah otoritas sipil (Presiden) dan menetapkan batas kewenangannya dalam operasi militer.

Ketiga regulasi ini merupakan fondasi hukum yang menjadi dasar bagi pemisahan domain pertahanan dan keamanan sebagai bentuk penerapan prinsip supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

5. Peran Konstitusional TNI

Berdasarkan Pasal 30 UUD 1945 (hasil amandemen) dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, terdapat tiga pokok penting dalam fungsi pertahanan negara:

a) Fungsi Pertahanan Negara (fungsi utama)

Pertahanan negara merupakan upaya mempertahankan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari ancaman eksternal. Sistem ini diwujudkan melalui Sistem Pertahanan Semesta, yang melibatkan seluruh rakyat, wilayah, serta sumber daya nasional, dan bersifat defensif aktif-tidak agresif terhadap negara lain.

b) Tujuan Pertahanan Negara

1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

3) Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

c) Prinsip-Prinsip Pertahanan Negara

1) Sistem Pertahanan Semesta: penyelenggaraan pertahanan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut.

2) Defensif Aktif: menolak ancaman tanpa bersifat ofensif.

3) Politik Luar Negeri Bebas Aktif: kerja sama pertahanan dijalankan tanpa terikat pakta militer.

4) Operasi Militer Selain Perang (OMSP): pelibatan TNI di luar perang tetap berada di bawah otoritas sipil dan harus selaras dengan prinsip supremasi sipil.

6. Reformasi Sektor Pertahanan

a) Periode 1999–2004

Masa awal reformasi menjadi titik balik bagi demiliterisasi politik. TNI secara resmi keluar dari politik praktis, dan perwakilan militer di DPR serta DPRD dihapuskan. Langkah ini menandai penguatan awal supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan.

b) Periode 2004–2014

Supremasi sipil mulai menguat secara normatif, namun muncul ruang abu-abu dalam pelaksanaan OMSP yang memberi peluang bagi TNI untuk kembali berperan dalam urusan nonpertahanan.

c) Periode 2014–sekarang

Terjadi re-ekspansi fungsi sosial-politik TNI, ditandai dengan keterlibatan dalam berbagai bidang nonmiliter seperti ketahanan pangan, penanganan bencana, Covid-19, hingga penegakan hukum. Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan terhadap batas profesionalisme militer dan prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi.


C. Indikasi Kembalinya Militerisme dalam Sistem Ketatanegaraan

Dua dekade pasca-Reformasi 1998, Indonesia menghadapi dinamika baru dalam hubungan sipil–militer. Meskipun reformasi telah menegaskan pemisahan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sejumlah indikasi menunjukkan kembalinya pola militerisme dalam ruang ketatanegaraan dan birokrasi sipil. Gejala ini tidak selalu muncul

dalam bentuk dominasi politik langsung seperti pada masa Orde Baru, melainkan bekerja secara halus melalui mekanisme kelembagaan, ideologis, dan kebijakan publik yang berpotensi melemahkan prinsip civil supremacy.

1. Militerisasi Birokrasi Sipil

Fenomena pertama yang menandai kembalinya militerisme adalah militerisasi birokrasi sipil. Banyak jabatan strategis di lembaga pemerintahan seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BNPB, BIN, hingga Kementerian Pertahanan kini diisi oleh purnawirawan atau bahkan perwira aktif TNI. Kondisi ini menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma dari civilian professionalism menuju bureaucratic militarism, di mana logika komando militer dan nilai-nilai kedisiplinan hierarkis menggantikan mekanisme akuntabilitas publik dalam birokrasi. Praktik ini mengaburkan garis batas antara ranah sipil dan militer, sekaligus menggerus esensi supremasi sipil yang menjadi prinsip utama demokrasi konstitusional.

2. Narasi Ideologis tentang “Ancaman Nasional”

Militerisme juga menguat melalui narasi ideologis tentang ancaman nasional yang diperluas secara konseptual. Pemerintah dan institusi pertahanan kerap menekankan ancaman nonmiliter seperti radikalisme, separatisme, disinformasi, dan ancaman siber sebagai justifikasi bagi pelibatan militer dalam urusan sipil. Padahal, isu-isu tersebut semestinya dikelola oleh lembaga sipil melalui instrumen hukum, pendidikan, dan diplomasi sosial. Ketika narasi ancaman dijadikan alat legitimasi bagi keterlibatan militer dalam ranah domestik, maka terjadi pergeseran fungsi pertahanan menjadi fungsi keamanan, yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat pemisahan domain sebagaimana diatur konstitusi.

3. Penyusupan Pola Komando dalam Tata Kelola Negara

Model komando vertikal khas militer mulai diterapkan dalam berbagai aspek tata kelola negara, seperti penanganan bencana, ketahanan pangan, ekonomi, hingga keamanan siber. Pendekatan top-down yang mengandalkan instruksi tunggal mengembalikan paradigma stabilitas politik di atas partisipasi rakyat, sebagaimana menjadi ciri khas pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas publik terpinggirkan oleh logika kedisiplinan dan loyalitas komando.

4. Revisi dan Rancangan Kebijakan

Selain faktor kultural dan struktural, repolitisasi militer juga diperkuat melalui wacana revisi peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Salah satu usulan revisi membuka peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun. Langkah ini berpotensi menjadi pintu masuk legal bagi re-militerisasi birokrasi, karena mengaburkan kembali batas antara domain pertahanan dan keamanan serta melemahkan prinsip objective civilian control sebagaimana digariskan oleh Huntington (1957).


D. Pemisahan Domain Pertahanan dan Keamanan dalam Konstitusi

Untuk memahami bahaya militerisme terhadap sistem ketatanegaraan, penting menegaskan kembali pemisahan domain pertahanan dan keamanan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang sektoral.

1. Domain Pertahanan – Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer maupun bersenjata. Pelibatan TNI dalam urusan nonpertahanan hanya dapat dilakukan melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan harus didasarkan pada keputusan politik negara. Artinya, kehadiran TNI dalam urusan internal bersifat exceptional dan harus mendapat legitimasi konstitusional yang jelas.

2. Domain Keamanan – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Sebaliknya, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memberikan mandat eksklusif kepada Polri untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi ini berada sepenuhnya dalam ranah keamanan sipil, bukan militer. Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam fungsi keamanan tanpa mekanisme politik negara merupakan pelanggaran terhadap desain konstitusional.

3. Prinsip Konstitusional: Supremasi Sipil dan Pembatasan Kekuasaan Militer

UUD 1945 hasil amandemen secara tegas memisahkan pertahanan dan keamanan dalam Pasal 30. TNI menjadi alat negara di bidang pertahanan, sedangkan Polri berperan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Pelibatan TNI dalam domain keamanan tanpa persetujuan politik negara tidak hanya menimbulkan distorsi konstitusional, tetapi juga mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi pilar utama demokrasi pasca-reformasi.


E. Analisis Empiris: Gejala Re-Militerisasi

1. Militerisasi Birokrasi Sipil (Empiris)

Fakta menunjukkan peningkatan jumlah purnawirawan TNI dalam jabatan sipil strategis. Hal ini memperkuat pola komando dalam birokrasi dan mengikis prinsip profesionalisme administrasi publik.

2. Tumpang Tindih Fungsi di Lapangan

Keterlibatan TNI dalam pengamanan pemilu, operasi keamanan daerah konflik, dan pengawasan distribusi logistik menandakan pergeseran fungsi dari pertahanan eksternal ke politik keamanan domestik.

3. Penyusupan Logika Keamanan Negara (State Security)

Logika stabilitas dan keamanan negara sering diutamakan dibanding kebebasan sipil. Kondisi ini menggeser demokrasi Indonesia menuju model defensive democracy - yaitu demokrasi yang menoleransi pembatasan hak-hak sipil atas nama keamanan.

F. Pola Kembalinya Orde Baru (Neo-Orba) dan Dinamika Militerisme Administratif

Dua dekade pasca-Reformasi 1998, militerisme di Indonesia tidak lagi hadir secara eksplisit melalui kekuasaan politik formal, tetapi melalui bentuk baru yang disebut militerisme administratif — yaitu dominasi militer dalam ranah birokrasi, kebijakan, dan keamanan dalam negeri melalui legitimasi hukum dan ideologis. Fenomena ini menunjukkan munculnya pola Neo-Orba, yaitu reinkarnasi sistem lama dalam wajah baru demokrasi prosedural.

Pola Kembalinya Orde Baru (Neo-Orba)

1. Militerisasi Politik dan Keamanan Dalam Negeri

Pelibatan TNI dalam urusan nonpertahanan, seperti keamanan sosial, ekonomi, dan politik, memperluas fungsi militer di luar mandat konstitusi.

2. Kultus terhadap Stabilitas dan Pembangunan

Narasi stabilitas dan pembangunan dijadikan alasan utama untuk membenarkan peran militer dalam menjaga ketertiban sosial dan ekonomi.

3. Repolitisasi Aparat Keamanan dalam Politik

TNI secara struktural tidak lagi terlibat dalam politik praktis, namun pengaruhnya hadir melalui jejaring kekuasaan, jabatan sipil, dan dukungan terhadap agenda politik tertentu.

4. Pembatasan Kebebasan Sipil melalui Narasi Nasionalisme

Kritik terhadap kebijakan pertahanan atau keamanan sering diposisikan sebagai bentuk anti-nasionalisme. Narasi ini menghambat kebebasan akademik, kebebasan pers, dan oposisi politik.

5. Reproduksi Elite Militer dalam Jabatan Strategis Negara

Banyak jabatan sipil diisi oleh purnawirawan militer, menciptakan kembali hierarki kekuasaan yang berorientasi pada struktur komando ketimbang prinsip meritokrasi dan akuntabilitas publik.


G. Kembalinya Militerisme Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Analisis Teori Bekerjanya Hukum Chambliss & Seidman terhadap Dinamika Kekuatan Sosial-Personal (KSP) dan Sistem Keamanan Nasional)

Kecenderungan kembalinya militerisme dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui analisis teori bekerjanya hukum Chambliss dan Seidman. Fenomena keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dan kebijakan publik menunjukkan adanya kekuatan sosial-personal (KSP) yang bekerja di balik pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum. Dalam konteks sistem keamanan nasional, domain keamanan sejatinya menjadi tanggung jawab Polri, sedangkan TNI berfungsi dalam pertahanan negara. Namun, pergeseran struktur kekuasaan dan lemahnya pengawasan sipil menyebabkan tumpang tindih yang mengancam demokratisasi dan supremasi hukum. Dengan pendekatan hukum progresif Satjipto Rahardjo serta teori sistem Jimly Asshiddiqie, tulisan ini

menawarkan rekonstruksi sistem keamanan nasional yang demokratis, profesional, dan berkeadilan sosial.

1. Tinjauan Teoretis: Teori Bekerjanya Hukum Chambliss & Seidman

Chambliss dan Seidman menjelaskan bahwa hukum bekerja dalam tiga lapis relasi:

a. Pembuat kebijakan (lawmakers)

b. Pelaksana (law enforcers)

c. Pihak yang terkena akibat hukum (subjects of law)

Interaksi di antara ketiganya tidak bersifat netral, karena hukum dipengaruhi oleh kekuatan sosial-personal (KSP) yang berperan dalam pembentukan dan penerapan hukum.

Menurut mereka, hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan politik. Kebijakan hukum tertentu lahir dari pertarungan kepentingan antara kelompok dominan dan subordinat. Dalam konteks Indonesia, relasi ini tampak pada bagaimana elite militer dan sipil bernegosiasi atas tafsir keamanan nasional yang menjadi dasar legitimasi campur tangan militer di ranah sipil.

Chambliss dan Seidman juga menegaskan bahwa efektivitas hukum bergantung pada keseimbangan antara kekuatan formal (negara) dan kekuatan sosial (masyarakat). Ketika kekuatan sosial-politik tertentu mendominasi proses hukum, hukum kehilangan fungsi keadilannya dan berubah menjadi alat kekuasaan.

2. Analisis Normatif: Kembalinya Militerisme dan Relasi TNI–Polri

Dalam sistem hukum Indonesia, pemisahan peran TNI dan Polri telah ditegaskan dalam:

a. Pasal 30 ayat (2) UUD 1945: TNI bertugas dalam pertahanan negara.

b. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945: Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

c. UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Secara normatif, struktur ini sudah jelas. Namun, realitas empiris menunjukkan praktik yang berlawanan. Beberapa kebijakan dan penugasan TNI di wilayah sipil-seperti penempatan perwira aktif di kementerian atau lembaga pemerintah nonmiliter-memperlihatkan kemunduran dalam prinsip supremasi sipil.

Menurut Bagir Manan, demokrasi konstitusional menuntut adanya pembagian fungsi yang tegas antara sipil dan militer sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan negara agar tidak terpusat pada satu entitas kekuatan

Ketika militer kembali masuk dalam ranah politik dan pemerintahan, maka terjadi distorsi dalam sistem checks and balances.

Sementara Bivitri Susanti menilai fenomena ini sebagai bentuk soft militarism-infiltrasi halus melalui legalisasi jabatan strategis yang perlahan mengikis batas sipil dan militer.

3. Analisis Kekuatan Sosial-Personal (KSP) dalam Pembentukan Kebijakan

Dalam kerangka teori Chambliss & Seidman, kebijakan yang membuka ruang bagi militer di jabatan sipil merupakan hasil interaksi antara aktor negara, elite politik, dan kepentingan ekonomi serta ideologis:

a. Kekuatan politik: Ketergantungan pemerintah pada dukungan stabilitas keamanan yang disimbolkan oleh TNI.

b. Kekuatan ekonomi: Hubungan patronase antara bisnis dan militer pasca-reformasi yang belum sepenuhnya terputus.

c. Kekuatan ideologis: Narasi nasionalisme dan stabilitas yang digunakan untuk membenarkan keterlibatan TNI dalam “pembangunan nasional.”

Ketiga faktor ini menunjukkan bahwa hukum dan kebijakan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh prinsip normatif, melainkan oleh personal-social forces yang menjaga status quo kekuasaan.

4. Perspektif Hukum Progresif dan Demokratisasi

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bekerja untuk manusia, bukan manusia tunduk kepada hukum. Dalam konteks ini, penegasan batas antara domain keamanan (Polri) dan pertahanan (TNI) bukan hanya soal administratif, tetapi bagian dari perjuangan menjaga kemanusiaan dalam hukum.

Jimly Asshiddiqie menekankan bahwa demokrasi modern membutuhkan kontrol sipil atas militer sebagai bentuk civil supremacy.

Sedangkan Bagir Manan menegaskan bahwa kedaulatan rakyat hanya dapat terwujud jika fungsi militer berada di bawah otoritas politik sipil yang kuat.

Dengan perspektif hukum progresif, mempertahankan supremasi sipil atas militer bukanlah bentuk anti-militerisme, tetapi mekanisme untuk memastikan hukum bekerja sesuai nilai keadilan sosial dan prinsip rechtsstaat.

5. Rekonstruksi Kebijakan Sistem Keamanan Nasional

Pembentukan Sistem Keamanan Nasional (Siskamnas) idealnya menegaskan bahwa:

a. Domain keamanan adalah tanggung jawab Polri sebagai aparat penegak hukum sipil.

b. TNI hanya berperan dalam pertahanan negara, kecuali dalam keadaan darurat sesuai keputusan politik negara.

c. Koordinasi antar lembaga dilakukan di bawah kendali sipil melalui Dewan Keamanan Nasional yang bersifat koordinatif, bukan militeristik.

d. Revisi UU TNI dan RUU Keamanan Nasional harus mengembalikan semangat Reformasi 1998: profesionalisme, non-politik, dan supremasi sipil.

Rekonstruksi ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo bahwa hukum harus terus diperbaharui agar tetap berpihak kepada manusia, bukan pada struktur kekuasaan.


H. Implikasi terhadap Demokrasi

1. Erosi Check and Balance antar Lembaga Negara

Ketika militer memperoleh peran yang terlalu besar dalam birokrasi, keseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi terganggu.

2. Melemahnya Masyarakat Sipil dan Kampus sebagai Agen Kontrol Sosial

Ketergantungan negara pada militer melemahkan peran masyarakat sipil, lembaga riset, dan kampus sebagai ruang kritik dan inovasi kebijakan publik.

3. Krisis Akuntabilitas Pertahanan

Ketiadaan mekanisme kontrol politik terbuka membuat keputusan pertahanan sulit diawasi secara transparan, sehingga membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.

4. Demokrasi Prosedural tanpa Substansi

Ketika kebijakan publik lebih dikendalikan oleh struktur komando, partisipasi rakyat hanya menjadi formalitas. Demokrasi yang terbentuk adalah fragile democracy-demokrasi yang rapuh oleh nostalgia stabilitas ala Orde Baru.


I. Rekonstruksi dan Rekomendasi Kebijakan

Kondisi di atas menegaskan pentingnya rekonstruksi sistem keamanan nasional agar sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional dan supremasi sipil. Upaya ini menuntut langkah-langkah konkret, baik secara kelembagaan maupun normatif.

1. Penegasan Kembali Supremasi Sipil dalam Sistem Keamanan Nasional

Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan pertahanan dan keamanan tetap berada di bawah kendali otoritas sipil melalui mekanisme politik negara.

2. Revisi UU TNI dan UU Polri

Revisi dilakukan untuk memperjelas batas operasional antara domain pertahanan (TNI) dan keamanan dalam negeri (Polri), serta mencegah tumpang tindih kewenangan.

3. Evaluasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

OMSP tidak boleh dijadikan alat justifikasi perluasan fungsi militer. Keterlibatan TNI harus bersifat exceptional dan melalui keputusan politik negara.

4. Penguatan Fungsi Pengawasan Parlemen dan Masyarakat Sipil

DPR dan lembaga pengawas independen perlu memiliki akses kontrol terhadap anggaran, operasi, dan kebijakan pertahanan.

5. Pengembangan Sistem Keamanan Berbasis Masyarakat (Community Policing)

Konsep community policing perlu diperkuat untuk menegaskan bahwa keamanan sipil merupakan urusan warga negara dan aparat kepolisian, bukan militer.

6. Revitalisasi Pendidikan Politik dan Kesadaran Warga Negara

Pendidikan politik publik harus diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran tentang peran sipil dalam menjaga demokrasi dan mengontrol kekuasaan militer.

7. Penataan Ulang Doktrin Pertahanan Negara

Doktrin pertahanan harus menegaskan kembali prinsip defensif-aktif dan tidak mencakup keamanan internal yang menjadi domain Polri.


J. Kesimpulan

Kecenderungan pelibatan TNI dalam domain keamanan dalam negeri menunjukkan kembalinya pola militerisme dalam bentuk baru, yaitu militerisme administratif. Fenomena ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia masih berada pada tahap fragile democracy — demokrasi yang rapuh oleh godaan stabilitas dan ketertiban ala Orde Baru. Keterlibatan militer dalam ruang-ruang sipil bukan sekadar pelanggaran norma konstitusional, melainkan juga cerminan dari interaksi kekuatan sosial-personal (social-personal power) sebagaimana dijelaskan oleh Chambliss & Seidman, di mana hukum sering kali dikendalikan oleh kepentingan politik dan ideologis sehingga kehilangan fungsi keadilannya.

Untuk menjaga arah demokrasi dan menegakkan supremasi hukum, perlu ditegaskan kembali bahwa:

1. Pertahanan merupakan domain TNI;

2. Keamanan merupakan domain Polri;

3. Keduanya harus tunduk pada otoritas sipil dan kontrol politik demokratis.

Tanpa pembatasan yang tegas, demokrasi Indonesia berisiko kehilangan substansinya dan terperangkap kembali dalam model stabilitas semu Orde Baru, di mana rakyat hanya menjadi objek keamanan, bukan subjek yang berdaulat dalam menentukan arah kebijakan nasional.

Rekonstruksi sistem keamanan nasional yang ideal harus menempatkan Polri sebagai pengendali keamanan dalam negeri, TNI dalam fungsi pertahanan negara, serta menjamin adanya kontrol sipil yang kuat. Dengan pendekatan hukum progresif, sistem ketatanegaraan Indonesia dapat diarahkan kembali pada cita-cita reformasi: menciptakan tata negara yang demokratis, profesional, dan berkeadilan sosial.


Daftar Pustaka

1. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

2. Bivitri Susanti, “Militerisme Halus dalam Demokrasi Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Vol. 17 No. 2, 2020.

3. Dahl, Robert A. Polyarchy: Participation and Opposition. Yale University Press, 1971.

4. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Ed. Quentin Hoare & Geoffrey Nowell Smith. Lawrence & Wishart, 1971. Stanford Encyclopedia of Philosophy

5. Huntington, Samuel P. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Belknap Press of Harvard University Press, 1957.

6. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

7. Kurniati. “Sistem Politik Demokrasi dalam Bias Hegemoni Negara: Telaah Gagasan Politik Antonio Gramsci.” Al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, Vol. 7, No. 2, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2022. UIN Alauddin Journal+1

8. Purnomo, H., & Handoko, W. Restoratif justice pada tataran teoritik dan praktis di Indonesia.

9. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jakarta: Kompas, 2009.

10. Siswati, Endah. “Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci.” Translitera: Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media, Vol. 5, No. 1, Universitas Sablag Blitar, 2017.

11. William J. Chambliss and Robert B. Seidman, Law, Order, and Power, Reading: Addison-Wesley, 1971.

12. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

14. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar