ABSTRAK
Tanah dalam kehidupan bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga filosofis dan spiritual. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat keyakinan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, hak manusia atas tanah bukanlah hasil pemberian negara, melainkan hak kodrati yang melekat pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan dasar filosofis hak kodrati atas tanah serta relevansinya dalam pembentukan hukum agraria nasional, khususnya dalam kaitannya dengan konsep hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA 1960. Pendekatan yang digunakan adalah normatif-filosofis dengan analisis terhadap asas, pasal, dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber hukum agraria. Hasil kajian menunjukkan bahwa hak kodrati atas tanah menjadi fondasi moral dan ideologis hukum agraria Indonesia yang menempatkan tanah sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan rakyat.
Kata kunci: Hak kodrati, hukum agraria, UUPA 1960, hak menguasai negara, keadilan sosial.
1. PENDAHULUAN
Tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan manusia. Ia menjadi tempat berpijak, sumber pangan, ruang tempat tinggal, dan bagian dari identitas sosial-budaya manusia Indonesia. Dalam pandangan hukum agraria nasional, tanah bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga karunia Ilahi yang memiliki fungsi sosial dan spiritual.
Pandangan ini berakar dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bahwa negara Indonesia dibentuk untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian, keberadaan tanah tidak dapat dipisahkan dari hak hidup manusia yang dijamin oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dari sudut pandang filsafat hukum, hak manusia atas tanah dapat dipahami sebagai hak kodrati (natural right), yaitu hak yang melekat pada manusia karena kodratnya sebagai makhluk Tuhan. Hak ini mendahului dan melampaui hukum positif. Negara hanya berperan sebagai pengaku dan pengatur agar hak tersebut dapat terwujud secara adil.
Dalam konteks hukum agraria nasional, gagasan hak kodrati atas tanah menjadi landasan moral dan filosofis bagi hak menguasai negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
2. LANDASAN FILOSOFIS DALAM PEMBUKAAN UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 memuat nilai dasar yang menegaskan bahwa:
> “Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa... dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan...”
serta
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia...”
Frasa “seluruh tumpah darah Indonesia” secara filosofis mencerminkan hubungan kodrati antara manusia dan tanah airnya. Tanah menjadi simbol kehidupan bersama yang dianugerahkan Tuhan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, hak manusia atas tanah bukanlah hasil dari peraturan negara semata, melainkan bentuk pengakuan terhadap hak hidup dan keberlangsungan manusia. Hal ini menjadikan tanah sebagai karunia Tuhan yang memiliki fungsi sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia: sandang, pangan, dan papan.
Secara konstitusional, Pembukaan UUD 1945 menjadi sumber nilai bagi pasal-pasal dalam batang tubuhnya, terutama Pasal 33 ayat (3) yang mengatur penguasaan negara atas bumi dan air.
3. HAK KODRATI DAN HAK MENGUASAI NEGARA
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
> “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ketentuan ini bukanlah bentuk legitimasi kepemilikan negara, tetapi delegasi kewenangan rakyat kepada negara sebagai pengemban amanat Tuhan. Negara diberi mandat untuk mengatur pemanfaatan tanah agar tidak terjadi monopoli dan penindasan terhadap hak-hak dasar manusia.
Dengan demikian, hak menguasai negara merupakan manifestasi dari hak kodrati manusia atas tanah dalam bentuk kelembagaan hukum. Negara berperan mengatur, mengurus, dan melindungi agar tanah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Analisis Relasional
Aspek Hak Kodrati Hak Menguasai Negara
Sumber Karunia Tuhan, melekat pada manusia
Mandat rakyat
kepada negara
Hakikat Hak alami untuk hidup dan menguasai sumber kehidupan
Kewenangan
untuk mengatur agar hak kodrati berjalan adil
Tujuan Pemenuhan hak hidup
Keadilan sosial dan kesejahteraan
umum
Dengan demikian, hak menguasai negara bukan pembatas, melainkan instrumen perlindungan terhadap hak kodrati manusia atas tanah.
4. HAK KODRATI DALAM KERANGKA UUPA 1960
UUPA 1960 menegaskan bahwa tanah, air, dan ruang angkasa adalah satu kesatuan yang menjadi karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia. Prinsip ini diwujudkan dalam beberapa asas pokok hukum agraria:
1. Asas Kebangsaan (Pasal 1 UUPA)
Seluruh bumi dan air berada dalam kekuasaan bangsa Indonesia
sebagai satu kesatuan. Ini merupakan penegasan terhadap hak kodrati kolektif
bangsa Indonesia atas tanah airnya.
2. Asas Fungsi Sosial (Pasal 6 UUPA)
Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Hal ini berarti
hak kodrati individu harus diseimbangkan dengan kepentingan masyarakat.
3. Asas Keadilan Sosial (Pasal 7–17 UUPA)
UUPA mengatur pembatasan luas tanah dan redistribusi tanah
guna menjamin pemerataan penguasaan tanah bagi rakyat kecil.
Dengan asas-asas tersebut, UUPA menginstitusionalisasikan hak kodrati ke dalam hukum positif untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam Pancasila.
5. PANDANGAN PROGRESIF WIDHI HANDOKO
Dalam buku Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Widhi Handoko menegaskan bahwa hukum pertanahan Indonesia harus dikembalikan pada hakikat kemanusiaannya. Ia berpandangan bahwa tanah merupakan hak hidup alami manusia yang tidak boleh tereduksi oleh mekanisme pasar atau birokrasi hukum semata.
Menurut Handoko:
> “Hukum pertanahan tidak boleh berhenti pada kepastian formal, tetapi harus mampu memberikan keadilan substantif bagi rakyat yang hidup dari tanah.”
Pandangan ini selaras dengan konsep hak kodrati, di mana hak atas tanah dipandang sebagai hak alami untuk hidup layak. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap tanah sebagai sumber kehidupan.
Pendekatan hukum progresif menempatkan hukum bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai sarana pembebasan manusia dari ketidakadilan struktural. Dalam konteks agraria, keadilan progresif berarti mengembalikan hak rakyat atas tanah sebagai hak kodrati yang harus dijamin negara.
6. HAK KODRATI DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
Nilai-nilai Pancasila memperkuat dasar filosofis hak kodrati atas tanah:
1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Tanah adalah karunia Tuhan; penguasaannya harus mencerminkan
rasa syukur dan tanggung jawab moral terhadap ciptaan-Nya.
2. Sila Kedua dan Kelima: Kemanusiaan dan Keadilan Sosial
Setiap manusia berhak hidup layak; karenanya penguasaan
tanah harus adil, tidak menindas, dan menjamin kesejahteraan bersama.
3. Sila Ketiga dan Keempat: Persatuan dan Kerakyatan
Tanah tidak boleh memecah kesatuan bangsa; pengaturannya
harus melibatkan partisipasi rakyat sebagai pemegang hak kodrati kolektif.
Dengan demikian, hak kodrati atas tanah adalah pengejawantahan langsung dari nilai-nilai Pancasila, terutama sila Ketuhanan dan Keadilan Sosial.
7. IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN AGRARIA
Konsepsi hak kodrati atas tanah menuntut agar kebijakan agraria diarahkan pada:
1. Reforma Agraria yang Berkeadilan. Redistribusi tanah kepada rakyat kecil merupakan implementasi langsung dari hak kodrati.
2. Pembatasan Kepemilikan Tanah. Untuk mencegah ketimpangan dan monopoli tanah.
3. Pengakuan Hak Adat. Karena hukum adat merefleksikan hak kodrati komunal yang tumbuh dari hubungan manusia dengan tanah secara spiritual.
4. Pembangunan Berkelanjutan. Hak kodrati mencakup kewajiban menjaga kelestarian lingkungan agar generasi berikutnya tetap memperoleh hak hidup yang sama.
8. PENUTUP
Hak kodrati atas tanah merupakan dasar filosofis hukum agraria nasional yang berpijak pada keyakinan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk seluruh umat manusia. Negara hadir bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai pengatur dan pelindung agar hak kodrati setiap warga negara dapat terwujud secara adil.
Melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA 1960, hak kodrati tersebut diinstitusionalisasikan dalam bentuk hak menguasai negara, yang berfungsi menjamin kemakmuran rakyat dan menegakkan fungsi sosial tanah.
Pemikiran progresif, sebagaimana dikemukakan oleh Widhi
Handoko, memperkuat pandangan bahwa hukum agraria harus berpihak kepada
manusia, bukan sebaliknya.
Dengan demikian, hak kodrati atas tanah adalah jiwa dari hukum agraria nasional Indonesia — sebuah panggilan etis untuk mewujudkan keadilan sosial yang berlandaskan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial dalam Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3. Handoko, Widhi. Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif. Malang: Universitas Widyagama, 2019.
4. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2003.
5. Bakri, Muhammad. Hak Menguasai Tanah oleh Negara dan Implementasinya dalam Otonomi Daerah. Malang: UB Press, 2012.
6. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam, 2002.
7. Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2018.
8. Notonagoro. Pancasila: Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1975.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar