Rabu, 01 Oktober 2025

Inovasi Akses Hukum Jadi Sorotan BPHN dalam Desk Evaluasi WBBM

Grosse, Jakarta - Kepala BPHN, Min Usihen menegaskan bahwa pembangunan zona integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) tidak hanya berfokus pada pemenuhan administrasi semata, melainkan diwujudkan melalui program yang benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat. Salah satu bentuk nyata komitmen tersebut adalah memperluas akses keadilan melalui pengembangan Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan. Hal ini disampaikannya dalam kegiatan Desk Evaluasi Menuju WBBM oleh Tim Penilai Nasional, Rabu 24 September 2025.

Kepala BPHN, Min Usihen menegaskan bahwa pembangunan zona integritas menuju Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), Rabu 24 September 2025.

Upaya dalam memperluas akses keadilan ini, lanjut Min, sejalan dengan Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden poin ke-7 yang menekankan penguatan reformasi politik, hukum, dan birokrasi, sekaligus memperkuat pencegahan serta pemberantasan korupsi, narkoba, judi, dan penyelundupan. Dari poin ke-7 Asta Cita tersebut, BPHN menjalankan peran strategis dalam pelaksanaan Reformasi Hukum, Pembangunan Hukum, serta Pelayanan Hukum yang juga merupakan peran utama Kementerian Hukum. 

“BPHN ingin memastikan masyarakat dapat merasakan kehadiran negara dalam memberikan akses hukum yang mudah dijangkau. Inovasi Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan menjadi jembatan penting untuk menghadirkan keadilan hingga ke akar rumput,” ujar Min dalam kegiatan yang berlangsung di Aula Mudjono BPHN, Jakarta.

Hingga September 2025, BPHN bersama Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terakreditasi telah menangani 3.243 bantuan hukum litigasi dan 1.166 bantuan hukum non-litigasi. Selain itu, BPHN juga telah membina 223.279 Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan, melatih 14.971 paralegal, serta menyelenggarakan Peacemaker Training bagi 1.095 kepala desa/lurah untuk berperan sebagai juru damai. Program pelatihan ini melibatkan kolaborasi dengan Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.



Tidak hanya memperluas akses keadilan, BPHN juga berupaya meningkatkan literasi hukum masyarakat melalui perpustakaan digital e-PusBPHN, yang memungkinkan publik mengakses literatur hukum kapan saja, di mana saja, dan tanpa biaya. “Semua inovasi ini bukan sekadar persiapan menuju WBBM, melainkan komitmen nyata BPHN untuk memberikan pelayanan publik yang hadir langsung di tengah masyarakat,” tegas Min.

Kemudian, Sekretaris BPHN sekaligus Ketua Tim Pembangunan Zona Integritas, M. Aliamsyah, menekankan bahwa peningkatan kualitas layanan publik menjadi prioritas utama BPHN. “Predikat WBBM penting, namun yang lebih utama adalah bagaimana masyarakat merasa nyaman dan terbantu dengan layanan publik yang diberikan BPHN,” jelasnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan I Kementerian PANRB, Akhmad Hasmy, memberikan apresiasi terhadap langkah BPHN. Ia menilai berbagai inovasi yang dikembangkan BPHN sudah berada di jalur yang tepat. “Inovasi yang disampaikan sudah baik. Harapannya, program-program ini terus diperkuat dan berkelanjutan sehingga benar-benar memberi dampak positif bagi masyarakat,” kata Hasmy.



Menutup kegiatan, Min menyatakan bahwa BPHN menghadirkan program langsung yang menyentuh langsung ke masyarakat, hal ini menjadi poin utama BPHN untuk pelaksanaan pembangunan zona integritas menuju WBBM. “Banyak masyarakat yang mengharapkan layanan yang langsung menyentuh masyarakat, BPHN hadir langsung sampai ke lapisan akar rumput mewujudkan layanan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dengan mudah, cepat, dan tanpa dipungut biaya apapun,” pungkasnya.

Melalui kegiatan Desk Evaluasi ini, BPHN menegaskan komitmennya untuk terus menghadirkan inovasi, memperluas akses keadilan, dan meningkatkan kualitas layanan publik sebagai bagian dari upaya mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. 

Turut hadir dalam kegiatan ini, Kepala Pusat Pemantauan, Peninjauan, dan Pembangunan Hukum Nasional BPH Rahendro Jati, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN Arfan Faiz Muhlizi, Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum Constantinus Kristomo, Penyuluh Hukum Ahli Utama BPHN Audy Murfi, Sofyan, Djoko Pudjirahardjo, Kartiko Nurintias dan Marciana Dominika, Analis Hukum Ahli Utama BPHN Bambang Iriana, serta Pegawai BPHN.

Kamis, 04 September 2025

Pengurus Wilayah Banten INI, Tetap Jadi Favorit ALB Ikuti Magang Bersama

Grosse, Tangerang - Kondisi Ikatan Notaris Indonesia (INI), saat ini tengah melakukan pembenahan dalam organisasi, termasuk di wilayah Propinsi Banten. Terlebih setelah usai diselenggarakannya Konferensi Wilayah (Konferwil), dan kembali Rustianah Dwi Korawan, SH, MKn, tepilih selaku Ketua Pengwil Banten INI Periode 2023 - 2026. Dimana dalam debutnya di periode kedua ini, Pengwil Banten INI menggelar Magang Bersama (Maber) untuk pertama kalinya. Walaupun Pengwil Banten INI terlambat dalam menyelenggarakan Konferwil, namun antusias Anggota Luar Biasa (ALB) terlihat sangat besar untuk dapat mengikuti Maber di Pengwil Banten. Seperti Magang yang diadakan oleh Pengwil Banten INI, dikomandoi oleh Dewi Adriani, SH, MKn, selaku Wakil Ketua Bidang Magang, di Menara TopFood, Tangerang, Banten, Minggu 31 Agustus 2025, diikuti lebih dari 500 peserta yang terbagi menjadi 4 semester.

Magang yang diadakan oleh Pengwil Banten INI, dikomandoi oleh Dewi Andriani, SH, MKn, selaku Wakil Ketua Bidang Magang, di Menara TopFood, Tangerang, Banten, Minggu 31 Agustus 2025, diikuti lebih dari 500 peserta yang terbagi menjadi 4 semester

"Magang Bersama (Maber) kali ini, merupakan Maber pertama di masa bunda Rustianah menjadi Ketua Pengwil di periode 2023 - 2026. Alhamdulillah, temen-temen Anggota Luar Biasa (ALB) masih setia dan tetap memilih Pengwil Banten sebagai tempat untuk mengikuti Maber. Seperti biasa, Maber kami bagi menjadi 4 semester, yaitu semester 1 dan semester 2 itu waktunya pagi sampai siang, dan semester 3 dan semester 4 waktunya siang sampai sore," jelas Dewi Adriani, SH, MKn, selaku Wakil Ketua Bidang Magang Pengwil Banten INI kepada Majalah Grosse Digital (MGD).

Berdasarkan pengamatan MGD sejak awal hingga akhir diselenggarakannya Maber oleh Pengwil Banten INI, meskipun agak berbeda dari biasanya, namun antusias dari para peserta Maber masih terlihat sangat besar. Bahkan ada beberapa ALB yang menyampaikan, bahwa dirinya meskipun berada di wilayah lain, namun tetap memilih Banten sebagai tempat mengikuti Maber. "Saya sudah terbiasa dan merasa nyaman ya, ikut Maber di Pengwil Banten INI. Jadi, walau di ada beberapa wilayah yang mengadakan Maber, saya dan teman-teman tetap memilih Banten," kata peserta yang namanya enggan disebutkan.





Suasana agak berbeda, berdasarkan pengamatan MGD, dimana para panitia yang dilibatkan dalam pelaksanaan Maber kali ini, lebih banyak wajah-wajah baru. "Kita mencoba membuat regenerasi di Pengwil Banten INI, dimana panitia Maber kali ini lebih banyak teman-teman yang lebih muda," tukas Ketua Panitia Pelaksana. Namun demikian, pelaksanaan Maber Pengwil Banten INI, berlangsung dengan lancar dan terbilang sukses, bahkan ada beberapa ALB yang menyatakan akan terus mengikuti Maber hingga semester 4 di Pengwil Banten.

Menurut panitia, bahwa Maber kali ini, dibuka untuk semester satu hingga semester empat, hanya saja waktu pelaksanaan dari tiap semester yang diubah. "Biasanya semester satu di ballroom, tapi kali ini dibuka di lantai 3, begitu juga dengan semester dua. Sedangkan semester tiga dan empat di buka di ballroom," jelas Dewi Adriani, SH, MKn, seraya menyampaikan bahwa peserta Maber tidak hanya dari wilayah Banten saja, melainkan dari wilayah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, bahkan ada pula dari wilayah di luar pulau jawa.





Berdasarkan informasi yang MGD himpun, dimana semester satu, pemateri yang disuguhkan oleh panitia, yaitu antara lain; Andrea Sepriyani, SH, SpN, MH, yang menyampaikan materi mengenai Dasar-Dasar TPA dan TPA Hukum Orang dan Keluarga. Dewi Adriani, SH, MKn, menyampaikan materi mengenai Administrasi Perkantoran dan Kode Etik. Sedangkan untuk semester tiga, pemateri yang disuguhkan, yaitu antara lain; Hj, Tuti Sulistyowati, SH, MKn, yang menyampaikan meteri mengenai TPA Akta Perbankan, dan Al Faraby Angkat, SH, MKn, menyampaikan materi mengenai TPA Akta Jaminan Fidusia.

Untuk semester dua, panitia menyuguhkan pemateri, yaitu Heru Siswanto, SH, MKn, yang menyampaikan materi mengenai TPA 1 (Perikatan 1) PPJB dan Asep Heryanto, SH, MKn, yang menyampaikan materi mengenai TPA 2 (Perikatan 2). Sedangkan untuk semester empat, pemateri yang disuguhkan antara lain; TPA Waris disampaikan oleh Syarifuddin. SH, SpN, MH dan TPA Perseroan Terbatas dan TPA Non PT disampaikan oleh Ni Putu Nena BP Rachmadi, SH, MKn.

Senin, 18 Agustus 2025

Sambut Hari Pengayoman dan HUT RI Ke 80, BPHN Gelar Bakti Sosial Donor Darah

Grosse, Jakarta - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar bakti sosial donor darah di Aula Moedjono, Cililitan, Jakarta Timur, Selasa (12/8/2025). Kepala BPHN, Min Usihen, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan wujud kepedulian sosial dan dukungan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) untuk menjaga ketersediaan stok darah bagi masyarakat.

“Donor darah menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Pengayoman dan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Saya sangat mengapresiasi partisipasi dan semangat pegawai serta tenaga pengalihdayaan (outsourcing) BPHN dalam menyukseskan rangkaian kegiatan ini,” tutur Min.

Bekerja sama dengan Unit Pengelola Darah RSUP Fatmawati, kegiatan ini diikuti oleh 128 pendaftar. Setelah melalui proses penyaringan (screening), sebanyak 85 orang dinyatakan lolos dan berhasil mendonorkan darahnya.


Berdasarkan data PMI, kebutuhan darah transfusi mencapai dua persen dari jumlah penduduk. Dengan populasi Indonesia sekitar 277 juta jiwa, setidaknya dibutuhkan 5,5 juta kantong darah setiap tahun. Partisipasi lembaga dan masyarakat, seperti yang dilakukan BPHN, menjadi kontribusi penting untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Selain donor darah, BPHN menggelar berbagai kegiatan untuk memeriahkan Hari Pengayoman dan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Di antaranya pemeriksaan kesehatan gratis bagi warga sekitar, konsultasi hukum gratis yang berlangsung setiap hari kerja, serta beragam pelayanan publik dan perlombaan yang akan digelar dalam waktu dekat.


Hari Pengayoman merupakan penamaan resmi hari lahir Kementerian Hukum sejak 2024, menggantikan Hari Dharma Karya Dhika, dan diperingati setiap 19 Agustus. Peringatan ke-80 tahun ini berlangsung sejak 4 Juli hingga puncaknya pada 19 Agustus 2025, dengan tujuan memperkuat solidaritas insan pengayoman serta semangat reformasi hukum menuju “Indonesia Emas 2045”.

Minggu, 17 Agustus 2025

Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan), Libatkan Kemenkum RI dan MK, serta MA di Pengwil Jateng INI

Grosse, Semarang - Amicus Curiae yang berarti 'Sahabat Pengadilan', merupakan pihak ketiga yang memberikan pendapat atau informasi kepada pengadilan dalam suatu perkara, meskipun bukan pihak yang berperkara, dan keterlibatannya karena memiliki kepentingan atau kepedulian terhadap kasus dan ingin membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang adil. Hal inilah yang menjadi dasar Pengurus Wilayah (Pengwil) Jawa Tengah (Jateng) Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk menggelar Seminar Nasional, dengan melibatkan beberapa pihak, diantaranya; Pengurus Pusat (PP) INI, Kementerian Hukum (Kemenkum) RI, Akademisi dan beberapa pihak lain yang terkait. Seminar Nasional yang mengangkat tema 'Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Terkait Proses Peradilan yang Melibatkan Notaris', digelar di Patra Hotel Semarang, Sabtu 09 Agustus 2025, diikuti oleh sekitar 750 peserta.

Seminar Nasional yang mengangkat tema 'Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Terkait Proses Peradilan yang Melibatkan Notaris', digelar di Patra Hotel Semarang, Sabtu 09 Agustus 2025, diikuti oleh sekitar 750 peserta.

"Amicus curiae memang tidak populer, terutama di kalangan Notaris. Namun, pada beberapa kasus yang ada dalam persidangan, keberadaan amicus curiae sering digunakan. Seperti kasus yang disidangkan pada Mahkamah Konstitusi (MK), makanya seminir nasional kali ini, kami menghadirkan hakim MK," ungkap Sekretaris Pengwil Jateng INI, DR. Daror Mujahidi, SH, MKn, kepada MGD disela-sela kegiatan.

Diharapkan dengan mengangkat tema seputar amicus curiae, sambungnya, diharapkan ke depan amicus curiae dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan hukum yang melibatkan Notaris. "Karena belum tentu semua hakim memahami tentang kenotariatan. Oleh karena itu, Pengwil bisa sebagai amicus curiae dalam membantu anggotanya, sebab amicus curiae dapat dilakukan dari semua kalangan," jelasnya.


Amicus curiae dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah 'Friend of the court', mengacu pada pihak ketiga yang memberikan informasi atau pandangan kepada pengadilan dalam suatu kasus, meskipun mereka bukan bagian dari pihak yang bersengketa. Hal tersebut, seperti yang disampaikan oleh DR. Rindiana Larasati, SH, MKn, salah satu panitia pelaksana Seminar Nasional, bahwa banyak Notaris yang dikriminalisasi, maka organisasi perlu mengawal dari daerah sampai pusat.

"Jadi, sangat diperlukan kehadiran organisasi, dari tingkat Pengurus Daerah (Pengda), Pengurus Wilayah (Pengwil) sampai Pengurus Pusat (PP), agar dapat mengawal anggotanya ketika terkena kasus di pengadilan dengan cara memberikan amicus curiae. Hal itu diperlukan, apabila putusan hakim tidak adil, karena tidak menguasai tugas dan jabatan Notaris itu seperti apa," paparnya kepada MGD.


Pemateri dari Kemenkum sampai Hakim MK dan MA

Pengurus Wilayah (Pengwil) Jawa Tengah (Jateng) Ikatan Notaris Indonesia (INI), yang diketuai oleh DR. H. Al Halim, SH, MKn, MH, selaku Ketua Pengwil menggelar Seminar Nasional dengan mengangkat tema "Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Terkait Proses Peradilan yang Melibatkan Notaris".

Menariknya, Seminar Nasional tersebut, panitia pelaksana menghadirkan, tiga narasumber dari Kementerian Hukum (Kemenkum) Republik Indonesia (RI), Hakim Agung pada Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) RI dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Narasumber tersebut, yaitu antara lain; Agus Subroto, SH, MH, Hakim Agung pada Kamar Perdata Mahkamah Agung RI. Prof. DR. Arief Hidayat, SH, MS, Hakim Mahkamah Konstitusi RI, dan Henry Sulaiman, SH, ME, Direktur Perdata Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkum RI.

Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Prof. DR. Arief Hidayat, SH, MS, menyampaikan bahwa ada beberapa putusan MK yang berkenaan dengan Jabatan Notaris, yaitu antara lain; putusan No.7/PUU-XXIII/2025 tentang Kategori Akta Autentik di putus Tidak Dapat Diterima, dan Putusan No.84/PUU-XXII/2024 tentang Pemberhentian Notaris Karena Telah Mencapai Umur 65 di putus Kabul Sebagian.

"Ada beberapa kasus yang menyangkut Notaris yang diajukan ke MK, sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025, itu ada sekitar 13 kasus. Dan, yang dikabulkan dan dikabulkan sebagian hanya ada dua, sedangkan sisanya ditolak atau tidak dapat diterima," ungkapnya saat menyampaikan materi.

Selain itu, Hakim MK ini juga menyatakan bahwa amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, lalu kemudian berkembang dan dipraktekkan dalam tradisi common law system. "Mekanisme amicus curiae memberikan izin kepada pengadilan untuk mengundang pihak ketiga, tujuannya untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan  isu-isu hukum yang baru atau belum familiar," terangnya.

Hal menarik dari penjelasan dari Prof. DR. Arief Hidayat, SH, MS, bahwa amicus curiae dapat bertindak untuk 3 (tiga) macam kepentingan, diantaranya; pertama, Kepentingan sendiri atau kelompok yang diwakilinya. Kedua, Kepentingan salah satu pihak dalam perkara, dalam upaya membantu atau menguatkan argumentasinya. Dan, ketiga, Kepentingan umum, karena keterangannya tidak untuk kepentingan orang yang berperkara.

Sedangkan Agus Subroto, SH, MH, Hakim Agung pada Kamar Perdata Mahkamah Agung RI, memberikan materi dengan judul "Amicus Curiae Terkait Proses Peradilan yang Melibatkan Notaris, dengan moderator DR. Dahniarti Hasanah, SH, MKn. Menurut Agus Subroto, amicus curiae tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, disandarkan pada ketentuan Pasal 5 Ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Bunyinya; Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Jadi penjelasan dari Pasal 5 Ayat 1 ini, menyatakan ketentuan tersebut dimaksudkan, agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat," paparnya.

Sehingga tujuan dari amicus curiae, sambungnya, yaitu antara lain; memberikan keterangan atau pendapat hukum atau informasi yang relevan kepada pengadilan, agar dapat membantu hakim dalam memahami berbagai aspek kasus dan implikasinya.

"Kedua, membantu pengadilan membuat keputusan yang adil dan berdasarkan hukum dengan memberikan perspektif tambahan atau informasi, dan ketiga sebagai bentuk partisipasi publik atau dukungan pada kasus yang diadili," terang Agus Subroto.

Hal lain disampaikan oleh Direktur Perdata Kemenkum RI, Henry Sulaiman, SH, ME, yang menyampaikan materi mengenai "Amicus Curiae; Peran Strategis dalam Melindungi Profesi Notaris" dengan moderator DR. Rindiana Larasati, SH, MKn.

Menurut Henry Sulaiman, bahwa saat ini semakin kompleks kebutuhan akan layanan jasa Notaris, mengakibatkan meningkatnya perkara hukum yang melibatkan Notaris, sedangkan dalam proses peradilan, pendapat teknis-teknis jabatan Notaris jarang terdengar, sehingga narasi hukum didominasi oleh pihak pelapor atau gugatan tanpa klarifikasi kelembagaan.

"Jadi masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami tugas dan fungsi dari Notaris, dan tidak semua Notaris memiliki kemampuan atau akses untuk membela diri secara optimal, sehingga dibutuhkan intervensi kelembagaan netral dan berbasis hukum. Ditambah lagi, kurangnya pemahaman Notaris dan organisasi profesi terkait dengan amicus curiae," paparnya.

Selain itu, data perkara yang melibatkan Notaris, sambungnya, mayoritas perkara pidana terkait dengan Pasal 264 Ayat 1 KUHP, pemalsuan surat-surat yang dilakukan oleh Notaris, dimana menuangkan ke dalam akta yang tidak sesuai dengan fakta-fakta atau yang sebenarnya.

"Sedangkan perkara perdata terkait gugatan terhadap Akta Peralihan Saham yang dilakukan tanpa se-pengetahuan pemegang saham, sehingga komposisi kepemilikan saham beralih kepada pihak lain. Jadi akta autentik Notaris digugat, karena dianggap tidak sah secara fomiil. Dan, untuk membuktikan hal tersebut, diperlukan pemahaman hakim terhadap tata cara pembuatan akta autentik, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain terkait Notaris," jelas Henry Sulaiman.

Menurut Direktur Perdata Kemenkum RI, bahwa siapa saja bisa menjadi amicus curiae, diantaranya yaitu; Akademisi atau Pakar Hukum. Organisasi Profesi. Lembaga Keagamaan atau Tokoh Masyarakat. Lembaga Negara Independen. dan Organisasi Masyarakat Sipil.

"Kenapa Notaris membutuhkan amicus curiae? Pertama, karena hakim sering hanya mendengar versi dari para pihak, amicus curiae dapat memberikan perspektif objektif berbasis praktik jabatan Notaris. Kedua, UUJN terakhir diperbaharui pada tahun 2014, sementara praktik hukum dan kebutuhan masyarakat terus berkembang, banyak ketentuan UUJN yang membutuhkan penjelasan teknis dan interprestasi kontekstual. Ketiga, dapat menjelaskan kapan tindakan jabatan Notaris bersifat administrasi, bukan pidana," jelasnya.


Selasa, 12 Agustus 2025

Amicus Curiae, 'Friends of The Court'

 'Friend of The Court' atau Sahabat Pengadilan, yang diterjemahkan secara bebas oleh 'Black's Law Dictionary', sebagai seseorang yang bukan merupakan pihak dalam gugatan, tetapi mengajukan permohonan kepada pengadilan atau diminta oleh pengadilan untuk memberikan pernyataan atau keterangan, karena orang tersebut memiliki kepentingan yang kuat dalam pokok perkara.

Merujuk pada sejarahnya, Amicus Curiae pertama kali dikenal dalam praktik pengadilan di awal abad ke-9 dalam sistem hukum Romawi Kuno, dari sistem tersebut, selanjutnya berkembang di negara-negara dengan tradisi 'common law'. Oleh karena itu, amicus curiae merupakan suatu hal yang lazim pada sistem peradilan di negara yang menganut sistem common law, seperti di Amerika Serikat dan Inggris.

Akhir abad ke 20 sampai saat sekarang, banyak kasus-kasus di pengadilan menggunakan amicus curiae, lalu bagaimana ketentuan amicus curiae di Indonesia? Dasar hukum amicus curiae di Indonesia, tidak secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, akan tetapi, amicus curiae saat ini berpegang pada Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman. Dimana Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selain itu, secara tersirat, amicus curiae diatur dalam Pasal 180 Ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dimana disebutkan bahwa 'Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan'.

Meskipun demikian, pada dasarnya, amicus curiae bertujuan untuk membantu hakim dalam melakukan penemuan hukum atau membuat keputusan mengenai suatu perkara. Namun, kekuatan hukum dari amicus curiae terhadap pengambilan keputusan hakim di pengadilan, tidak akan mempengaruhi putusan pengadilan, karena sifatnya berisi pertimbangan-pertimbangan saja. Oleh karena amicus curiae hanya sebatas dasar pertimbangan, amicus curiae tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam proses hukum atau mempengaruhi penyelesaian akhir suatu kasus dalam hal hakim mengambil suatu keputusan.

Dalam konteks Notaris, Amicus Curiae dapat digunakan untuk memberikan perspektif terkait dengan isu-isu hukum yang melibatkan profesi Notaris, seperti dugaan pelanggaran Kode Etik NotarisSengketa Perdata, atau bahkan kasus Pidana yang melibatkan Notaris. Praktik amicus curiae dalam kasus Notaris, bisa terjadi dalam beberapa situasi;

Pertama, Perkara Etik atau Disiplin; Jika ada Notaris yang diduga melanggar Kode Etik atau disiplin, pihak lain (seperti organisasi Notaris atau Pengurus Wilayah Notaris) bisa mengajukan amicus curiae untuk memberikan pandangan mengenai standar profesionalisme, interpretasi kode etik, atau rekomendasi sanksi yang sesuai.

Kedua, Kasus Pidana yang Melibatkan Notaris; Dalam sengketa perdata yang melibatkan Notaris, misalnya terkait Akta yang dibuatnya, pihak ketiga yang memiliki pengetahuan atau keahlian terkait hukum Notariat bisa mengajukan amicus curiae untuk memberikan penjelasan mengenai aspek hukum yang relevan.

Ketiga, Kasus Pidana yang Melibatkan Notaris; Jika Notaris tersangkut kasus pidana, amicus curiae bisa diajukan untuk memberikan pandangan mengenai unsur-unsur pidana yang terkait dengan tindakan Notaris, atau untuk memberikan penjelasan mengenai aspek hukum yang lebih luas terkait kasus tersebut.

Amicus Curiae Penting dalam Kasus Notaris ?

Amicus curiae dapat memberikan manfaat dalam beberapa hal, yaitu antara lain; Membantu Hakim Memahami Isu Hukum yang Kompleks; Profesi Notaris seringkali melibatkan pemahaman hukum yang mendalam, terutama terkait Akta Otentik dan kewenangan Notaris. Amicus curiae yang kompeten dapat membantu hakim memahami isu-isu hukum yang kompleks tersebut.

Selain itu, Memberikan Perspektif Tambahan; Amicus curiae dapat memberikan perspektif dari pihak yang tidak terlibat langsung dalam perkara, yang mungkin tidak terpikirkan oleh pihak yang berperkara atau hakim. Untuk Meningkatkan Keadilan; Dengan memberikan informasi dan pandangan yang lebih komprehensif, amicus curiae dapat membantu hakim mengambil keputusan yang lebih adil dan berdasarkan pemahaman yang menyeluruh.

Bahkan, Mencegah Kesalahan Penafsiran Hukum; Amicus curiae dapat membantu mencegah kesalahan penafsiran hukum yang mungkin terjadi, jika hakim hanya mengandalkan penjelasan dari pihak yang berperkara.

Meskipun belum banyak kasus amicus curiae yang secara spesifik terkait Notaris terpublikasi, terdapat beberapa contoh kasus di Indonesia, dimana amicus curiae telah diajukan untuk perkara yang melibatkan isu-isu yang kompleks, seperti kasus hak asasi manusiajudicial review di Mahkamah Konstitusi, dan kasus pidana yang melibatkan anak.

Jadi, amicus curiae merupakan mekanisme yang penting dalam sistem peradilan untuk memberikan informasi dan perspektif tambahan kepada hakim dalam mengambil keputusan. Dalam kasus Notaris, amicus curiae dapat berperan dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai isu-isu hukum yang kompleks terkait dengan profesi Notaris, serta membantu hakim mengambil keputusan yang lebih adil dan berdasarkan pemahaman yang menyeluruh.

Hal Penting dalam Amicus Curiae

Amicus curiae bukanlah pihak yang terlibat langsung dalam sengketa hukum yang sedang berlangsung, mereka tidak memiliki kepentingan finansial atau legal langsung dalam hasil kasus tersebut, karena amicus curiae bukan pihak yang berperkara.

Amicus curiae dapat memberikan pendapat hukum, analisa fakta, atau informasi lain yang relevan dengan kasus tersebut kepada pengadilan, bertujuan untuk membantu hakim memahami implikasi dari keputusan yang akan diambil.

Amicus curiae bisa berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, organisasi non-pemerintah, akademisi, atau ahli hukum yang memiliki pengetahuan atau keahlian terkait dengan kasus tersebut, artinya amicus curiae berasal dari berbagai kalangan.

Meskipun pengadilan dapat mempertimbangkan pendapat amicus curiae, mereka tidak wajib mengikuti saran atau rekomendasi yang diberikan, pendapat amicus curiae hanyalah salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan hakim dalam membuat keputusan.

Tujuan utama dari amicus curiae adalah membanti pengadilan dalam membuat keputusan yang adil dan berdasarkan pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu yang terkait dengan kasus tersebut, terutama jika keputusan tersebut memiliki dampak yang luas pada masyarakat.

Dalam kasus-kasus hak asasi manusia atau isu-isu kepentingan publik, amicus curiae seringkali digunakan untuk memberikan perspektif tambahan kepada pengadilan tentang implikasi sosial dan hukum dari kasus tersebut. Misalnya. dalam kasus-kasus lingkungan, organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai amicus curiae untuk memberikan informasi tentang dampak lingkungan dari proyek tertentu.

Di Indonesia, amicus curiae, dapat merujuk pada Pasal 180 Ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli atau bahan baru dari pihak yang berkepentingan untuk menjernihkan duduknya persoalan dalam sidang pengadilan. Menurut Majalah Grosse Digital, meskipun demikian, penerapan amicus curiae dalam praktik peradilan Indonesia masih terus berkembang.

Rabu, 30 Juli 2025

Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT, Berikan Konsultasi Hukum Pertanahan 'Gratis' Bagi Masyarakat

Grosse, Kepulauan Seribu - Pemahaman masyarakat di Kepulauan Seribu masih tertinggal, bahkan tak sedikit masyarakat mengalami permasalahan terkait hukum, baik secara perdata maupun pidana. Tak mengherankan jika Pemerintahan Propinsi (Pemprov) DKI Jakarta, berupaya melakukan kegiatan guna membangun kesadaran hukum di kalangan masyarakat, khususnya di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Upaya tersebut mendapat dukungan dan support dari beberapa pihak, diantaranya; Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kanwil Kemenkum) DKI Jakarta, Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, bahkan Pengurus Daerah (Pengda) Kota Jakarta Utara Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Support dan dukungan tersebut, berupa Bantuan Hukum dan Konsultasi Hukum secara Gratis kepada masyarakat Kepulauan Seribu.

Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT Siap Berikan Konsiltasi Hukum Gratis terkait Permasalahan di Bidang Pertanahan, Kepualau Seribu, Jakarta Utara, Rabu 30 Juli 2025.

Kepulauan Seribu tercatat memiliki 110 (seratus sepuluh) pulau dengan 11 (sebelas) diantaranya berpenghuni, dan penduduk Kepulauan Seribu tersebar di beberapa pulau, seperti Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Harapan, Pulau Tidung dan Pulau Kelapa. Luas Kepulauan Seribu sekitar 1.180 hektare, memanjang dari selatan ke utara, dengan pulau-pulau tergolong kecil dengan dataran yang landai dan terbagi menjadi beberapa gugus pulau. Kawasan Kepulauan Seribu dimanfaatkan untuk pemukiman, penangkapan ikan, budidaya rumput laut, wisata dan taman nasional. Sebagian besar kepemilikan pulau di Kepulauan Seribu merupakan kepemilikan pribadi oleh perorangan ataupun swasta.

Jumlah pulau yang ada di Kepulauan Seribu, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1814 Tahun 1989, dan SK Gubernur DKI Jakarta No.171 Tahun  2007, menetapkan bahwa luas wilayah daratan Kepulauan Seribu, sebesar 8.7 Km2, dengan titik koordinat yaitu 5º 10’ 00” sampai 5º 57’ 00” Lintang Selatan, hingga 106º 19’ 30” sampai 106º 44’ 50” Bujur Timur. Mengenai status kepemilijan pulau yang ada di Kepulauan Seribu, milai menjadi milik pribadi sejak dasawarsa 1960-an hingga 1970-an, dan status kepemilikan pribadi diberlakukan hanya pada pulau-pulau yang digunakan sebagai pemukiman.


Pada tahun 2015, hanya 11 pulau yang dikuasai oleh penduduk sebagai pulau permukiman dari total 110 pulau yang ada di Kepulauan Seribu, sedangkan 39 pulau berada ddalam kepemilikan pemerintah daerah dan 60 pulau menjadi kepemilikan pribadi oleh perorangan ataupun pihak swasta. Berdasarkan sekelumit tentang Kepulauan Seribu diatas, tak pelak saja masyarakat akan berhadapan dengan aturan hukum yang berlaku terkait mengenai pertanahan (perdata) maupun hukum pidana, namun berdasarkan informasi yang Majalah Grosse Digital (MGD) peroleh, bahwa kesadaran hukum di kalangan masyarakat Kepulauan Seribu masih sangat minim.

Kenapa? Dikarenakan keterbatasan layanan hukum di wilayah Kepulauan Seribu, sehingga menjadi sorotan pihak pemerintah, oleh karena itulah pada hari Rabu 30 Juli 2025, digelar kegiatan "Pembinaan Kelurahan Sadar Hukum, Kelurahan Pulau Untung Jawa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu". Kegiatan tersebut merupakan kerjasama antara Kanwil Kemenkum DKI Jakarta, Pemrov DKI Jakarta, Pemkab Administrasi Kepulauan Seribu, Pos Bantuan Hukum (Posbankum) dan IPPAT.

Mahkamah Kelurahan Solusi Atasi Masalah Hukum

Pembinaan yang dimoderatori oleh Hari Kurniawan, Kepala Bagian Hukum, Ketatalaksanaan dan Kepegawaian Pemkab Administrasi Kepulauan Seribu, menyampaikan bahwa kebutuhan bantuan hukum warga Kepulauan Seribu masih tinggi, namun kondisi tersebut belum diimbangi dengan keberadaan lembaga bantuan hukum yang memadai. "Permohonan bantuan hukum banyak yang disampaikan kepada kami, hal itu tak bisa kami tangani semua dikarenakan kehadiran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan kehadiran Notaris/PPAT masih kurang," ungkapnya.

Keterbatasan layanan hukum tersebut, merupakan topik utama dalam kegiatan Pembinaan Kelurahan Sadar Hukum, dimana kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Umum Peradin sekaligus Ketua Pembina Posbankumadin, Advokat Ropaun Rambe. Ketua Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT, Bambang Tristianto, SH, MKn, dan Praktisi Notaris/PPAT, Refki Ridwan, SH, MBA, SpN, guna memberikan pencerahan terkait hukum pidana dan hukum perdat. Kegiatan tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat, bahkan masyarakat berharap menjadi solusi dalam menghadapi permasalahan hukum selama ini.



Menurut Advokat Ropaun Rambe, bahwa dirinya melalui Peradin akan berkomitmen memperkuat layanan hukum di wilayah tertinggal, termasuk melalui Mahmakah Kelurahan (MK) atau Mahkamah Desa (MD), sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat, khususnya di wilayah Kepulauan Seribu.

"Saat ini, kami akan mulai mengimplementasikan MK atau MD, kenapa? Karena negara sudah memberi dasar hukum untuk memberikan bantuan hukum secara gratis, yaitu UU No.16 Tahun 2011. Tapi, persoalan yang belum terpecahkan, yaitu ketiadaan MK atau MD, sebagai forum penyelesaian hukum di tingkat bawah," tukasnya.

MD atau MK, sambungnya, bukan gagasan baru. Sebab, konsep tersebut sudah ada sejak masa kolonial, dikenal sebagai Peraturan Rafflesia pada 1814. "Sekarang, konsep itu dihidupkan kembali dengan pendekatan kontekstual dan berbasis kearifan lokal. Warga tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh ke pengadilan, sengketa dapat diselesaikan lewat musyawarah di tingkat desa atau kelurahan,” jelasnya.

Lebih jauh lagi, Ropaun Rambe, menjelaskan bahwa MK atau MD tidak berdiri tanpa dasar hukum yang jelas, dan nomenklatur MK atau MD sudah dikeluarkan Kemenkum, bahkan didukung dengan beberapa regulasi lai. "Undang-Undang  (UU) No.3 Tahun 2024 tentang Desa. Peraturan Pemerintah (PP) No.43 Tahun 2014, Permendesa PDTT No.6 Tahun 2020, UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan hukum. Pedoman Kepala BPHN Tahun 2023, Permendagri No.18 Tahun 2018 dan PP No.42 Tahun 2013," paparnya.


Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT Siap Beri Konsultasi Hukum 'Gratis'

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT, Bambang Tristianto, SH, MKn dan Praktisi Notaris/PPAT, Refki Ridwan, SH, MBA, SpN, dimana saat ini di Kepulauan Seribu, jumlah Notaris yang berpraktek itu sekitar 60 Notaris, sedangkan Notaris yang telah menjadi PPAT berjumlah 16 orang. "Kedepan, kami selaku pengurus akan mendorong para Notaris yang belum PPAT, agar segera menjadi PPAT, karena masyarakat di Kepulauan Seribu sangat membutuhkan kehadirian PPAT, guna menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan pertanahan," tegasnya.

Menurut Ketua Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT, bahwa permasalahan yang dihadapi masyarakat Kepulauan Seribu, terutama terkait pertanahan, pihaknya akan memberikan konsultasi hukum secara gratis. "Karena hal tersebut juga diatur dalam UU No.16 Tahun 2011, tetang Bantuan Hukum. Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945. Perma No.01 Tahun 2014 dan UUJN No/2 Tahun 2014 Perubahan atas UU No.30 Tahun 2004, serta PP No.37 Tahun 1998 yang diubah dengan PP No.24 Tahun 2016," jelasnya.

Dipenghujung kegiatan Pembinaan Kelurahan Sadar Hukum, baik Ropaun Rambe maupun Pengda Kota Jakarta Utara IPPAT, kedua-duanya sama-sama memberikan No WhatApps kepada masyarakat, agar dapat menghubungi ketika menghadapi permasalahan hukum. "Kami siap menerima konsultasi hukum tentang pertanahan secara gratis, 24 jam, jadi jangan ragu untuk menghubungi kami," tandasnya.


Selasa, 24 Juni 2025

Pengabdian dan Kedaulatan Anggota, Tidak Akan Terjadi

Refki Ridwan, SH, MBA, SpN
Notaris dan PPAT Jakarta Utara
Akademisi

“Tanggal 1 Juli, INI berusia 117 tahun, suatu usia yang luar biasa. INI lebih dulu lahir dari pada negara ini. INI, kumpulan berbadan hukum, berbeda dengan organisasi lain. Anggotanya, para Notaris dan Calon Notaris bergelar S2, minimal MKn. Organisasi lain, mungkin hanya S1 atau S2, Notaris sudah ada yang S3, bahkan bergelar professor.

Mudah-mudahan, di usia 117 tahun ini, jadi titik awal bagi seluruh anggota, pengurus di tingkat Pengda, Pengwil, dan Pusat untuk mem-flashback. Kilas balik apa sebenarnya yang jadi masalah utama dalam organisasi, dan perbedaan pendapat harus hasilkan hal positif. Di 117 tahun ini, kita mulai kebersamaan dengan saling hormat, saling cinta, bagaikan keluarga bersama.

Melihat permasalahan dalam tubuh INI yang tak kunjung selesai, itu dilihat dari cara pandang mana dan dari posisi siapa menerjemahkannya. Saya kira, misalkan dari sisi sayap kiri, akan menyatakan “oh saya taat saja, sudah ikut dengan statuta kita.” Dan, begitu juga dari sisi sayap kanan, akan bilang begitu.

Kenapa? Karena esensinya berorganisasi, apalagi jadi pengurus. Semangatnya adalah pengabdian, bukan kekuasaan. Apalagi kalau orientasi berorganisasi itu, ke arah materi (finansial), itu salah. Harusnya, untuk pengembangan keilmuan, menjadi ikatan bernuansa kekeluargaan, itu yang benar.

Organisasi, statutanya itu adalah Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan INI sudah 3 (tiga) kali perubahan terhadap AD. Pertama tahun 2005 di Bandung, perubahannya cukup signifikan. Kenapa? Tahun 2005 dilaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB), karena tahun 2004 lahir pertama kali UU No.30 Tahun 2004. Setahun kemudian, KLB untuk menyesuaikan AD dengan UUJN.

Kemudian Kongres 2006 di Jakarta, ada sedikit perubahan AD INI, tapi tidak signifikan, hanya sebatas tata bahasa, nomenklatur dan lain sebagainya, tidak signifikan. Dan terakhir, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan gugatan masyarakat, sehingga terjadi kekosongan hukum. Lalu, diusulkan untuk adanya perubahan UUJN, lahirlah UU No.2 Tahun 2014, perubahan atas UU No.30 Tahun 2004.

Tahun 2014 dan setahun kemudian tahun 2015, dilaksanakan KLB, untuk apa? Menyesuaikan seluruh AD INI, harus seiring, sejalan, dan mampu mengakomodir keinginan dari UUJN No.2 Tahun 2014. Nah, sampai hari ini, di tahun 2025, belum pernah ada perubahan AD, ART dan Kode Etik Notaris (KEN) INI. Ukurannya itu, bukan hanya perubahan UU, tapi lebih kepada sesuatu yang harus diatur.

Berangkat dari fenomena yang terjadi dan berbagai permasalahan hukum terkait bidang kenotariatan, kemudian dapat juga untuk penyesuaian dengan kondisi yang ada. Regulasi pemerintahan banyak perubahan, misalnya regulasi IT, UU ITE.

 

Perubahan AD dan Kode Etik Notaris Harus di Kongres/KLB

Permasalahan terkait mekanisme pengambil keputusan di organisasi, misalnya, perubahan tentang sistim pemilihan. AD INI masih mengatur kehadiran fisik. Itu harus dipatuhi dan harus diikuti, tidak bisa dibuatkan alasan karena sementara aturannya belum diubah. Itu berarti melanggar aturan. Perubahan sangat diperlukan, seharusnya di 2018/2019, saat periode PP INI berakhir. Karena mekanisme perubahan AD harus melalui Kongres atau KLB, termasuk Kode Etik.

Fenomena saat ini, baik dampak dari Kongres, Konferwil maupun Konferda, kekuasaan Ketua Umum sangat mendominasi. Saking dominannya kekuasaan Pengurus Pusat (PP), sehingga tidak mampu mengakomodir dan tujuan tentang kedaulatan anggota itu tidak terealisasi.

Berbagai mekanisme pengambil keputusan dan hak-hak, misalnya, seperti keilmuan dan lain sebagainya, harusnya didapatkan oleh anggota. Jadi, kalau menurut saya, perlu dibicarakan tentang perubahan regulasi, tetapi tidak bisa juga dilakukan secara mendadak. Karena kondisi INI, terutama organisasi INI saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Berbeda dengan IPPAT, PP IPPAT periode pertama, hasil Lombok dengan berbagai perdebatannya, tetap solid dan akhirnya tetap bertahan. Periode kedua, terlihatkan bagaimana DR. H. Hapendi Harahap, SH, SpN, MH, mampu mempertahankan jabatan selaku Ketua Umum, untuk kedua kalinya.

Sejauh ini, apakah ada permasalahan di IPPAT, baik di tingkat pusat, di tingkat wilayah atau di tingkat daerah, kan tidak ada. Inilah kemampuan Ketum PP IPPAT untuk me-manage, melakukan tata kelola organisasi. Berbeda dengan INI, kalau dibilang baik-baik saja, tapi faktanya kan tidak terjadi.


Surat Keputusan Menteri Hukum Tak Jadi Ukuran

Surat Keputusan (SK) tak jadi ukuran. Coba kembalikan sesuai dengan tujuan dari organisasi, baca lagi AD tahun 2017, Pasal 7 dan Pasal 8. Menurut saya, saat ini sudah terjadi pergeseran, dan pergeserannya cukup signifikan. Lihat kondisi saat ini, apakah anggota di daerah merasa hak-haknya terpenuhi dengan adanya organisasi? Masih banyak yang tidak, hak anggota, bukan hanya Notaris mapan saja, tidak.

Tetapi, anggota terdiri dari Anggota Luar Biasa (ALB) atau calon-calon Notaris, Apakah mereka sudah merasa terpenuhi hak-haknya dan terakomodir. Apakah cita-citanya jadi Notaris, sesuai yang diharapkan? Memang benar, aturannya sudah ada. Apakah mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di organisasi? Saya kira tidak.

Permasalahan dipicu, ya kalau saya sebut, arogansi dari orang per orang (oknum), berebut kekuasaan dengan didukung sekelompok kawan-kawannya. Jadi, berebut kekuasaan, faktanya begitu, dan tidak terlihat demi pengabdian.

Pasti ada yang bilang, “Ah, Bang Eki asal ngomong aja, tidak bikin solusi”. Solusinya bagaimana? Kita harusnya duduk bersama dan jangan duduk hanya diantara kelompok-kelompok pendukung saja, “Asal Bapak Senang”.

Bukan begitu, tapi dengarkan, termasuk dari kelompok akademisi, werda Notaris, para calon-calon Notaris, dan para Notaris dari berbagai daerah yang latar belakangnya berbeda-beda. Jadi menurut saya, solusinya adalah tata kelola organisasi harus dilakukan penyempurnaan. Kita ubah AD, ART dan Kode Etik Notaris, tapi kalau mekanismenya tetap seperti sekarang, percuma. Kenapa? Karena akan kembali ke sentralisasi.


Baik-Baik Saja, Bagi Sekelompok Orang

INI, tidak boleh kita bilang ‘Kami baik-baik saja’. Kalian memang baik-baik saja, hanya sekelompok orang. Sebagian besar kan tidak, sebagian besar itu jadi korban. Kita bicara tentang kekisruhan, penyebabnya kita udah tahu, dari periode 2019 - 2022, itu adalah pemicu. Kita boleh berdebat dan berdiskusi, mulai dengan tidak taat periodesasi. Istilahnya dulu ‘bernafas diluar badan’, diberikan kepada sesuatu yang bukan menjadi kewenangannya.

Dari kesalahan itu, dampaknya sampai ke masa depan, misalnya, tidak taat periodesasi. Kedua, memindahkan tempat penyelenggaraan kongres. Jelas-jelas sudah diatur dalam AD/ART INI, sudah diputuskan, namun secara sepihak dipindahkan ke Bali. Karena yang mengusulkan tidak punya kapasitas. Apa disebutkan dalam ART INI, tidak ada sama saja.

Sistim pemilihan, pertama di Cilegon, coba bayangkan dan saya sebut korban. Sampai sekarang, terbayar tidak, bagaimana susahnya pengorbanan anggota untuk hadir. Sudah bayar hotel, bayar transportasi. Belum lagi kontribusi, ditambah lagi masalah waktu. Mana pertanggung jawabannya, sudah jelas, dan akhirnya terbukti.

Kementerian sendiri, merasa dibohongi, usai mendapat masukan dari Polda. Hal itu memang sudah ada niat yang salah, kenapa tidak di Jakarta. Meskipun seluruh menyetujui, namun harus tetap konsisten, Jawa Barat. Lalu, sistim pemilihan dan seterusnya. Langsung menyatakan, itulah yang sah, kan aneh.

Pasal 43 tentang RP3YD, kewenangan bertindak dalam pengambilan keputusan, harus bener-bener dikembalikan kedaulatan kepada anggota. Tidak dipusat, tapi ada di daerah. Sekarang faktanya, daerah itu tidak mendapatkan manfaat dari berorganisasi, saya konkrit saja.

Bisa saja membantah, “Bang Eki mah asal ngomong”. Sekarang kita bicara, ada kewenangan-kewenangan yang strategis dimiliki PP tapi tidak punya dampak terhadap kawan-kawan yang ada di daerah. Hal kecil saja, sistim administrasi. Urusan administrasi, Dari 240 lebih Pengda di Indonesia, apakah ada sekitar 10% punya sekretariat permanen yang representatif, kan tidak.

Sementara uang yang diambil, mulai uang pangkal, kegiatan-kegiatan strategis, semua diambil PP. Kembali lagi, ‘uang junior untuk memfasilitasi senior’. Bangun sekretariat bertingkat-tingkat, padahal seharusnya uangnya kan bisa memfasilitasi pembelian sekretariat 240 lebih Pengda.

Jika setiap Pengda punya secretariat, ALB bisa mendapatkan berbagai informasi, bisa untuk tempat penyelenggaraan Magang Bersama (Maber). Lalu narasumber, bisa diambil pematerinya dari Pengwil, dengan biaya semurah-murahnya. Selain itu, aktifitas rutin ada di sekretariat, surat keluar, surat masuk, dan termasuk penyelenggaraan dalam spot kecil, itu bisa rutin. Berganti Ketua Pengda, sekretariatnya tidak berubah.

Saat ini, Ketua Pengda terpilih, pindah secretariat. Akibatnya, data-data tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Misalnya, Jakarta Utara, jumlah Notaris, 120 orang, datanya mana? Sama ketua yang lama, sama Ketua sebelumnya.

Seharusnya dijalankan sejak 2018, 2019, sampai 2022, apakah itu bisa? Sangat bisa. Kenapa? Sebelum adanya Kartu Tanda Anggota (KTA), memungut iuran wajib. Kawan-kawan senior, selalu bilang, “aduh saya setengah mati, kita kayak ngemis-ngemis, tidak ada yang mau bayar iuran uang wajib”.

Dulu, banyak anggota malas ikut kegiatan, “aduh males ah ikut kegiatan, nanti ditagih, belum bayar 2 tahun”. Harusnya setiap kegiatan dilaksanakan organisasi, para anggota bergembira ria. Karena akan bertemu sesama rekan Notaris, silaturahim. Mendapatkan ilmu dari diskusi, dan seterusnya.

Makanya, periode 2016, seharusnya dibangkitkan bagaimana para anggota merasa dimiliki terhadap organisasi dan bangga berorganisasi. Seharusnya masuk dari titik yang ada di paling bawah, Pengda-Pengda.

Maka regulasi yang harus diubah, pertama Pasal 10 AD, tentang kelengkapan alat organisasi. Terdiri dari Rapat Anggota, kemudian PP dan DKP, kemudian Mahkamah Perkumpulan. Kalau Pasal 11, tentang PP terdiri dari satu orang Ketua Umum, harus tetep konsisten. Sekarang ada Wakil Ketua Umum, itukan bertentangan dengan AD INI.

Kalau dibilang tidak mengerti, saya tidak yakin, karena disana banyak para senior. Tapi, waktu saya tanya orang per orang, “ko ini bisa begini”, jawabnya “ya habis gimana”, itulah salah. Seharusnya, kalau sudah tahu ada sesuatu yang salah, sampaikan kalau itu salah. Ini kan tidak, “yah gimanalah”. Seorang Ketua Umum, harus berani mengambil keputusan, “ini salah, tidak bisa”, tidak bisa cuma senyum-senyum dan “haha-hihi”, tidak bisa begiti, itu namanya bukan pemimpin.

Berikutnya tentang Dewan Kehormatan (DK); DK di pusat dan Ketua Umum di pusat, itu dipilih oleh seluruh anggota melalui Kongres, dan DKPini adalah tameng terakhir organisasi, dan jadi harapan seluruh anggota. DKP terpilih melalui Kongres, dipilih oleh ribuan anggota Notaris. DKP adalah sosok yang menjadi manusia setengah dewa, karena namanya DK di tingkat pusat, sebelum menegakkan kode etik, ada fungsi pembinaan, fungsi pengawasan dan fungsi penegakan, serta penjatuhan sanksi.

Berawal dari diri, harus taat aturan. Saat ini, DKP, tiba-tiba di SK-an oleh PP INI, jadi Dewan Pengawas. “perkumpulan kan harus ada pengawas”, betul, tapi tidak boleh dirangkap, karena aturannya yang melarang. Coba baca ketentuan ART Pasal 57, kalau saya tidak salah, tidak boleh jadi Pengurus, dari pusat sampai daerah, termasuk juga Dewan Penasehat, yang dibentuk oleh PP.

Ini kesalahan, kenapa sih membiarkan kesalahan satu terjadi, lanjut kesalahan kedua, terus kesalahan ketiga dan terus dan terus. Kalau ada yang mengkritisi, dianggap “oh ini lawan” “oh ini dia tidak diikut sertakan atau apa”, bukan itu, semua harusnya diambil sesuatu yang positifnya.


Pengabdian dan Kedaulatan Anggota, Tidak Akan Terjadi

Jadi, bukan sistim pemilihan pemilihannya yang salah, “one man one vote”, kalau dulu “one vote one delegation” atau sistim perwakilan, saya kira sama saja. Terpenting itu, aturan main sistemnya, dibuat harus dijalankan oleh orang yang konsisten, berintegritas dan loyalitas. Bukan untuk kelompok atau bukan untuk orang per orang, tetapi loyalitasnya kepada institusi.

Institusi punya aturan, jika diberi kekuasaan dan kewenangan, dia harus tunjukan bentuk integritasnya. Betul-betul niatnya pengabdian yang luhur, punya harkat dan punya martabat, bukan sebaliknya. Saya berharap, jika ada perubahan AD atau ART, betul-betul dibuat dengan melibatkan beberapa pihak.

Lakukan diskusi berkesinambungan, sehingga semuanya kembali demi kepentingan anggota banyak. Kita mulai dengan alat kelengkapan, Rapat Anggota, misalnya Kongres, Kongres memilih Ketua Umum dan DKP, merubah AD, KEN, dan lain sebagainya. Ketua Umum dipilih, dia menjadi formatur tunggal, dan lebih teknis diatur dalam ART.

Menurut saya, sudah layak untuk diganti, tidak bisa formatur tunggal lagi. Apa yang terjadi selama ini, tidak memenuhi kriteria. Seseorang tidak memenuhi kriteria, tapi dijadikan sebagai Pengurus Pusat. Mengenai AKP, mungkin nanti kalau mau DKP disatukan Dengan Pengawas, cari kanlah kalimat judul yang paling pas.

Terus menyusun komposisi pengurus, harusnya sudah dibentuk formatur yang terdiri dari Perwakilan Keanggotaan. Kalau formatur tunggal, seseorang tidak pernah aktif di Pengda, tidak pernah aktif di Pengwil, langsung menjadi Pengurus Pusat dan berkantor juga tidak pernah. Tapi, karena dia sudah diangkat menjadi PP, bisa perintah-perintah Ketua Pengda dan Ketua Pengwil.

Padahal Ketua Pengda dan Ketua Pengwil sudah tunggang langgang puluhan tahun di daerah, menata, mengelola, penuh pengorbanan yang luar biasa untuk guyubnya organisasi di tingkat Kabupaten/Kota, rusak diacak-acak oleh satu orang tersebut.

Nah, harusnya ada formatur yang jumlahnya ganjil, katakanlah, formatur terdiri dari satu Ketua Umum terpilih, kemudian kedua dari mantan Ketua Umum sebagai penghargaan, ketiga diambil dari Indonesia misalnya ada dua orang dari Indonesia Tengah, Indonesia Barat, dan Indonesia Timur, sehingga jumlahnya menjadi 9 atau 11.

Kemudian berikan waktu 30 hari, misalnya, atau 1,5 bulan, untuk menyusun komposisi pengurus yang ada dengan kriteria dan persyaratan untuk menjadi PP. Seharusnya tidak mudah untuk jadi PP, harus ada jenjang. Dan, fakta ini sudah bertahun-tahun terjadi, kenapa ini terjadi? Kalau yang lain bilang “ini kan sudah diputuskan didalam kongres dan semua setuju”.

Selain itu, pembatasan tentang Ketua Umum harus diatur, misalnya, mengenai uang organisasi. Harusnya dibatasi, misalnya, uang yang boleh dikeluarkan Ketua Umum itu maksimal 20 jt, tanpa persetujuan dari siapapun, jadi cukup Ketua Umum, sekretaris dan bendahara, mereka harus pertanggung jawabkan.

Kemudian, lebih dari 20 jt sampai 250 jt, misalkan, harus melalui persetujuan Pengurus Harian. Siapa Pengurus Harian? Ketua Umum, Ketua-Ketua Bidang, Sekretaris Umum sampai Bendahara. Kalau lebih dari 250 jt sampai 500 jt, harus diputuskan melalui Rapat Pleno Pengurus Pusat (RP3).

Kemudian, jika nilainya lebih dari 500 jt, harus melalui Keputusan Kongres, karena berkaitan dengan asset, keuangan yang besar, ini harus dikelola. Untuk apa? Menyelamatkan Ketua Umum, kalau Ketumnya bilang “oh kita kan sudah pakai akuntan publik”, pertanyaannya misal, tiba-tiba ketumnya bilang “eh saya mau beli pulpen mereknya monblank”, harganya, misalnya 250 jt, padahal fungsinya sama kayak pilot yang harga Rp 3.000.


Layakkah Pembelian Gedung Sekretariat PP INI

Apakah layak kondisi saat ini, para Pengda belum punya Sekretariat, tapi Ketua Umum, di sekretariat ada ruangan khusus, ada ruangan khusus Seketaris Umum, ruangan khusus Bendahara Umum, ada ruangan khusus rapat harian, ada ruang rapat pleno dan lainnya yang semua ber-AC central dan penuh dengan barang mewah.

Saya tanya untuk apa? Berbagai fasilitas dari uang junior (Anggota) untuk kepentingan mereka yang menganggap dirinya senior, menurut saya, tidak layak, makanya harus ada pembatasan. Berikutnya kegiatan-kegiatan yang berpotensi menghasilkan uang, semua didominasi oleh PP. Pengwil tidak boleh membuat kegiatan serupa, karena sudah diatur oleh PP. Seharusnya itu diatur oleh para anggota dengan berfikir waras dan jauh untuk kepentingan.

Dari dulu, sudah saya sampikan PP harusnya lebih kepada tataran kebijakan dan hal-hal strategis yang prinsip, contohnya, ada keinginan dari para anggota mengenai perpanjang masa usia jabatan menjadi 70 tahun, ini strategis.

Strategis maksud saya bagaimana? Coba persandingkan dari usia 65 tahun ke 67 tahun, dan dari 67 tahun  ke 70 tahun dengan jumlah calon-calon Notaris. Apakah ini tidak boleh diakomodir? Boleh, tetapi kepentingan pihak lainnya juga diakomodir. Bagaimana untuk mengakomodir? Bukan saja, misalnya, harus menjadi Notaris ketika diangkat itu yang handal.

Ada proses pembinaan, proses sosialisasi tentang regulasi dan seterusnya, serta permasalahan hukum. Contoh, misalnya, dalam UUJN, ada ketentuan di Pasal 20 tentang persekutuan. Mengapa tidak di sosialisasikan? Kenapa tidak dibuatkan satu aturan dengan bersama-sama? Jadi tugas PP datangilah kementrian, bukan hanya Kementrian Hukum (Kemenkum), bukan hanya Kementrian Pertanahan, bukan hanya Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Keuangan, Koperasi, tapi semuanya harus dikunjungi.

Kembali lagi, Apa yang harus dilakukan di usia 117 tahun? Duduk bersama demi tujuan organisasi, pemanfaatan bagi para anggota. Semua didiskusikan, di catat, dirumuskan, carikan solusi. Satu, dimulai dengan mekanisme pengambil keputusan, jadi kita harus membuat satu sistem, misalnya, bicara tentang PP soal Ketua Umum, harus adanya pembatasan Ketua Umum dalam mengambil keputusan, kemudian buatkan mekanisme.

Hasil-hasil dari Kongres harus dilaksanakan sebagai Amanah Kongres, amanah yang harus dilaksanakan oleh Ketua Umum sebagai formatur. Berikutnya ada mekanisme pengambil keputusan. Kedua, RP3YD (Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas), ada pada diketentuan Pasal 43 ART. Salah satunya, menyebutkan, bahwa RP3YD untuk mengevaluasi kinerja Ketua Umum.

Dulu, di Balik Papan, Januari 2017, selaku Kabid Organisasi, saya tekankan, bukan laporan Ketua Pengwil kepada PP. Tetapi evaluasi para Pengwil terhadap kinerja Ketua Umum PP INI, apakah sudah sejalan dengan Amanah Kongres atau tidak.

Contohnya seperti KLB, banyak Amanah dari KLB, menurut saya sampai saat ini tidak dijalankan oleh Ketua Umumnya, misalnya, seketariat. Terus konsolidasi, Ketua Umum harus mampu menyatukan yang bertikai. Caranya, kalau tidak mampu Bersatu, jatuhkan sanksi, itu upaya terakhir.

Kepengurusan tunggal, walaupun satu sudah dapat SK, bukan berarti selesai. Ternyata gugatan juga belum final, terus kalau dia alasan tunggu aja sampai inkrah dari Mahkamah, bukan begitu menurut saya. Datanglah atasi permasalahan pokoknya, anggota hanya ingin INI terpecah belah. Jadi RP3YD harus jadi media, jadi sarana untuk mengevaluasi.

Jadi, siapapun yang punya kewenangan kekuasaan, harus ada fungsi kontrol. Fungsi kontrolnya dimana? Pertama di Kongres, kedua di RP3YD. Ada lagi kelemahan di RP3YD dalam mengambil keputusan, dan ini harus diubah dan diatur mekanisme pengambil keputusan.


Batasi Hak Suara PP INI dalam RP3YD dan Kongres/KLB

Saat ini, RP3YD terdiri dari seluruh PP, Perwakilan Pengwil, Perwakilan DKW, Perwakilan Pengda, dan Perwakilan DKD. Kalau pusatnya ada 400 orang, terus Perwakilan Pengwil, Pengda, DKW dan DKD hanya 100 orang, pasti kalah pada saat voting.

Seharusnya kalau masuk ke mekanisme voting, PP INI dibatasi, kalau di Pengwil suaranya hanya tiga, PP INI, katakanlah suaranya 15 saja jangan 300. Kalau tidak, tidak akan pernah tujuan dari organisasi dalam pengabdian dan kedaulatan dikembalikan ke tangan anggota, tidak akan pernah terjadi hanya kamuflase saja, hanya kepura-puraan saja.

Jadi, RP3YD harus diatur ulang, termasuk juga Rapat Gabungan. Kenapa Rapat Gabungan? Di Rapat Babungan yang terdiri dari Pengwil dan seluruh Pengda se-propinsi, harus mampu mengevaluasi kinerja dari Ketua Pengwil. Ketua Pengwil tidak boleh semena-mena, misalnya, ada perwakilan dari organisasi yang ditempatkan di MPW sebanyak tiga orang, dan ada yang ditempatkan di MKNW sebanyak tiga orang, itu tidak melalui mekanisme berkaitan dengan keanggotaan, tapi langsung ditunjuk secara orang per orangan.

Harus dipertanyakan saat Rapat Gabungan dan pointnya apa? Ada efek di tingkat Rapat Gabungan di tingkat RP3YD, kalau misalnya terjadi kesalahan, Ketua Umum bisa di makdzulkan. Maksudnya apa? Bukan maksudnya untuk terjadinya kericuhan, tidak. Akan tetapi, supaya Ketua Umum, benar-benar konsisten, tegak lurus, taat azas, taat AD/ART.

Jadi, jangan asal diusulkan begini, ya saya begini. Sudah tahu itu salah, tetap dijalankan. Walaupun sekarang, media social sudah semakin marak, jadi saksi tentang penyampaian sesuatu oleh anggota, dan hal tersebut sulit dibendung dan dibatasi.

Kalau menurut saya belum berjalan dengan benar, PP misalnya, terlalu mengelompokkan diri, seakan-akan kelompok eksklusif dan tidak berbaur. Berbaurnya hanya dengan kelompok-kelompok, yang mungkin bentuknya eksklusif juga.

Melakukan perubahan terhadap hal yang sudah di atur dalam AD/ART, saat ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Sepanjang kawan-kawan itu punya kesamaan dan bisa saling memahami, kemudian bersepakat mengembalikan kedaulatan ke tangan anggota. Lalu, ubah regulasinya, buat sistem yang ada keseimbangan. Jadi Ketua Umum tidak mempunyai kekuasaan, kewenangan yang super power, tetapi ada fungsi kontrol.

Lalu, dalam penyusunan juga tidak hanya sendiri, harus bersama. Selain itu, harus dibatasi juga rangkap-rangkap jabatan, saat ini sudah terlalu berlebihan. Saya melihat kawan-kawan itu prioritasnya menjadi PP tanpa mengikuti sistem pengkadaran.

Walaupun organisai INI bukan organisasi kader, tetapi untuk kesinambungan kaderisasi itu penting. Karena suksesnya seorang pemimpin, pertama sukses konsulidasi organisasi, kedua sukses program kerja organisasi, dan ketiga sukses periodeisasi organisasi.

Hal ini bertalian dengan kaderisasi organisasi, kalau periodeisasi-nya sudah dilanggar-langgar. Lalu kadernya nanti akan mentok terus, maka kedepan akan mencoba untuk mempertahankan habis-habisan. Kalau sistem yang dibuat baik, siapapun yang melanggar sistem ada sanksinya. Maka tidak akan diikuti oleh yang lain, dan dada efeik jeranya.

Saya menghimbau, di usia 117 tahun ini, jadikan momentum bagi kita dan bagi siapapun yang jadi bagian dari INI, Apakah ALB, Anggota Biasa dan werda Notaris, serta para cipitas akademi di bidang Studi Kenotariatan, saat ini jumlahnya sangat banyak harus ikut terlibat. Kenapa saya bilang harus mulai dari cipitas akademi, karena merekalah yang nanti akan memproduksi dan menghasilkan calon-calon Notaris dan PPAT.

Organisasi tidak boleh mengesampingkan hal tersebut tapi harus jemput bola, alokasikanlah tim sehingga ada kesamaan produk dari masing-masing Prodi-Prodi Swasta maupun Negeri. Walaupun masing-masing Prodi sendiri-sendiri, tidak ada salahnya organisasi mengakomodir secara continyu lebih menguatkan lagi.

Terus saya juga berharap tolong hilangkan ego dan arogansi, karena jabatan ini hanya sesaat dengan catatan harus kongres. TF juga saat ini masih menunggu keputusan dari Mahkamah Agung, tapi melihat situasi seperti ini TF ataupun Irfan, seperti yang dikatakan rekan Netty Sitompul mungkin bisa di pertimbangkan oleh kawan-kawan.

Supaya carilah sesuatu yang baru, lebih segar, lebih bugar, dan lebih menjanjikan tentang kebersamaan. Kalau masih juga dibawa dan diikutkan keduanya yang tertanam dalam diri masing-masing, ini bukan kelompok saya, tidak akan pernah bisa bersatu. Jadi carilah yang lebih Netral dan lebih tidak mempunyai kepentingan terhadap arogansi, kekuasaan dan seterusnya,"