 |
Refki Ridwan, SH, MBA, SpN Notaris dan PPAT Jakarta Utara Akademisi |
“Tanggal 1 Juli, INI berusia 117
tahun, suatu usia yang luar biasa. INI lebih dulu lahir dari pada negara ini. INI,
kumpulan berbadan hukum, berbeda dengan organisasi lain. Anggotanya, para Notaris
dan Calon Notaris bergelar S2, minimal MKn. Organisasi lain, mungkin hanya S1
atau S2, Notaris sudah ada yang S3, bahkan bergelar professor.
Mudah-mudahan, di usia 117
tahun ini, jadi titik awal bagi seluruh anggota, pengurus di tingkat Pengda, Pengwil,
dan Pusat untuk mem-flashback. Kilas balik apa sebenarnya yang jadi masalah
utama dalam organisasi, dan perbedaan pendapat harus hasilkan hal positif. Di
117 tahun ini, kita mulai kebersamaan dengan saling hormat, saling cinta,
bagaikan keluarga bersama.
Melihat permasalahan dalam
tubuh INI yang tak kunjung selesai, itu dilihat dari cara pandang mana dan dari
posisi siapa menerjemahkannya. Saya kira, misalkan dari sisi sayap kiri, akan
menyatakan “oh saya taat saja, sudah ikut dengan statuta kita.” Dan, begitu
juga dari sisi sayap kanan, akan bilang begitu.
Kenapa? Karena esensinya berorganisasi,
apalagi jadi pengurus. Semangatnya adalah pengabdian, bukan kekuasaan. Apalagi kalau
orientasi berorganisasi itu, ke arah materi (finansial), itu salah. Harusnya, untuk
pengembangan keilmuan, menjadi ikatan bernuansa kekeluargaan, itu yang benar.
Organisasi, statutanya itu adalah
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan INI sudah 3 (tiga)
kali perubahan terhadap AD. Pertama tahun 2005 di Bandung, perubahannya cukup
signifikan. Kenapa? Tahun 2005 dilaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB), karena tahun
2004 lahir pertama kali UU No.30 Tahun 2004. Setahun kemudian, KLB untuk
menyesuaikan AD dengan UUJN.
Kemudian Kongres 2006 di
Jakarta, ada sedikit perubahan AD INI, tapi tidak signifikan, hanya sebatas tata
bahasa, nomenklatur dan lain sebagainya, tidak signifikan. Dan terakhir, ketika
Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan gugatan masyarakat, sehingga terjadi
kekosongan hukum. Lalu, diusulkan untuk adanya perubahan UUJN, lahirlah UU No.2
Tahun 2014, perubahan atas UU No.30 Tahun 2004.
Tahun 2014 dan setahun
kemudian tahun 2015, dilaksanakan KLB, untuk apa? Menyesuaikan seluruh AD INI,
harus seiring, sejalan, dan mampu mengakomodir keinginan dari UUJN No.2 Tahun
2014. Nah, sampai hari ini, di tahun 2025, belum pernah ada perubahan AD, ART
dan Kode Etik Notaris (KEN) INI. Ukurannya itu, bukan hanya perubahan UU, tapi lebih
kepada sesuatu yang harus diatur.
Berangkat dari fenomena yang
terjadi dan berbagai permasalahan hukum terkait bidang kenotariatan, kemudian dapat
juga untuk penyesuaian dengan kondisi yang ada. Regulasi pemerintahan banyak
perubahan, misalnya regulasi IT, UU ITE.
Perubahan
AD dan Kode Etik Notaris Harus di Kongres/KLB
Permasalahan terkait mekanisme
pengambil keputusan di organisasi, misalnya, perubahan tentang sistim pemilihan.
AD INI masih mengatur kehadiran fisik. Itu harus dipatuhi dan harus diikuti, tidak
bisa dibuatkan alasan karena sementara aturannya belum diubah. Itu berarti melanggar
aturan. Perubahan sangat diperlukan, seharusnya di 2018/2019, saat periode PP INI
berakhir. Karena mekanisme perubahan AD harus melalui Kongres atau KLB, termasuk
Kode Etik.
Fenomena saat ini, baik dampak
dari Kongres, Konferwil maupun Konferda, kekuasaan Ketua Umum sangat mendominasi.
Saking dominannya kekuasaan Pengurus Pusat (PP), sehingga tidak mampu
mengakomodir dan tujuan tentang kedaulatan anggota itu tidak terealisasi.
Berbagai mekanisme pengambil
keputusan dan hak-hak, misalnya, seperti keilmuan dan lain sebagainya, harusnya
didapatkan oleh anggota. Jadi, kalau menurut saya, perlu dibicarakan tentang
perubahan regulasi, tetapi tidak bisa juga dilakukan secara mendadak. Karena
kondisi INI, terutama organisasi INI saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Berbeda dengan IPPAT, PP IPPAT
periode pertama, hasil Lombok dengan berbagai perdebatannya, tetap solid dan akhirnya
tetap bertahan. Periode kedua, terlihatkan bagaimana DR. H. Hapendi Harahap,
SH, SpN, MH, mampu mempertahankan jabatan selaku Ketua Umum, untuk kedua
kalinya.
Sejauh ini, apakah ada permasalahan
di IPPAT, baik di tingkat pusat, di tingkat wilayah atau di tingkat daerah, kan
tidak ada. Inilah kemampuan Ketum PP IPPAT untuk me-manage, melakukan tata kelola
organisasi. Berbeda dengan INI, kalau dibilang baik-baik saja, tapi faktanya kan
tidak terjadi.
Surat Keputusan Menteri Hukum Tak Jadi
Ukuran
Surat Keputusan (SK) tak jadi
ukuran. Coba kembalikan sesuai dengan tujuan dari organisasi, baca lagi AD tahun
2017, Pasal 7 dan Pasal 8. Menurut saya, saat ini sudah terjadi pergeseran, dan
pergeserannya cukup signifikan. Lihat kondisi saat ini, apakah anggota di daerah
merasa hak-haknya terpenuhi dengan adanya organisasi? Masih banyak yang tidak,
hak anggota, bukan hanya Notaris mapan saja, tidak.
Tetapi, anggota terdiri dari Anggota
Luar Biasa (ALB) atau calon-calon Notaris, Apakah mereka sudah merasa terpenuhi
hak-haknya dan terakomodir. Apakah cita-citanya jadi Notaris, sesuai yang diharapkan?
Memang benar, aturannya sudah ada. Apakah mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada di organisasi? Saya kira tidak.
Permasalahan dipicu, ya kalau saya
sebut, arogansi dari orang per orang (oknum), berebut kekuasaan dengan didukung
sekelompok kawan-kawannya. Jadi, berebut kekuasaan, faktanya begitu, dan tidak
terlihat demi pengabdian.
Pasti ada yang bilang, “Ah, Bang
Eki asal ngomong aja, tidak bikin solusi”. Solusinya bagaimana? Kita harusnya
duduk bersama dan jangan duduk hanya diantara kelompok-kelompok pendukung saja,
“Asal Bapak Senang”.
Bukan begitu, tapi dengarkan, termasuk
dari kelompok akademisi, werda Notaris, para calon-calon Notaris, dan para Notaris
dari berbagai daerah yang latar belakangnya berbeda-beda. Jadi menurut saya,
solusinya adalah tata kelola organisasi harus dilakukan penyempurnaan. Kita
ubah AD, ART dan Kode Etik Notaris, tapi kalau mekanismenya tetap seperti sekarang,
percuma. Kenapa? Karena akan kembali ke sentralisasi.
Baik-Baik
Saja, Bagi Sekelompok Orang
INI, tidak boleh kita bilang ‘Kami
baik-baik saja’. Kalian memang baik-baik saja, hanya sekelompok orang. Sebagian
besar kan tidak, sebagian besar itu jadi korban. Kita bicara tentang kekisruhan,
penyebabnya kita udah tahu, dari periode 2019 - 2022, itu adalah pemicu. Kita boleh
berdebat dan berdiskusi, mulai dengan tidak taat periodesasi. Istilahnya dulu ‘bernafas
diluar badan’, diberikan kepada sesuatu yang bukan menjadi kewenangannya.
Dari kesalahan itu, dampaknya
sampai ke masa depan, misalnya, tidak taat periodesasi. Kedua, memindahkan
tempat penyelenggaraan kongres. Jelas-jelas sudah diatur dalam AD/ART INI,
sudah diputuskan, namun secara sepihak dipindahkan ke Bali. Karena yang mengusulkan
tidak punya kapasitas. Apa disebutkan dalam ART INI, tidak ada sama saja.
Sistim pemilihan, pertama di
Cilegon, coba bayangkan dan saya sebut korban. Sampai sekarang, terbayar tidak,
bagaimana susahnya pengorbanan anggota untuk hadir. Sudah bayar hotel, bayar
transportasi. Belum lagi kontribusi, ditambah lagi masalah waktu. Mana
pertanggung jawabannya, sudah jelas, dan akhirnya terbukti.
Kementerian sendiri, merasa
dibohongi, usai mendapat masukan dari Polda. Hal itu memang sudah ada niat yang
salah, kenapa tidak di Jakarta. Meskipun seluruh menyetujui, namun harus tetap
konsisten, Jawa Barat. Lalu, sistim pemilihan dan seterusnya. Langsung menyatakan,
itulah yang sah, kan aneh.
Pasal 43 tentang RP3YD, kewenangan
bertindak dalam pengambilan keputusan, harus bener-bener dikembalikan
kedaulatan kepada anggota. Tidak dipusat, tapi ada di daerah. Sekarang faktanya,
daerah itu tidak mendapatkan manfaat dari berorganisasi, saya konkrit saja.
Bisa saja membantah, “Bang
Eki mah asal ngomong”. Sekarang kita bicara, ada kewenangan-kewenangan yang
strategis dimiliki PP tapi tidak punya dampak terhadap kawan-kawan yang ada di
daerah. Hal kecil saja, sistim administrasi. Urusan administrasi, Dari 240 lebih
Pengda di Indonesia, apakah ada sekitar 10% punya sekretariat permanen yang representatif,
kan tidak.
Sementara uang yang diambil,
mulai uang pangkal, kegiatan-kegiatan strategis, semua diambil PP. Kembali lagi,
‘uang junior untuk memfasilitasi senior’. Bangun sekretariat bertingkat-tingkat,
padahal seharusnya uangnya kan bisa memfasilitasi pembelian sekretariat 240 lebih
Pengda.
Jika setiap Pengda punya secretariat,
ALB bisa mendapatkan berbagai informasi, bisa untuk tempat penyelenggaraan
Magang Bersama (Maber). Lalu narasumber, bisa diambil pematerinya dari Pengwil,
dengan biaya semurah-murahnya. Selain itu, aktifitas rutin ada di sekretariat, surat
keluar, surat masuk, dan termasuk penyelenggaraan dalam spot kecil, itu bisa rutin.
Berganti Ketua Pengda, sekretariatnya tidak berubah.
Saat ini, Ketua Pengda
terpilih, pindah secretariat. Akibatnya, data-data tidak bisa dipertanggung-jawabkan.
Misalnya, Jakarta Utara, jumlah Notaris, 120 orang, datanya mana? Sama ketua
yang lama, sama Ketua sebelumnya.
Seharusnya dijalankan sejak
2018, 2019, sampai 2022, apakah itu bisa? Sangat bisa. Kenapa? Sebelum adanya Kartu
Tanda Anggota (KTA), memungut iuran wajib. Kawan-kawan senior, selalu bilang, “aduh
saya setengah mati, kita kayak ngemis-ngemis, tidak ada yang mau bayar iuran
uang wajib”.
Dulu, banyak anggota malas
ikut kegiatan, “aduh males ah ikut kegiatan, nanti ditagih, belum bayar 2 tahun”.
Harusnya setiap kegiatan dilaksanakan organisasi, para anggota bergembira ria. Karena
akan bertemu sesama rekan Notaris, silaturahim. Mendapatkan ilmu dari diskusi,
dan seterusnya.
Makanya, periode 2016, seharusnya
dibangkitkan bagaimana para anggota merasa dimiliki terhadap organisasi dan bangga
berorganisasi. Seharusnya masuk dari titik yang ada di paling bawah, Pengda-Pengda.
Maka regulasi yang harus
diubah, pertama Pasal 10 AD, tentang kelengkapan alat organisasi. Terdiri dari Rapat
Anggota, kemudian PP dan DKP, kemudian Mahkamah Perkumpulan. Kalau Pasal 11, tentang
PP terdiri dari satu orang Ketua Umum, harus tetep konsisten. Sekarang ada Wakil
Ketua Umum, itukan bertentangan dengan AD INI.
Kalau dibilang tidak mengerti,
saya tidak yakin, karena disana banyak para senior. Tapi, waktu saya tanya
orang per orang, “ko ini bisa begini”, jawabnya “ya habis gimana”,
itulah salah. Seharusnya, kalau sudah tahu ada sesuatu yang salah, sampaikan
kalau itu salah. Ini kan tidak, “yah gimanalah”. Seorang Ketua Umum, harus
berani mengambil keputusan, “ini salah, tidak bisa”, tidak bisa cuma
senyum-senyum dan “haha-hihi”, tidak bisa begiti, itu namanya bukan pemimpin.
Berikutnya tentang Dewan Kehormatan
(DK); DK di pusat dan Ketua Umum di pusat, itu dipilih oleh seluruh anggota melalui
Kongres, dan DKPini adalah tameng terakhir organisasi, dan jadi harapan seluruh
anggota. DKP terpilih melalui Kongres, dipilih oleh ribuan anggota Notaris. DKP
adalah sosok yang menjadi manusia setengah dewa, karena namanya DK di tingkat
pusat, sebelum menegakkan kode etik, ada fungsi pembinaan, fungsi pengawasan
dan fungsi penegakan, serta penjatuhan sanksi.
Berawal dari diri, harus taat
aturan. Saat ini, DKP, tiba-tiba di SK-an oleh PP INI, jadi Dewan Pengawas. “perkumpulan
kan harus ada pengawas”, betul, tapi tidak boleh dirangkap, karena aturannya
yang melarang. Coba baca ketentuan ART Pasal 57, kalau saya tidak salah, tidak
boleh jadi Pengurus, dari pusat sampai daerah, termasuk juga Dewan Penasehat,
yang dibentuk oleh PP.
Ini kesalahan, kenapa sih
membiarkan kesalahan satu terjadi, lanjut kesalahan kedua, terus kesalahan ketiga
dan terus dan terus. Kalau ada yang mengkritisi, dianggap “oh ini lawan”
“oh ini dia tidak diikut sertakan atau apa”, bukan itu, semua harusnya
diambil sesuatu yang positifnya.
Pengabdian dan Kedaulatan Anggota, Tidak Akan Terjadi
Jadi, bukan sistim pemilihan
pemilihannya yang salah, “one man one vote”, kalau dulu “one vote one
delegation” atau sistim perwakilan, saya kira sama saja. Terpenting itu, aturan
main sistemnya, dibuat harus dijalankan oleh orang yang konsisten, berintegritas
dan loyalitas. Bukan untuk kelompok atau bukan untuk orang per orang, tetapi
loyalitasnya kepada institusi.
Institusi punya aturan, jika diberi
kekuasaan dan kewenangan, dia harus tunjukan bentuk integritasnya. Betul-betul
niatnya pengabdian yang luhur, punya harkat dan punya martabat, bukan sebaliknya.
Saya berharap, jika ada perubahan AD atau ART, betul-betul dibuat dengan melibatkan
beberapa pihak.
Lakukan diskusi berkesinambungan,
sehingga semuanya kembali demi kepentingan anggota banyak. Kita mulai dengan
alat kelengkapan, Rapat Anggota, misalnya Kongres, Kongres memilih Ketua Umum
dan DKP, merubah AD, KEN, dan lain sebagainya. Ketua Umum dipilih, dia menjadi formatur
tunggal, dan lebih teknis diatur dalam ART.
Menurut saya, sudah layak
untuk diganti, tidak bisa formatur tunggal lagi. Apa yang terjadi selama ini, tidak
memenuhi kriteria. Seseorang tidak memenuhi kriteria, tapi dijadikan sebagai Pengurus
Pusat. Mengenai AKP, mungkin nanti kalau mau DKP disatukan Dengan Pengawas, cari
kanlah kalimat judul yang paling pas.
Terus menyusun komposisi
pengurus, harusnya sudah dibentuk formatur yang terdiri dari Perwakilan Keanggotaan.
Kalau formatur tunggal, seseorang tidak pernah aktif di Pengda, tidak pernah
aktif di Pengwil, langsung menjadi Pengurus Pusat dan berkantor juga tidak
pernah. Tapi, karena dia sudah diangkat menjadi PP, bisa perintah-perintah Ketua
Pengda dan Ketua Pengwil.
Padahal Ketua Pengda dan Ketua
Pengwil sudah tunggang langgang puluhan tahun di daerah, menata, mengelola, penuh
pengorbanan yang luar biasa untuk guyubnya organisasi di tingkat Kabupaten/Kota,
rusak diacak-acak oleh satu orang tersebut.
Nah, harusnya ada formatur
yang jumlahnya ganjil, katakanlah, formatur terdiri dari satu Ketua Umum
terpilih, kemudian kedua dari mantan Ketua Umum sebagai penghargaan, ketiga diambil
dari Indonesia misalnya ada dua orang dari Indonesia Tengah, Indonesia Barat,
dan Indonesia Timur, sehingga jumlahnya menjadi 9 atau 11.
Kemudian berikan waktu 30 hari,
misalnya, atau 1,5 bulan, untuk menyusun komposisi pengurus yang ada dengan kriteria
dan persyaratan untuk menjadi PP. Seharusnya tidak mudah untuk jadi PP, harus
ada jenjang. Dan, fakta ini sudah bertahun-tahun terjadi, kenapa ini terjadi? Kalau
yang lain bilang “ini kan sudah diputuskan didalam kongres dan semua setuju”.
Selain itu, pembatasan tentang
Ketua Umum harus diatur, misalnya, mengenai uang organisasi. Harusnya dibatasi,
misalnya, uang yang boleh dikeluarkan Ketua Umum itu maksimal 20 jt, tanpa
persetujuan dari siapapun, jadi cukup Ketua Umum, sekretaris dan bendahara, mereka
harus pertanggung jawabkan.
Kemudian, lebih dari 20 jt
sampai 250 jt, misalkan, harus melalui persetujuan Pengurus Harian. Siapa Pengurus
Harian? Ketua Umum, Ketua-Ketua Bidang, Sekretaris Umum sampai Bendahara. Kalau
lebih dari 250 jt sampai 500 jt, harus diputuskan melalui Rapat Pleno Pengurus Pusat
(RP3).
Kemudian, jika nilainya lebih
dari 500 jt, harus melalui Keputusan Kongres, karena berkaitan dengan asset, keuangan
yang besar, ini harus dikelola. Untuk apa? Menyelamatkan Ketua Umum, kalau Ketumnya
bilang “oh kita kan sudah pakai akuntan publik”, pertanyaannya misal,
tiba-tiba ketumnya bilang “eh saya mau beli pulpen mereknya monblank”, harganya,
misalnya 250 jt, padahal fungsinya sama kayak pilot yang harga Rp 3.000.
Layakkah Pembelian Gedung Sekretariat PP INI
Apakah layak kondisi saat ini,
para Pengda belum punya Sekretariat, tapi Ketua Umum, di sekretariat ada
ruangan khusus, ada ruangan khusus Seketaris Umum, ruangan khusus Bendahara Umum,
ada ruangan khusus rapat harian, ada ruang rapat pleno dan lainnya yang semua ber-AC
central dan penuh dengan barang mewah.
Saya tanya untuk apa? Berbagai
fasilitas dari uang junior (Anggota) untuk kepentingan mereka yang menganggap
dirinya senior, menurut saya, tidak layak, makanya harus ada pembatasan. Berikutnya
kegiatan-kegiatan yang berpotensi menghasilkan uang, semua didominasi oleh PP. Pengwil
tidak boleh membuat kegiatan serupa, karena sudah diatur oleh PP. Seharusnya
itu diatur oleh para anggota dengan berfikir waras dan jauh untuk kepentingan.
Dari dulu, sudah saya sampikan
PP harusnya lebih kepada tataran kebijakan dan hal-hal strategis yang prinsip,
contohnya, ada keinginan dari para anggota mengenai perpanjang masa usia
jabatan menjadi 70 tahun, ini strategis.
Strategis maksud saya
bagaimana? Coba persandingkan dari usia 65 tahun ke 67 tahun, dan dari 67 tahun
ke 70 tahun dengan jumlah calon-calon Notaris.
Apakah ini tidak boleh diakomodir? Boleh, tetapi kepentingan pihak lainnya juga
diakomodir. Bagaimana untuk mengakomodir? Bukan saja, misalnya, harus menjadi Notaris
ketika diangkat itu yang handal.
Ada proses pembinaan, proses
sosialisasi tentang regulasi dan seterusnya, serta permasalahan hukum. Contoh,
misalnya, dalam UUJN, ada ketentuan di Pasal 20 tentang persekutuan. Mengapa tidak
di sosialisasikan? Kenapa tidak dibuatkan satu aturan dengan bersama-sama? Jadi
tugas PP datangilah kementrian, bukan hanya Kementrian Hukum (Kemenkum), bukan
hanya Kementrian Pertanahan, bukan hanya Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Keuangan,
Koperasi, tapi semuanya harus dikunjungi.
Kembali lagi, Apa yang harus
dilakukan di usia 117 tahun? Duduk bersama demi tujuan organisasi, pemanfaatan
bagi para anggota. Semua didiskusikan, di catat, dirumuskan, carikan solusi. Satu,
dimulai dengan mekanisme pengambil keputusan, jadi kita harus membuat satu
sistem, misalnya, bicara tentang PP soal Ketua Umum, harus adanya pembatasan Ketua
Umum dalam mengambil keputusan, kemudian buatkan mekanisme.
Hasil-hasil dari Kongres harus
dilaksanakan sebagai Amanah Kongres, amanah yang harus dilaksanakan oleh Ketua Umum
sebagai formatur. Berikutnya ada mekanisme pengambil keputusan. Kedua, RP3YD (Rapat
Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas), ada pada diketentuan Pasal 43 ART. Salah
satunya, menyebutkan, bahwa RP3YD untuk mengevaluasi kinerja Ketua Umum.
Dulu, di Balik Papan, Januari
2017, selaku Kabid Organisasi, saya tekankan, bukan laporan Ketua Pengwil kepada
PP. Tetapi evaluasi para Pengwil terhadap kinerja Ketua Umum PP INI, apakah sudah
sejalan dengan Amanah Kongres atau tidak.
Contohnya seperti KLB, banyak Amanah
dari KLB, menurut saya sampai saat ini tidak dijalankan oleh Ketua Umumnya, misalnya,
seketariat. Terus konsolidasi, Ketua Umum harus mampu menyatukan yang bertikai.
Caranya, kalau tidak mampu Bersatu, jatuhkan sanksi, itu upaya terakhir.
Kepengurusan tunggal, walaupun
satu sudah dapat SK, bukan berarti selesai. Ternyata gugatan juga belum final,
terus kalau dia alasan tunggu aja sampai inkrah dari Mahkamah, bukan begitu
menurut saya. Datanglah atasi permasalahan pokoknya, anggota hanya ingin INI terpecah
belah. Jadi RP3YD harus jadi media, jadi sarana untuk mengevaluasi.
Jadi, siapapun yang punya
kewenangan kekuasaan, harus ada fungsi kontrol. Fungsi kontrolnya dimana? Pertama
di Kongres, kedua di RP3YD. Ada lagi kelemahan di RP3YD dalam mengambil
keputusan, dan ini harus diubah dan diatur mekanisme pengambil keputusan.
Batasi Hak Suara PP INI dalam RP3YD dan Kongres/KLB
Saat ini, RP3YD terdiri dari
seluruh PP, Perwakilan Pengwil, Perwakilan DKW, Perwakilan Pengda, dan Perwakilan
DKD. Kalau pusatnya ada 400 orang, terus Perwakilan Pengwil, Pengda, DKW dan DKD
hanya 100 orang, pasti kalah pada saat voting.
Seharusnya kalau masuk ke
mekanisme voting, PP INI dibatasi, kalau di Pengwil suaranya hanya tiga, PP INI,
katakanlah suaranya 15 saja jangan 300. Kalau tidak, tidak akan pernah tujuan
dari organisasi dalam pengabdian dan kedaulatan dikembalikan ke tangan anggota,
tidak akan pernah terjadi hanya kamuflase saja, hanya kepura-puraan saja.
Jadi, RP3YD harus diatur ulang,
termasuk juga Rapat Gabungan. Kenapa Rapat Gabungan? Di Rapat Babungan yang
terdiri dari Pengwil dan seluruh Pengda se-propinsi, harus mampu mengevaluasi
kinerja dari Ketua Pengwil. Ketua Pengwil tidak boleh semena-mena, misalnya,
ada perwakilan dari organisasi yang ditempatkan di MPW sebanyak tiga orang, dan
ada yang ditempatkan di MKNW sebanyak tiga orang, itu tidak melalui mekanisme berkaitan
dengan keanggotaan, tapi langsung ditunjuk secara orang per orangan.
Harus dipertanyakan saat Rapat
Gabungan dan pointnya apa? Ada efek di tingkat Rapat Gabungan di tingkat RP3YD,
kalau misalnya terjadi kesalahan, Ketua Umum bisa di makdzulkan. Maksudnya apa?
Bukan maksudnya untuk terjadinya kericuhan, tidak. Akan tetapi, supaya Ketua Umum,
benar-benar konsisten, tegak lurus, taat azas, taat AD/ART.
Jadi, jangan asal diusulkan begini,
ya saya begini. Sudah tahu itu salah, tetap dijalankan. Walaupun sekarang, media
social sudah semakin marak, jadi saksi tentang penyampaian sesuatu oleh anggota,
dan hal tersebut sulit dibendung dan dibatasi.
Kalau menurut saya belum
berjalan dengan benar, PP misalnya, terlalu mengelompokkan diri, seakan-akan kelompok
eksklusif dan tidak berbaur. Berbaurnya hanya dengan kelompok-kelompok, yang
mungkin bentuknya eksklusif juga.
Melakukan perubahan terhadap
hal yang sudah di atur dalam AD/ART, saat ini tidak membutuhkan waktu yang lama.
Sepanjang kawan-kawan itu punya kesamaan dan bisa saling memahami, kemudian
bersepakat mengembalikan kedaulatan ke tangan anggota. Lalu, ubah regulasinya,
buat sistem yang ada keseimbangan. Jadi Ketua Umum tidak mempunyai kekuasaan,
kewenangan yang super power, tetapi ada fungsi kontrol.
Lalu, dalam penyusunan juga
tidak hanya sendiri, harus bersama. Selain itu, harus dibatasi juga rangkap-rangkap
jabatan, saat ini sudah terlalu berlebihan. Saya melihat kawan-kawan itu prioritasnya
menjadi PP tanpa mengikuti sistem pengkadaran.
Walaupun organisai INI bukan
organisasi kader, tetapi untuk kesinambungan kaderisasi itu penting. Karena suksesnya
seorang pemimpin, pertama sukses konsulidasi organisasi, kedua sukses program
kerja organisasi, dan ketiga sukses periodeisasi organisasi.
Hal ini bertalian dengan kaderisasi
organisasi, kalau periodeisasi-nya sudah dilanggar-langgar. Lalu kadernya nanti
akan mentok terus, maka kedepan akan mencoba untuk mempertahankan habis-habisan.
Kalau sistem yang dibuat baik, siapapun yang melanggar sistem ada sanksinya. Maka
tidak akan diikuti oleh yang lain, dan dada efeik jeranya.
Saya menghimbau, di usia 117
tahun ini, jadikan momentum bagi kita dan bagi siapapun yang jadi bagian dari
INI, Apakah ALB, Anggota Biasa dan werda Notaris, serta para cipitas akademi di
bidang Studi Kenotariatan, saat ini jumlahnya sangat banyak harus ikut terlibat.
Kenapa saya bilang harus mulai dari cipitas akademi, karena merekalah yang
nanti akan memproduksi dan menghasilkan calon-calon Notaris dan PPAT.
Organisasi tidak boleh mengesampingkan
hal tersebut tapi harus jemput bola, alokasikanlah tim sehingga ada kesamaan
produk dari masing-masing Prodi-Prodi Swasta maupun Negeri. Walaupun masing-masing
Prodi sendiri-sendiri, tidak ada salahnya organisasi mengakomodir secara continyu
lebih menguatkan lagi.
Terus saya juga berharap
tolong hilangkan ego dan arogansi, karena jabatan ini hanya sesaat dengan catatan
harus kongres. TF juga saat ini masih menunggu keputusan dari Mahkamah Agung,
tapi melihat situasi seperti ini TF ataupun Irfan, seperti yang dikatakan rekan
Netty Sitompul mungkin bisa di pertimbangkan oleh kawan-kawan.
Supaya carilah sesuatu
yang baru, lebih segar, lebih bugar, dan lebih menjanjikan tentang kebersamaan.
Kalau masih juga dibawa dan diikutkan keduanya yang tertanam dalam diri
masing-masing, ini bukan kelompok saya, tidak akan pernah bisa bersatu. Jadi
carilah yang lebih Netral dan lebih tidak mempunyai kepentingan terhadap
arogansi, kekuasaan dan seterusnya,"